Laki-laki Suka Biru dan Perempuan Suka Pink? 4 Stereotype Gender Di Sekitar Kita

Ada 4 stereotype gender di masyarakat yang diidentifikasi sebagai kesukaan laki-laki dan kesukaan perempuan, seperti laki-laki suka warna biru dan perempuan suka warna pink. Stereotype gender ini ada di permainan, hobi, olahraga, film, warna kesukaan hingga selera musik.

Perdebatan mengenai apa yang seharusnya disukai laki-laki dan perempuan seakan tidak ada habisnya. Bukan saja tentang warna kesukaan, hobi atau cara berpakaian, tapi banyak bias lain yang biasa terjadi 

Ada 4 hal yang menurut saya ada pembahasan yang menarik yang seharusnya kita perbincangkan. 

Bagi saya keempat hal ini bukanlah sesuatu yang seharusnya menjadi milik laki-laki atau perempuan. Namun masih saja orang-orang diluar sana yang meributkan hal-hal ini. 

Semua yang saya tuliskan kali ini adalah murni opini saya sebagai seorang manusia biasa. Tidak bermaksud untuk menyinggung atau melabeli pihak manapun. Baiklah, apa saja keempat hal tersebut? Mari kita ulas satu-persatu. 

1.Permainan

Bagi kebanyakan orang, permainan semacam mobile legends, PUBG, Free Fire atau GTA itu adalah permainan yang seharusnya dimainkan oleh laki-laki. Namun permainan semacam Candy Crush, Love Nikki ataupun House Farm adalah permainan untuk perempuan. Bahkan sejak dahulu permainan semacam main kelereng, ketapel dan layangan identik dengan mainan anak laki-laki, sedangkan main BP dan masak-masakan identik dengan perempuan. 

Jujur saja, melihat fakta di masyarakat tentang apa yang seharusnya dimainkan oleh laki-laki atau perempuan sangatlah lucu menurut saya. Bagaimana tidak? Permainan yang seharusnya menjadi milik semua orang, di glorifikasi menjadi permainan yang sesuai dengan gender seseorang. 

Saya pribadi sejak kecil memainkan semua permainan dengan teman bermain saya. Mulai dari permainan palak babi, cabur, gasing hingga layangan juga saya mainkan. Karena teman saya lebih banyak laki-laki dan permainan yang saya mainkan lebih dominan dimainkan oleh laki-laki, sejak itulah saya dikenal sebagai perempuan tomboy. 

Hingga sekarang pun saya aktif bermain game mobile yaitu mobile legends. Seringkali ketika tim ataupun lawan ketika mengetahui saya adalah perempuan, maka kalimat yang dilontarkan adalah “wah pasti bakal jadi beban” atau “gak mungkin jago.”

Makanya saya lebih suka untuk menyembunyikan identitas saya dalam game tersebut. Seakan-akan perempuan yang bermain mobile legends adalah beban tim dan yang paling parah, saya banyak menemukan komentar kasar seperti “halah, modal desah doang” sungguh, orang-orang yang sering berkata seperti itu ada masalah apa sih dalam hidupnya?

2.Selera musik

Selera musik juga menjadi hal yang sering dikotak-kotakkan. Misalnya, musik bergenre hard core, punk dan rock yang isi lagunya banyak teriak-teriak adalah musik laki-laki. Sedangkan musik melow yang bisa membuat menangis adalah musiknya perempuan. 

Saya heran, sejak kapan musik yang harusnya bisa dinikmati semua kalangan malah di glorifikasi menjadi milik gender tertentu. Ada satu hal yang membuat saya cukup heran ketika membahas selera musik. Bagi perempuan yang menyukai Korean pop atau yang dikenal dengan K-Pop akan dibully habis-habisan oleh kebanyakan laki-laki. Kalimat “ih, kok suka sama plastik”, “selera musiknya rendah banget, dengerin lagu korea” hingga “cewek yang suka K-Pop pasti toxic” sering kali saya temui di sosial media. 

Perdebatan tentang selera musik ini seakan-akan membuat kusut benang yang memang sudah kusut sejak awal. 

Apabila ada laki-laki yang menyukai lagu-lagu korea, akan diejek oleh sesama teman laki-lakinya. Sebaliknya juga apabila ada perempuan yang menyukai lagu-lagu rock, akan dianggap sebagai perempuan tidak jelas. 

Hal ini tentu saja pernah saya alami sendiri ketika memberi tahu orang lain tentang playlist musik saya. Masih ingat betul waktu itu kenalan saya berkata “ih, tino kok lagunyo punk rock, dak nian cocok” (ih, perempuan lagunya punk rock, benar-benar tidak cocok). 

Akhirnya saya hanya menertawakan saja kenalan saya itu. Saya pribadi menyukai semua genre musik. 

Adakalanya saya menyukai musik K-Pop, kadang playlist saya penuh lagu-lagu berirama cepat seperti fight back by neffex atau lagu dari bring me the horizon. Preferensi musik saya tergantung mood dan motivasi saya pribadi hehe. Jadi, kenapa kita harus membatasi kesukaan seseorang akan musik yang didengarnya? 

3.Film atau Serial yang Ditonton

Hal ketiga yang seringkali dikotak-kotakkan oleh masyarakat kita adalah preferensi film atau serial yang harus ditonton. 

Film action atau laga yang mengandung unsur kekerasan dan penuh adrenaline dan anime (film/serial animasi jepang) dianggap sebagai tontonan nya para laki-laki. Sedangkan drama korea atau film tentang cinta-cintaan yang romantis adalah tontonannya perempuan. 

Jujur, saya tidak habis pikir dengan stigma yang ada di masyarakat tentang preferensi tontonan ini. Padahal saya sebagai perempuan juga menyukai anime, film action seperti Mission Impossible dan Hitman, juga menyukai drama korea seperti Under the queen’s Umbrella dan suka juga film romantis seperti Love for Sale. 

Tapi bagi sebagian besar orang, jika laki-laki menonton film korea atau film romance dianggap tidak “laki”. Lucu sekali pelabelan ini. 

Memangnya ada indikator yang bisa mengukur tingkat “laki” seseorang? Lain hal lagi jika perempuan yang suka menonton film action atau anime, pasti akan dianggap sebagai orang aneh dan akan selalu ditanyakan mengapa memilih menonton film-film tersebut. Sama saja dengan kedua hal yang sudah saya sebutkan diatas tadi. 

Preferensi tontonan seseorang tidak memiliki gender. Tentunya kita harus menormalisasi juga ada perempuan suka menonton film action atau anime dan sebaliknya laki-laki yang suka menonton drama korea. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, bukan?

4.Sepakbola tentu saja!

Terakhir, dalam pandangan saya kali ini, saya memasukkan sepakbola sebagai hal yang sering diidentifikasi sebagai kesukaan satu gender saja. 

Ya, jelas saja sepakbola identik dengan laki-laki. Padahal, banyak juga perempuan yang menyukai sepakbola dan paham istilah-istilah sepakbola. Saya sendiri menyukai sepakbola karena almarhum kakek saya. 

Masih ingat betul waktu saya masih duduk di bangku SMP, seringkali terjadi rivalitas antara saya dan kakek karena saya mendukung AREMA Indonesia dan kakek mendukung PERSIB Bandung. Sejak saat itu saya makin menyukai sepakbola dan klub favorit saya sekarang adalah Liverpool FC. Teman-teman perempuan saya banyak yang heran, kenapa saya begitu menyukai sepakbola. Dan beberapa teman laki-laki menganggap perempuan yang menyukai sepakbola sebagai perempuan yang mencari perhatian atau ikut-ikutan saja. 

Tapi untungnya orang terdekat yang saya sering ajak mengobrol tentang sepakbola, paham betul kalau saya benar-benar menyukai sepakbola. Ketika kami berbincang mengenai suatu pertandingan, tidak ada yang gagap karena saya pun paham yang terjadi selama pertandingan seperti banyaknya bola yang offside, berapa banyak peluang tercipta dari sepak pojok dan sebagainya. Banyak juga teman perempuan saya yang juga menggemari sepakbola dan bahkan ada yang sering sekali datang ke stadion untuk menonton tim kesayangannya bermain.

Permainan, hobi, olahraga, film, warna kesukaan hingga selera musik, tidak memiliki gender dan tidak bisa diidentikkan sebagai milik laki-laki atau perempuan saja. 

Semua orang berhak menyukai sesuatu, dan bebas melakukan apapun tanpa dijustifikasi. Sudah seharusnya kita menghilangkan stigma tentang hal-hal ini. Lagipula tidak ada untungnya bagi kita ketika menjustifikasi pilihan orang lain. 

Yang ada malah akan semakin memperlebar gap yang ada di masyarakat, sudah saatnya kita menciptakan masyarakat yang inklusif, menjalankan kehidupan kita masing-masing sesuai porsinya.

Reka Aprilanita

Karyawan swakelola, Penyintas autoimun ankylosing spondilitis
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!