Kamu Mesti Waspada: Mixue vs Karen’s Diner dan Cara ‘Franchise’ Asing Gaet Konsumen

Ketika membicarakan tentang waralaba asing seperti Mixue dan Karen's Diner, ada empat konsep yang perlu jadi perhatian untuk memahami perilaku bisnis mereka.

Konsumen Indonesia tengah dimanjakan dengan menjamurnya ratusan gerai franchise atau waralaba Mixue asal Cina yang kini dapat ditemukan hampir di semua kota di Indonesia. Terlepas dari respons konsumen yang mempertanyakan sertifikasi halalnya, pertumbuhan gerai Mixue menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia menerima dengan hangat keberadaan waralaba teh dan es krim ini.

Ketika Mixue diterima di Indonesia tanpa hambatan berarti, franchise restoran Karen’s Diner mendapatkan sambutan yang cukup kontroversial.

Tidak sedikit konsumen yang menganggap bahwa Karen’s Diner – yang mengusung tema pelayanan kasar – tidak sesuai dengan norma dan budaya masyarakat Indonesia, dan bahkan tak menerapkan konsep asli waralaba yang berasal dari Australia tersebut. Hujan kritik sempat menimpa Karen’s Diner Indonesia karena menerapkan bisnisnya secara berlebihan, termasuk perilaku yang menjurus ke body shaming dan bahkan mengobok minuman pelanggan langsung dengan tangan.

Terlepas dari kontroversi ini, Karen’s Diner sebetulnya sukses mendapatkan publisitas yang tinggi di masyarakat.

Berangkat dari dua model bisnis franchise internasional ini, hal apa yang patut menjadi perhatian bagi pelaku bisnis waralaba asing dalam mengusung konsepnya ke pasar domestik?

Empat konsep dalam mengembangkan waralaba asing

Ketika membicarakan tentang waralaba asing, ada empat konsep yang perlu jadi perhatian untuk memahami perilaku bisnis mereka.

Pertama adalah glocalization, sebuah konsep ketika perusahaan berskala global memodifikasi produk yang ditawarkan kepada pasar di luar negara asalnya. Hal ini sejalan dengan pentingnya memahami kebutuhan konsumen sebagai dasar dalam mengadopsi bisnis asing ke pasar domestik.

Sebagai contoh, nasi merupakan makanan pokok di Asia, termasuk di Indonesia. Waralaba makanan cepat saji seperti McDonald’s – yang tidak mengusung nasi sebagai pilihan utama – perlu menyesuaikan produk mereka. Karena itu, Mixue dan Karen’s Diner juga perlu melihat lebih rinci seputar perbedaan perilaku konsumen lokal dengan konsumen di negara asal mereka.

Kedua adalah consumer problems and needs. Dalam memprakarsai sebuah konsep bisnis untuk sekelompok segmen konsumen, amat penting untuk memahami masalah dan kebutuhan mereka. Mengusung prinsip dari kerangka berpikir design thinking – atau upaya pengembangan ide dan pemecahan masalah secara kreatif – kebutuhan konsumen pada umumnya berangkat dari masalah yang mereka hadapi sehari-hari.

Contoh sederhana, mati lampu secara tiba-tiba di rumah adalah sebuah masalah yang berujung kepada kebutuhan konsumen untuk pencahayaan darurat sebagai jawaban. Dari sini, muncul beberapa alternatif bisnis seperti lilin, senter pada gawai, dan juga lampu darurat yang dapat diisi ulang. Ketiga contoh sederhana ini merupakan alternatif yang mampu menjawab masalah dan kebutuhan konsumen.

Dalam kasus Mixue, kita dapat berasumsi bahwa masalah yang coba dijawab adalah keinginan masyarakat untuk menikmati minuman maupun es krim manis dengan harga yang cukup bersahabat.

Hal ini berbeda dengan Karen’s Diner. Solusi yang diusung Karen’s Diner, sepemahaman saya, adalah untuk memberikan pengalaman yang unik, menegangkan, dan harapannya, berkesan kepada konsumen yang mencari konsep baru ketika dine-in atau makan langsung di restoran.

Pertanyaannya, apakah konsumen peduli dengan pengalaman?

Konsep ketiga yakni consumption value (nilai konsumsi) dapat memberikan kita sedikit penjelasan atas hal ini.

Consumption value berargumen bahwa konsumen memiliki lima kombinasi alasan umum atas pilihannya untuk mengkonsumsi sesuatu: fungsi, kondisi, situasi sosial atau emosional, dan nilai epistemik (unsur ingin tahu dan kebaruan).

Argumentasi saya, Mixue fokus kepada nilai fungsional es krim atau minuman dingin dengan harga bersahabat yang dicari oleh konsumen. Sementara itu, Karen’s Diner mencoba untuk memanfaatkan aspek epistemik dan sosial dari konsumen, yang secara sederhana adalah hasrat ingin tahu atau penasaran – yang ingin dinikmati secara bersama-sama dengan kerabat dan teman.

Dalam hal ini, seberapa sering kita membeli sesuatu atas dasar penasaran atau ingin tahu? Sebagai contoh, di Bandung, sempat ada sebuah kafe – kini sudah tak beroperasi – yang mengusung konsep makan dengan suasana sepenuhnya gelap. Salah satu nilai utama yang diberikan adalah untuk menjawab pengalaman unik dan rasa ingin tahu konsumen. Penting bagi pelaku bisnis untuk salah satunya memahami nilai apa yang konsumen lihat dalam memilih untuk mengkonsumsi produk yang diberikan.

Terakhir adalah konsep viral marketing. Terlepas dari kemungkinan keberlanjutan Karen’s Diner di Indonesia, konsep yang dibawa Karen’s Diner telah terbukti mendapatkan publisitas yang luar biasa besar karena perilaku kontradiktif yang diusungnya. Karen’s Diner menggunakan pendekatan bias negatif yang pada akhirnya mampu membuat bisnisnya viral tidak hanya di Indonesia, tapi di seluruh dunia. Bias negatif ini berpotensi membuat orang lebih mudah teringat pengalamannya ketika menjajal suatu bisnis.

Mixue, baru-baru ini, baik disengaja atau tidak, juga mendapatkan pemberitaan yang relatif negatif mengenai sertifikasi halal yang masih diproses. Dalam jangka pendek, hal ini sangat menguntungkan untuk mengundang awareness dari publik.

Kendati begitu, pelaku bisnis akan berharap untuk tidak hanya mengandalkan tren jangka pendek semata, tapi juga keberlangsungan jangka panjang atas bisnisnya. Gimmick marketing atas sesuatu yang cenderung negatif tentu berisiko, sehingga pebisnis perlu cermat dalam mengatur strategi pemasarannya.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

(Sumber Gambar: IG Mixue Indonesia)

Harriman Samuel Saragih

Assistant Professor (Business Innovation), Monash University.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!