Paus Mengatakan Menjadi Homoseksual Bukanlah Kejahatan, Apa Kata Teolog?

Gereja Katolik telah mengutuk diskriminasi terhadap komunitas LGBTQ selama bertahun-tahun, bahkan walaupun Gereja mendeskripsikan homoseksual sebagai “gangguan intrinsik” dalam Katekismus. Namun demikian, beberapa uskup di seluruh dunia mendukung undang-undang yang mengkriminalkan homoseksualitas – dan Fransiskus memahaminya, dengan mengatakan bahwa mereka “harus memiliki proses perubahan.”

Lagi-lagi, Paus Fransiskus mengajak umat Katolik untuk merangkul dan menerima orang-orang LGBTQ.

“Menjadi homoseksual bukanlah kejahatan,” kata Paus dalam wawancara dengan The Associated Press pada 24 Januari 2023, “mari kita bedakan antara dosa dan kejahatan,” tambahnya. Dia juga menyerukan pelonggaran terhadap aturan di seluruh dunia yang menargetkan kelompok LGBTQ.

Sejarah panjang Paus Fransiskus dalam memberikan komentar yang mendukung martabat LGBTQ – terlepas dari penolakan gereja terhadap homoseksualitas – telah memicu banyak kritik dari banyak umat Katolik. Tapi bagi saya yang seorang teolog publik, hal yang menarik tentang perdebatan ini adalah bahwa prinsip inklusivitas Fransiskus sebenarnya bukan sesuatu yang radikal. Apa yang ia ucapkan sesuai dengan apa yang memang diajarkan gereja tentang apa yang umat Katolik harus lakukan.

‘Siapa saya untuk menghakimi?’

Selama tahun pertama kepausan Fransiskus, jika orang-orang bertanya padanya tentang LGBTQ, ia selalu menjawab, “Jika ada seorang homoseksual, dan orang itu mencari Tuhan serta memiliki niat baik, siapa aku untuk menghakimi?” – jawaban yang kemudian membangun standar bagi pola prinsip inklusivitas.

Dia sudah lebih dari satu kali memberikan dukungan publik kepada James Martin, seorang pendeta Yesuit yang usahanya dalam menjembatani kaum LGBTQ dengan Gereja Katolik memicu banyak kritik. Dalam sambutannya yang dibuat untuk film dokumenter tahun 2020, Fransiskus menyatakan dukungannya terhadap kelompok masyarakat sipil untuk menciptakan perlindungan hukum yang dapat memenuhi kebutuhan komunitas LGBTQ.

Beberapa waktu lalu ada pernyataan baru. Dalam sebuah wawancara baru-baru ini, Paus mengatakan bahwa gereja harus menentang undang-undang yang mengkriminalkan homoseksualitas.

“Kita semua adalah anak-anak Tuhan, dan Tuhan mencintai kita apa adanya serta usaha kita masing-masing untuk memperjuangkan martabat kita,” katanya, walaupun ia membedakan antara “kejahatan” dan tindakan yang bertentangan dengan ajaran gereja.

Kasih sayang, bukan doktrinasi

Dukungan Paus Fransiskus terhadap hak-hak sipil individu LGBTQ tidak mengubah doktrin Katolik tentang pernikahan maupun seksualitas. Gereja masih mengajarkan – dan pasti akan terus mengajarkan – bahwa hubungan seksual apa pun di luar pernikahan adalah salah, dan bahwa pernikahan adalah antara laki-laki dan perempuan. Jadi, salah jika kita menyimpulkan bahwa Fransiskus melakukan perubahan doktrin.

Sebaliknya, pola pernyataan Paus telah menjadi acuan untuk mengungkapkan bagaimana sudut pandang Gereja Katolik tentang martabat manusia, sebagai tanggapan atas perubahan sikap yang cepat terhadap komunitas LGBTQ selama dua dekade terakhir. Fransiskus memperingatkan umat Katolik bahwa mereka harus memperhatikan keadilan bagi semua orang.

Gereja Katolik telah mengutuk diskriminasi terhadap komunitas LGBTQ selama bertahun-tahun, bahkan walaupun Gereja mendeskripsikan homoseksual sebagai “gangguan intrinsik” dalam Katekismus. Namun demikian, beberapa uskup di seluruh dunia mendukung undang-undang yang mengkriminalkan homoseksualitas – dan Fransiskus memahaminya, dengan mengatakan bahwa mereka “harus memiliki proses perubahan.”

Hukum yang didasari cinta merangkul seluruh manusia sebagai keluarga dan tidak mengenal batas,” seperti dikutip dari kantor Vatikan yang peduli dengan isu-isu sosial dalam kompilasi pemikiran sosial gereja tahun 2005.

Pada tahun 2006, Konferensi Waligereja Amerika Serikat (AS) mengakui bahwa kaum LGBTQ “telah, dan terus menjadi, objek hinaan serta sasaran kebencian dan kekerasan.” Konferensi tersebut menegaskan bahwa semua umat Katolik wajib menunjukkan kepedulian kepada manusia lainnya – “khususnya kepada mereka yang miskin atau menderita” akibat ketidakpedulian atau penindasan orang lain.

Mendekati akhir tahun ke-10 kepausan Fransiskus, menjadi semakin umum untuk mendengar para pemimpin Katolik berusaha membuat individu LGBTQ merasa dirangkul oleh gereja. Kardinal Blase Cupich dari Chicago mengajak para pendeta untuk “melipatgandakan upaya dan kreativitas kita dalam menemukan cara untuk menyambut dan merangkul semua komunitas LGBTQ.” Kardinal Timothy Dolan dari New York menyambut kelompok LGBTQ dalam Pawai Hari St. Patrick, tindakan yang bertentangan dengan keinginan banyak umat Katolik di New York.

Dalam wawancara terbaru ini, Fransiskus menekankan bahwa menjadi LGBTQ adalah suatu “kondisi manusiawi,” dan mengajak umat Katolik untuk tidak terlalu menilai orang lain melalui mata doktrin, melainkan lebih banyak melalui belas kasih.

‘Realitas politik’ baru

Cepatnya perubahan sikap sosial masyarakat luas terhadap komunitas LGBTQ dalam beberapa dekade terakhir ini tampaknya sulit diproses oleh gereja yang tak pernah cepat bereaksi dalam menyikapi suatu hal. Ini karena pertanyaan-pertanyaan yang berkembang menyentuh area abu-abu, saat ajaran moral bersinggungan dengan realitas sosial di luar gereja.

Selama beberapa dekade, para pemimpin gereja telah berusaha untuk ‘mendamaikan’ gereja dengan dunia modern, dan Fransiskus mengikuti langkah yang sudah dilakukan oleh para uskup Katolik lainnya.

Pada tahun 2018, misalnya, para uskup Jerman yang bereaksi terhadap legalisasi pernikahan gay mengakui bahwa menerima LGBTQ adalah sebuah “realitas politik baru.”

Ada indikasi bahwa kini gereja mulai bergerak lebih cepat. Umat Katolik di Jerman, khususnya, menyerukan perubahan terhadap ajaran gereja, termasuk persetujuan bagi para imam (pastor) untuk memberkati pasangan sesama jenis dan penahbisan laki-laki yang sudah menikah.

Chapter berikutnya

Tapi tindakan-tindakan yang disebutkan di atas itu memang tidak biasa. Fransiskus telah mengkritik Jerman karena menyerukan reformasi sebagai “elitis” dan ideologis. Terkait hak-hak sipil individu LGBTQ, Paus tidak mengubah ajaran gereja, tetapi menjelaskannya.

Saya yakin tantangan yang dihadapi Vatikan adalah membayangkan bagaimana ruang yang dapat ditempati gereja dalam realitas politik baru ini, seperti yang memang harus gereja lakukan dalam menghadapi banyak perubahan sosial dan politik selama berabad-abad. Tetapi satu hal yang harus dilakukan, seperti yang juga disarankan oleh Fransiskus, adalah kita wajib untuk melayani keadilan dan mencari keadilan bagi semua orang dengan belas kasih di atas segalanya.

Umat Katolik – termasuk para uskup, dan bahkan Paus – dapat berpikir, dan sedang berpikir, secara imajinatif mengenai tantangan itu.

Beberapa bagian dari artikel ini sudah diterbitkan dalam artikel sebelumnya pada 22 Oktober 2020.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Steven P. Millies

Professor of Public Theology and Director of The Bernardin Center, Catholic Theological Union
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!