Perkosaan di Kemenkop UKM: Praperadilan Dikabulkan, Pelaku Perkosaan Tak Lagi Jadi Tersangka

Pengadilan Negeri (PN) Bogor mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan tiga terduga pelaku perkosaan yang terjadi di Kementerian Koperasi dan UKM. Putusan ini dengan sendirinya menggugurkan status tersangka terhadap ketiga pelaku perkosaan tersebut.

Pengadilan Negeri Bogor mengeluarkan putusan yang membuat geram para aktivis perempuan. 

Pasalnya pengadilan mengabulkan permohonan praperadilan yang diajukan ketiga terduga pelaku kasus perkosaan di Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM). Ini artinya status pelaku sebagai tersangka jadi gugur atau mereka tak lagi jadi tersangka

Pengabulan permohonan praperadilan ini dilakukan Pengadilan Negeri (PN) Bogor pada Kamis (12/01/2023) pekan lalu.

Para pemohon dalam perkara ini adalah 3 pelaku perkosaan ZA, WH dan MF yang pernah menjadi pegawai Kemenkop UKM dan diduga melakukan perkosaan pada salah satu pegawai di Kemenkop UKM. Sedangkan pihak termohon adalah Kepala Kepolisian Resor Bogor Kota. Pelaku memohon pada pengadilan agar Kepolisian bisa membatalkan status tersangka pada pelaku.

Dalam amar putusannya yang diakses Konde.co melalui website PN Bogor, majelis hakim Arie Hazairin selaku hakim tunggal menyatakan bahwa Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dengan Nomor S.PPP/813 b/III/RES 1.24/2020 tertanggal 18 Maret 2020 dinyatakan sah. Sementara penetapan Tersangka atas nama Para Pemohon dalam Penyidikan perkara sesuai Surat Perintah Penyidikan Nomor: SP.Sidik/813.a/RES 1.24/I/2020/Sat Reskrim tanggal 01 Januari 2020 dinyatakan tidak sah. Artinya dalam putusan juga menyatakan bahwa pengadilan telah sah mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan menggugurkan status tersangka kepada ketiga terduga pelaku.

Sebelumnya, para pemohon mendaftarkan perkara ini dengan nomor 5/Pid.Pra/2022/PN Bogor pada akhir tahun lalu (23/12/2022). Sidang pertama berlangsung pada Jumat (30/12/2022), dan setelah 5 kali sidang, majelis hakim mengeluarkan putusan tersebut. 

Proses Hukum Tetap Dilanjutkan

Menyikapi putusan PN Bogor tersebut Menko Polhukam Mahfud MD menyatakan menghormati putusan majelis hakim. Pernyataan ini disampaikan melalui akun Youtube Kemenko Polhukam pada Rabu (18/01/23) malam usai rapat koordinasi (rakor). Hasil rakor juga menyepakati untuk mendorong proses hukum dilanjutkan kembali.

“Berdasarkan hasil rapat koordinasi (kami, red) akan terus mendorong bahwa perkara ini dilanjutkan untuk diproses kembali sesuai dengan laporan korban. Kami paham bahwa praperadilan belum memutus substansi perkara sehingga jika proses ini dilanjutkan kembali maka tidak dapat dikatakan ne bis in idem karena memang pokok perkaranya yaitu kejahatan sesuai dengan pasal 286 KUHP itu belum pernah disidangkan,” ujarnya.

Ne bis in idem sendiri maksudnya adalah asas hukum yang melarang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan kalau sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya.

Rakor juga meminta kepada Divisi Propam Polri untuk memeriksa penyidik Polresta Bogor yang menangani perkara ini. Menurut Mahfud penyidik bersikap tidak profesional sejak awal. Ini lantaran penyidik mengeluarkan SP3 kepada jaksa dan korban dengan alasan yang berbeda.  

“Yang pertama surat pemberitahuan SP3 kepada jaksa menyatakan perkara di SP3 karena restorative justice, tetapi surat pemberitahuan kepada korban menyatakan SP3 dikeluarkan karena tidak cukup bukti. Satu kasus yang sama diberi alasan yang berbeda kepada pihak yang berbeda,” paparnya.

Mahfud juga menjelaskan alasan restorative justice (RJ) yang dipakai penyidik tidak tepat. Pasal 12 Peraturan Kapolri Nomor 6 tahun 2019 menyebutkan syarat penyelesaian perkara dengan pendekatan RJ adalah tidak menimbulkan keresahan di tengah masyarakat dan tidak menimbulkan penolakan dari masyarakat. Dalam kasus perkosaan di Kemenkop UKM syarat ini tidak dipenuhi.

Penyidik juga perlu diperiksa karena telah memberikan keterangan yang tidak sesuai. Keterangan ini yang kemudian dijadikan dasar hakim praperadilan bahwa pencabutan SP3 hanya berdasar hasil rakor di Kemenkopolhukam.

“Faktanya rakor di Kemenko Polhukam itu hanya menyamakan persepsi bahwa penanganannya salah sedangkan pro justicia-nya yaitu agar dibicarakan melalui gelar perkara internal di Polresta Bogor,” kata Mahfud.

Ia menambahkan dari informasi yang didapat, proses internal yang berlangsung di Polresta Bogor untuk melaksanakan hasil rakor di Kemenko Polhukam sudah dilakukan. Karena itu pencabutan SP3 bukan didasarkan keputusan rakor di Kemenko Polhukam. Tapi hasil rakor sudah melewati proses formal di internal Polresta Bogor.

Kompolnas dan Keluarga Korban Sesalkan Putusan PN Bogor 

Keluarga korban yang dihubungi Konde.co mengungkapkan sangat terkejut dengan putusan hakim PN Bogor tersebut. 

Saat ini keluarga korban berpegang pada hasil rapat koordinator Menteri yang digelar di kantor Kemenkopolhukam. 

Seperti disampaikan Menkopolhukam Mahfud MD, Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) tersebut dibatalkan. Ini pula yang menjadi alasan pihak keluarga tidak mengajukan praperadilan.

“Keluarga (korban, red) bingung, yang satu sisi menang praperadilan, (pelaku, red) mungkin merasa menang dan kasusnya dihentikan. Di sisi lain, gelar perkara memutuskan untuk (kasus, red) dibuka kembali dengan surat ditembuskan kepada keluarga korban. Nah, ini yang mana yang menjadi keputusan tetap?,” ujar keluarga korban saat dihubungi Konde.co pada Senin (16/01/2023). 

Lebih lanjut keluarga korban mengatakan pihaknya menunggu langkah dan instruksi dari Kementerian/Lembaga yang mengawal kasus ini. Seperti LPSK, Kementerian Koperasi dan UKM, Kompolnas, Kementerian PPPA, dan Komnas Perempuan. 

“Kami berterima kasih pada banyak pihak yang ikut membantu. Pihak keluarga hanya bisa menyampaikan rasa terima kasih dan minta dukungan dari lembaga negara tersebut,” ujarnya.

Menanggapi keputusan majelis hakim PN Bogor, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti saat dihubungi Konde.co pada Jumat (13/01/2023) mengatakan, pihaknya belum mengetahui pertimbangan hakim dan akan berkoordinasi dengan Polresta Bogor untuk dapat melihat salinan putusannya, sehingga nantinya bisa dipelajari. 

Poengky mengaku kecewa dengan putusan tersebut. Menurutnya kasus serupa juga pernah terjadi di Banten dan dapat ditindaklanjuti hingga P21 atau pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap. Saat ini kasusnya dalam proses persidangan. 

Kasus di Banten merupakan kasus dugaan pemerkosaan terhadap perempuan dengan disabilitas. 

“Ketika mendapat laporan kasus Bogor, Kompolnas langsung melakukan gelar perkara di Polresta Bogor Kota dan merekomendasikan SP3 dicabut dengan gelar perkara khusus dan penyidikan dilanjutkan kembali, seperti rekomendasi kami kepada Polda Banten. Bahkan dalam rapat koordinasi di Kemenko Polhukam, Kompolnas tetap mendorong rekomendasi tersebut, dan disetujui peserta gelar,” terang Poengky. 

Lebih lanjut Poengky menjelaskan dalam pertemuan tersebut, Kabareskrim menyatakan rapat koordinasi di Kemenko Polhukam dapat dianggap sebagai gelar perkara khusus. “Oleh karena itu penyidik kemudian membuka lagi penyidikan. Tetapi ternyata para tersangka mengajukan praperadilan dan dikabulkan hakim,” ujarnya.

Meski begitu menurut Poengky, putusan praperadilan tidak otomatis menghentikan proses penyidikan. Untuk itu penyidik perlu mencari bukti-bukti agar penetapan tersangka menjadi sah. 

“Kami melihat dengan berkas perkara yang masih P19 (belum lengkap, sehingga perlu dilengkapi lagi oleh penyidik) dan adanya putusan praperadilan yang menyatakan penetapan tersangka tidak sah, maka penyidik perlu mencari bukti-bukti agar penetapan tersangka sah. Misalnya SP3 kasus perkosaan/kekerasan seksual seharusnya tidak dilakukan penyelesaian secara restorative justice. Oleh karena itu harus dinyatakan batal,” papar Poengky. 

Sementara itu, saat ini Divisi Propam Polda Jabar sedang melakukan penyelidikan terhadap penyidik Polresta Bogor terkait laporan kuasa hukum korban atas sikap dan perilaku penyidik. 

Menanggapi hal ini Poengky menyatakan, penyidikan bisa dilakukan Polresta Bogor dengan supervisi ketat dari Polda Jabar. 

“Penyidikan bisa dilakukan Polresta Bogor Kota dengan supervisi ketat Polda Jabar. Penyidik yang diduga bermasalah dan diperiksa Propam dapat diganti dengan penyidik lain. Dalam kasus Banten juga begitu,” ujar Poengky.

Kasus Perkosaan di Kemenkop

Sebelumnya kasus perkosaan terhadap pegawai Kemenkop UKM yang terjadi pada 6 Desember 2019. Kasus ini sempat dihentikan penyidikannya dengan keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Seorang perempuan yang bekerja di Kementerian Koperasi dan UKM diperkosa, kemudian dipaksa menikah dengan salah satu pelaku. Pernikahan yang hanya berlangsung sesaat ini ternyata dilakukan untuk membebaskan para pelaku dari penjara. Baca disini.

SP3 ditujukan pada Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Kota Bogor tertanggal 18 Maret 2020. Alasan kepolisian menghentikan penyidikan karena restorative justice kepada 4 orang terdakwa pelaku. Proses keadilan restoratif ini bertujuan untuk mendamaikan pelaku dengan korban.

Selanjutnya pada 19 Maret 2020 Polresta Bogor mengeluarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) yang kedua. Isi SP2HP menyatakan bahwa proses penyidikan terhadap perkara yang dilaporkan tidak cukup bukti. Karena itu untuk memberikan kepastian hukum Polresta Bogor menghentikan penyidikannya.

Pendamping hukum korban, Ratna Batara Munti dalam wawancara dengan Konde.co menyatakan korban tidak mendapatkan informasi dari kedua dokumen tersebut. Selain itu korban dan keluarga hanya menandatangani surat perjanjian, bukan pencabutan laporan. 

Keluarga korban baru mengetahui adanya SP3 yang menghentikan penyidikan kasus ini pada Februari 2022. Setelah didampingi LBH APIK Jabar, keluarga korban berencana mengajukan gugatan praperadilan atas SP3 kasus perkosaan tersebut.  

Namun rencana gugatan praperadilan ini urung diajukan setelah pada 21 November 2022 hasil rapat koordinasi di Kementerian Polhukam memutuskan untuk mengoreksi SP3 Polresta Bogor. Jadi tidak perlu praperadilan, tapi cukup dengan gelar perkara khusus. SP3 kasus tersebut dicabut, sehingga kasus perkosaan pegawai Kemenkop UKM yang sebelumnya dihentikan maka dibuka kembali. 

“Bahwa kasus perkosaan terhadap seorang pegawai di kantor Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah yang korbannya bernama NDN dilanjutkan proses hukumnya dan dibatalkan SP3-nya,” kata Menkopolhukam, Mahfud MD seperti dikutip dari akun media sosialnya, pada Senin (21/11/2022). Rapat koordinasi lintas kementerian dan lembaga tersebut melibatkan Bareskrim Polri, LPSK, Kompolnas, Kejaksaan, Kemenkop UKM dan Kementerian PPPA.

Pernyataan Menkopolhukam ditindaklanjuti dengan gelar perkara khusus pada 30 November 2022. Hasil gelar perkara khusus di Polda Jabar memutuskan kasus dapat dilanjutkan di Polresta Bogor. Selanjutnya pada 7 Desember 2022 penyidikan lanjutan terhadap 4 tersangka ZP, NN, WH dan MF pun dilanjutkan. 

Korban menerima SP2HP dengan nomor: SP2HP/2355/XII/RES.1.24/2022 tertanggal 7 Desember 2022. Surat tersebut menyatakan penyidik telah membuka kembali perkara yang telah dihentikan (SP3) berdasarkan Surat Perintah Dirreskrimum Polda Jabar Nomor: Sprin/630/XI/RES.7.5/2002/Ditreskrimum, tanggal 25 November 2022 perihal pelaksanaan gelar perkara khusus terhadap penghentian penyidikan Tindak Pidana yang dilakukan oleh penyidik Polresta Bogor Kota untuk dapat memberikan rasa keadilan dan untuk kepastian hukum untuk dilakukan proses penyidikan lanjutan.  

Alasan Penghentian Penyidikan Karena Restorative Justice Tidak Tepat 

Alasan penyidik Polresta Bogor yang menghentikan penyidikan karena restorative (RJ) atau dalam hal ini menyelesaikan persoalan dengan mendamaikan pelaku dan korban mendapat sorotan sejumlah pihak. Mulai dari pakar hukum pidana, Kompolnas, hingga Kemenkopolhukam. 

Pakar hukum pidana Universitas Brawijaya, Lucky Endrawati mengatakan penyidik melakukan kesalahan dalam penerapan keadilan restoratif. Ia menjelaskan apapun jenis delik yang digunakan, entah delik aduan ataupun delik biasa, restorative justice tidak dapat diterapkan jika ancaman hukumannya di atas 5 tahun. 

“Ancaman pidananya baik itu pasal 285 maupun 286, itu sama-sama diatas lima tahun. Jadi entry point-nya sudah salah. Menerapkan RJ itu sudah salah.  Jadi bagaimana mau menghentikan kasus, dasarnya itu sudah salah,” ujar Lucky dalam konferensi pers yang digelar Tim Independen dan Jaringan Pembela Hak Perempuan pada Jumat (11/11/2022).

Ketentuan soal penerapan restorative justice ini menurut Lucky diatur baik dalam Peraturan Kapolri (Perkap), Peraturan Jaksa Agung maupun Peraturan Mahkamah Agung (Perma). Selain itu restorative justice juga tidak bisa menjadi alasan untuk menghentikan proses penyidikan. 

“RJ itu bukan merupakan alasan menghapus proses penyidikan. Ndak bisa itu karena di awal sudah keliru,” katanya. 

Sementara menurut Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, RJ tidak dapat diterapkan pada kasus yang menjadi perhatian publik. 

“Perkap tentang RJ jelas menegaskan jika kasus tindak pidana menjadi perhatian publik maka tidak boleh dilakukan RJ,” jelas Poengky. 

Ia mengatakan hal yang sama juga terjadi pada kasus Banten. Ketika itu proses penanganan mengacu pada Surat Edaran (SE) Kapolri Nomor 8 tahun 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana. 

Pandangan serupa disampaikan Menko Polhukam Mahfud MD yang mengatakan restorative justice hanya bisa diterapkan pada kasus-kasus ringan yang hukumannya di bawah 5 tahun. Dengan begitu, kasus perkosaan yang hukumannya di atas 5 tahun tidak bisa menggunakan restorative justice. 

“Kemudian alasan pengeluaran SP3 berdasarkan restorative justice perdamaian antara pihak-pihak yang bersangkutan, selain dibantah oleh korban dan keluarga korban dan juga dibantah bahwa mereka telah memberi kuasa terhadap seseorang untuk mencabut laporan yang itu pun tidak sah, maka restorative justice itu hanya berlaku untuk tindak pidana tertentu yang sifatnya ringan, misalnya delik aduan ya kalau kejahatan yang serius yang ancamannya misalnya 4 tahun lebih atau 5 tahun lebih itu tidak ada restorative justice,” jelas Mahfud.

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!