Selamat Jalan Dyah Sujirah ‘Sipon’: Istri Wiji Thukul Dalam Kenanganku

Kami sangat berduka. Dyah Sujirah, atau Mbak Sipon, istri aktivis Wiji Thukul, ibu dari Fajar Merah dan Nganthi Wani, meninggal dunia pada Kamis, 5 Januari 2023 di RS Hermina Solo akibat serangan jantung. Mbak Pon adalah perempuan yang punya kesabaran tanpa batas.

Aku mengenal Dyah Sujirah atau Mbak Sipon sekitar tahun 1994. Saat itu rumah Wiji Thukul cuma selemparan batu dengan markas Partai Rakyat Demokratik/ PRD Solo, di Jebres Solo, dimana aku beraktivitas disana sejak zaman Pemerintahan Orde Baru yang represif.

Rumah Thukul yang lengkap dengan koleksi buku, kerap jadi tempat nongkrong kawan-kawan kami. Di sana juga aktivitas anak-anak Sanggar Suka Banjir dimana Wiji Thukul banyak menelorkan puisi-puisi perjuangan melawan pemerintahan Orde Baru, kemudian lahir. Otomatis, aku kerap bertemu Mbak Sipon. Saat itu, kedua anak mereka Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah, masih kecil- kecil.

“Wis mangan durung? (sudah makan belum?),” itu pertanyaan khas dari Mbak Pon, setiap kami datang. Pasti, Mbak Pon selalu dalam posisi sedang duduk di belakang mesin jahitnya. Meski kondisinya pas-pasan, Mbak Pon, tak segan menyuruh kami langsung ke dapur dan makan. Ia pasti paham setiap melihat tampang kami yang kelaparan. Menu yang kerap dimasaknya adalah sayur lodeh, tempe goreng dan ikan asin.

Mbak Pon sendiri dulu juga aktivis buruh seperti Wiji Thukul. Ia juga gemar berkesenian seperti Thukul.
Menjadi istri Thukul, Mbak Sipon kerap ditinggal ke luar kota, nyaris tanpa penghasilan. Tapi Ia tak pernah mengeluh. Pun berkali rumahnya disatroni aparat. Ia sadar betul dengan aktivitas Wiji Thukul suaminya.

Mbak Sipon kemudian menggerakkan periuk nasi keluarga kecilnya, termasuk membiayai aktivitas wira- wiri Thukul dengan cara menjahit baju. Mulai dari bikin seragam pesanan, bikin taplak meja, bikin sprei, celana pendek. Macam-macam. Ini semua Ia lakukan untuk menghidupi ekonomi keluarga mereka.

Saat Thukul dikejar-kejar aparat paska peristiwa 27 Juli 1996, Mbak Pon juga kena getahnya. Ia diinterogasi aparat. Anak-anaknya diteror. Tapi mbak Pon Tabah.

Thukul kemudian menjadi buronan hingga ke Pontianak. Kisah mbak Pon, dan Thukul pada fase itu, tertuang di film “Istirahatlah Kata-Kata”, karya sutradara Yosep Anggi Noen.

Sebagai manusia biasa, Wiji Thukul juga memendam kerinduan pada keluarga. Ada keromantisan Wiji Thukul dengan cara yang unik, yakni saat Wiji Thukul memberikan sebuah rok mini kepada Sipon. Dia mendapatkannya dari pasar yang khusus menjual pakaian bekas di Pontianak yang pernah jadi tempat persembunyiannya

Sipon juga merasakan rindu sekaligus perjuangan yang tak mudah, sebab Sipon sendirian harus menghadapi tekanan lingkungan sosialnya dengan mendapatkan stigma sebagai perempuan Jawa yang ditinggal pergi oleh suaminya tanpa kabar berita bersama dua orang anak yang masih kecil. Ditambah pula represi dari aparat keamanan yang setiap hari berada di dekat rumahnya.

Saat kerinduan itu dilepas oleh Sipon, yaitu ketika Sipon bisa bertemu sesaat dengan Thukul, seorang tetangganya menyebutnya “lonte”. Sebab Sipon dan Wiji Thukul pernah bertemu di sebuah penginapan. Tetangga tidak mengetahui kalau Wiji Thukul saat itu sedang datang dari pelariannya.

Tekanan – tekanan kerinduan Sipon lebih berat sebab Sipon sendiri masih menginginkan Wiji Thukul tetap ada bersama – sama berjuang menghadapi ketertindasan hidup dan membesarkan anak.

Setelah situasi membaik pada paruh 1997, Thukul sempat kembali ke Solo. Namun tak lama di rumah, ia kembali bergabung dengan PRD, dan mengorganisir para buruh di Tangerang. Sampai ia kemudian ditanyakan hilang pada 1998. Thukul adalah salah satu dari 14 korban penculikan di masa Orba yang belum kembali sampai kini.

Setelah itu, hidup menjadi babak baru buat mbak Sipon. Ia lalu berdiri di garda depan advokasi orang hilang. Ia kerap ikut aksi, advokasi ke Jakarta, bertahun-tahun lamanya, dan tetap tak ada kejelasan di mana Thukul berada

Seorang diri, dengan menjahit baju, mbak Pon menghidupi kedua anaknya. Hingga bertahun lalu, kesehatannya mulai menurun, Ia didera diabetes hingga sebelah kakinya, mulai pergelangan kakinya kemudian harus diamputasi.

Kabar kematiannya membuatku bingung, pedih. Bagiku, Mbak Pon tak hanya istri seorang Wiji Thukul. Ia adalah seorang pejuang itu sendiri. Ia adalah aktivis, dengan ketangguhan dan ketabahan tanpa batas. Selamat jalan, Mbak Pon, terimakasih untuk perjuanganmu selama ini.

(Foto: Twitter)

Lilik HS

Penulis dan aktivis
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!