Survei: Perempuan, Queer, Disabilitas Lebih Rentan Jadi Korban Kekerasan di Dunia Kerja

Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja berdampak negatif terhadap kehidupan profesional maupun personal dari para korban dan juga saksi. Sayangnya, hal tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan yang kuat

Pelecehan dan kekerasan di dunia kerja itu bisa mengancam siapa saja. Tak terkecuali, bagi perempuan, ragam gender non-binary (queer) dan disabilitas yang ternyata menjadi kelompok paling rentan. 

Fakta tersebut ditemukan dalam hasil survei terbaru Never Okay Project tahun 2022. Didukung Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), survei kuantitatif ini  disebarkan secara daring pada 12 Agustus – 13 September 2022. Sebanyak 1173 orang di berbagai wilayah di Indonesia terlibat menjadi responden. 

“Ini menunjukkan bahwa semua bisa kena, walau tidak dapat dapat dipungkiri tetap terdapat kelompok yang lebih rentan yaitu kelompok queer/non-biner, perempuan, dan penyandang disabilitas,” tulis laporan hasil riset yang diterima Konde.co beberapa waktu lalu.

Bentuk-bentuk pelecehan dan kekerasan yang paling banyak terjadi adalah tindakan non-konsensual seperti disentuh, dicium, dipeluk, mendapat kedipan, dan gestur seksual. Selain itu, tindak kekerasan ini bisa seperti dimaki, diolok-olok, dipukul, ditendang, ditampar sampai disebarkan rumor/gosip yang tak benar secara daring. 

Demografi responden dilihat dari identitas gender terdiri dari perempuan 73,66% (864 orang), laki-laki 24,47% (287 orang), dan non-biner/queer 1,88% (22 orang). Mayoritasnya responden tersebar bekerja di daerah DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur.

Kerentanan berdasarkan gender diketahui dari survei bahwa 95,45% responden non biner/queer pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja (21 dari 22 responden non-biner). Sedangkan, 75,93% responden perempuan pernah mengalami salah satu bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja (656 dari 864 responden perempuan) dan pekerja dengan disabilitas juga 86,21% mengaku pernah menjadi korban. 

“Faktor-faktor kerentanan tersebut di atas juga menekankan pentingnya membuat dunia kerja yang lebih aman untuk kelompok rentan (dalam hal ini pekerja perempuan, pekerja non-biner dan pekerja dengan disabilitas),” imbuhnya.

 Dari hasil survei diketahui, mayoritas responden mengaku pernah menjadi korban (832 orang), 855 orang pernah menjadi saksi, serta 627 orang pernah menjadi saksi sekaligus korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Baik korban maupun saksi memiliki latar belakang yang beragam, baik dilihat dari identitas gender, usia, tingkat pendidikan, jabatan, sektor kerja, dan lainnya. 

Kerentanan pekerja berdasarkan karakteristik tempat kerja ditemukan potensi terjadinya kekerasan dan pelecehan lebih tinggi dimungkinkan di tempat kerja yang didominasi laki-laki. Responden yang paling banyak mengalami pelecehan dan kekerasan adalah responden yang bekerja di tempat kerja yang didominasi laki-laki pernah menjadi korban (282 dari 380 responden).

“Hal ini tentu berkaitan dengan ketimpangan relasi gender, seperti yang disebutkan dalam faktor kerentanan berdasarkan identitas gender,” tulis temuan itu. 

Hasil survei menunjukkan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja terjadi di berbagai sektor kerja. Bahkan di setiap sektornya, terdapat paling sedikit 58,06% korban. Karena itu, kebijakan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan dan pelecehan menjadi penting bagi pemberi kerja pada sektor apapun, baik pada sektor publik maupun swasta. 

Bentuk Kekerasan dan Pelecehan

Mayoritas responden dapat mengidentifikasi kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. Kemampuan mengidentifikasi bentuk kekerasan dan pelecehan di dunia kerja ini menurut laporan tersebut sangatlah penting dalam upaya membangun kultur dan lingkungan kerja yang lebih aman. Termasuk dalam upaya mengakhiri normalisasi beberapa bentuk kekerasan dan pelecehan, serta menghindari terus berkembangnya kebiasaan menyalahkan korban (victim blaming).

Jika dilihat dari bentuknya, kekerasan dan pelecehan psikologis merupakan yang paling marak terjadi. Disusul dengan kekerasan dan pelecehan seksual, berdimensi ekonomi, secara daring, dan fisik. 

Kekerasan dan pelecehan psikologis menjadi jenis kekerasan dan pelecehan yang paling marak terjadi terhadap para pekerja itu yaitu sebesar 77,40% (644 responden). Seperti, diolok-olok/diejek, dihina, direndahkan, menerima bercandaan tak senonoh (67,39%), disebarkan rumor/gosip tidak benar (48,45%), mendapatkan makian, teriakan, dan gangguan verbal lainnya (42,70%). 

Selanjutnya, kekerasan dan pelecehan seksual di nomor dua dengan persentase 50,48% (420 responden). Berbagai bentuknya meliputi menerima godaan/candaan/siulan bernuansa seksual, termasuk panggilan ‘sayang’ ‘cantik’ ‘seksi’ tanpa disetujui (74,29%), mendapat kedipan/lirikan/diperhatikan bagian tubuhnya dengan ekspresi seksual tertentu (49,29%) dan dicium, dipeluk atau disentuh tanpa persetujuan (47,14%).

“Salah satu unsur dari pelecehan seksual adalah adanya quid-pro-quo dalam bahasa indonesia ‘ini untuk itu”. Dalam konteks kekerasan dan pelecehan di dunia kerja, ini adalah situasi di mana pelaku meminta targetnya untuk melakukan perilaku seksual tertentu, sebagai syarat pemenuhan hak pekerja, kesempatan kerja dan penawaran lainnya,” tambahnya. 

Dimensi ekonomi kemudian menempati urutan ketiga sebesar 50,12% (417 responden). Sebesar 74,58% pernah diharuskan mengerjakan tugas di luar tanggung jawab posisi dan beban kerja yang tinggi (lembur tanpa insentif dan tidak cukup istirahat), 42,5% sering diminta bekerja larut malam di luar waktu kerja, 33,09% lainnya pernah dipaksa bekerja tanpa kejelasan pembayaran gaji. 

Pada masa pandemi ini, tak dipungkiri bahwa para pekerja juga mengalami bentuk kekerasan dan pelecehan secara daring (KBGO). Sebanyak 44,55% (180 responden) menerima godaan/candaan bernuansa seksual secara daring, 42,33% (171 responden) dikirimkan pesan teks/email/gambar/audio/video/stiker dg konten seksual daring, dan 38,12% (154 responden) diolok-olok, dihina, direndahkan secara daring.  

Atasan/supervisor atau rekan kerja yang lebih senior menempati posisi pertama dari pelaku kekerasan dan pelecehan di dunia kerja berdasarkan data yakni 54,81%. Hal ini mengonfirmasikan ketimpangan relasi kuasa antara pelaku dan korban. Selain pelaku internal, survei ini menunjukkan 18,27% responden pernah mengalami kekerasan dan pelecehan dari rekan kerja di luar organisasi, seperti klien/pelanggan, vendor, atau investor.   

Pengalaman responden menjadi saksi (855 responden atau 72,89%) lebih tinggi dibandingkan dengan pengalaman sebagai korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja (832 responden atau 70,93%).

“Peran saksi dalam melawan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja menjadi penting. Intervensi dari saksi (bystander intervention) pada kasus-kasus kekerasan dan pelecehan sangatlah diperlukan menciptakan dunia kerja yang aman, serta berpihak kepada korban,” katanya. 

Minim Mekanisme Penanganan, Korban Tak Banyak Lapor

Kekerasan dan pelecehan di dunia kerja tentu saja berdampak negatif terhadap kehidupan profesional maupun personal dari para korban dan juga saksi. Sayangnya hal tersebut tidak diimbangi dengan kebijakan yang kuat, mayoritas responden bahkan menyatakan di perusahaannya tidak terdapat kebijakan anti kekerasan dan pelecehan. 

Sejalan dengan hal tersebut, 42,55% korban menyatakan hanya bisa diam dan tidak tahu harus berbuat apa ketika mengalaminya. Sehingga tak heran untuk mendapatkan keadilan, tidak semua korban dapat menempuh jalur-jalur formal. 

Survei menunjukkan hanya 10,94% korban yang melaporkan kasusnya ke pihak kepolisian. 

Ditemukan pula indikasi kecilnya kepercayaan korban kepada pihak kepolisian dimana 50,08% korban merasa pihak kepolisian tidak akan melakukan apapun. Selain itu, ada antisipasi yang cukup besar (34,88%) bahwa pelaporan ke kepolisian memerlukan uang yang banyak.

Untuk mendapatkan keadilan, tidak semua korban dapat menempuh jalur-jalur formal. Dua tindakan teratas yang dilakukan korban masuk ke dalam kategori ini. Sebanyak 47,72% bercerita ke teman/keluarga di luar tempat kerja, serta 42,55% diam dan tidak tahu harus berbuat apa. 

Upaya yg dilakukan melalui jalur formal masih minim, yaitu 10,94% korban melaporkan ke pihak kepolisian (1,76%). Selain itu, hanya sedikit korban yg melaporkan kasus kepada serikat pekerja (0,96%). Padahal, serikat pekerja dapat menjadi pendukung bagi korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja. 

Hasil penanganan kasus yang dialami korban kekerasan dan pelecehan di dunia kerja didominasi dengan hasil negatif, terutama tidak ada hasil apapun (55,16%). Temuan ini berkaitan dengan masih banyak korban yang memilih untuk diam dan tidak melaporkan kasusnya. Selain itu, pada peringkat kedua ditemukan masih banyaknya praktik menyalahkan korban/victim blaming (18,54%). 

“Hal ini mengingatkan masih ada tantangan sosio-kultural di tengah masyarakat Indonesia yang banyak memberikan label negatif kepada korban kekerasan dan pelecehan. Contohnya adakah label provokatif, memancing, menggunakan pakaian tidak sopan, dan lainnya,” katanya. 

Terkait dengan minimnya pelaporan yang dilakukan korban kepada SDM/manajemen, ditemukan indikasi kecilnya kepercayaan korban kepada pihak SDM/manajemen di mana 45,61% korban merasa SDM/manajemen tidak akan melakukan apapun.

Dominasi pelaku sebagai rekan kerja dengan posisi lebih tinggi atau memegang kekuasaan, juga mempengaruhi minimnya pelaporan ke SDM, dimana korban khawatir ada pembalasan dari pelaku (31,44%), juga dikarenakan pelaku memiliki posisi penting yang dapat mempengaruhi SDM/manajemen (27,26%).

Secara keseluruhan, alasan-alasan di balik resistensi korban untuk melapor kepada SDM/manajemen juga menunjukkan perjalanan korban yang kerap merasa sendirian dalam melalui hal ini, ditandai dg perasaan khawatir tidak akan ada yang percaya (37,78%) dan takut akan disalahkan (31,04%).

Dampak kekerasan dan pelecehan di dunia kerja tak bisa dianggap sepele. Bukan hanya dampak profesional, tapi juga fisik dan kesehatan mental. 

Dampak secara profesional, sebanyak 40,38% korban kebanyakan ingin keluar dari perusahaan/institusi tempat ia bekerja. Sedangkan 39,18% korban (326 orang) menyatakan ingin pindah ke industri kerja yang lebih aman. Hal ini menunjukkan jika kekerasan dan pelecehan sering terjadi dan terus dibiarkan di suatu industri, maka ada resiko industri tersebut akan kehilangan pekerja yg memiliki potensi, kemampuan, dan kompetensi. 

Di sisi lain, 26,56% korban (221 orang) mengajak teman-teman kerjanya untuk lebih berhati-hati dan mengajukan perbaikan kondisi keamanan keselamatan kerja ke manajemen, serta 18,15% korban (151 orang) memberanikan diri untuk angkat suara (speak up) di komunitas dan menjadi aktivis untuk menyerukan pentingnya lingkungan kerja aman bebas pelecehan. 

Dampak  negatif dirasakan korban dari segi kesehatan fisik dan mental. Selain itu, hubungan dan komunikasi sosial dengan teman, keluarga dan relasi di luar kerja menjadi terganggu (41,47%). Artinya, meski kekerasan dan pelecehan terjadi di dunia kerja, efeknya berkembang ke luar relasi kerja. Dampak paling mengkhawatirkan tentunya adalah adanya keinginan korban untuk mengakhiri hidup (12,86%)

Di situasi itu, mekanisme penanganan kekerasan dan pelecehan di institusi/perusahaan pemberi kerja masih minim, dimana 34,53% responden mengaku tidak ada mekanisme penanganan sama sekali. Pada opsi mekanisme lain (selain sanksi tegas kepada pelaku), angka persentase konsisten berada di bawah (30%).

Sebanyak 23,53% responden tidak mengetahui apakah ada atau tidak mekanisme penanganan kekerasan dan pelecehan di tempat kerjanya. Situasi ini menjadi suatu tantangan untuk pemberi kerja agar tidak lupa mensosialisasikan peraturan yg ada, baik secara internal kepada para pekerjaannya maupun secara eksternal kepada pihak ketiga/lain (dengan hubungan kerja). 

Meskipun begitu, mayoritas saksi berperan aktif dalam membantu korban dan turut menyuarakan perbaikan kondisi keamanan dan keselamatan kerja ke manajemen. Peran aktif dari para pekerja menjadi langkah awal yang sangat baik dalam menciptakan dunia kerja aman untuk semua. 

“Temuan-temuan penting pada survei ini kembali menunjukkan urgensi akan adanya perlindungan hukum yang komprehensif untuk melindungi pekerja Indonesia dari kekerasan dan pelecehan di dunia kerja,” katanya.  

Upaya yang telah dilakukan lembaga negara, asosiasi pengusaha dan bisnis, serikat pekerja, organisasi internasional, lembaga swadaya masyarakat, dan organisasi masyarakat sipil terus dilanjutkan. Salah satu yang bisa dilakukan bersama-sama adalah dengan mendorong Indonesia untuk meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja antara lain melalui petisi change.org/lawanpredatorduniakerja

(Artikel ini merupakan bagian dari peliputan stop kekerasan dan pelecehan di dunia kerja dan ratifikasi Konvensi ILO 190 yang didukung oleh Program VOICE)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!