Konde.co menghadirkan “The Voice” yaitu edisi khusus para aktivis perempuan menuliskan refleksinya. Ini merupakan edisi akhir tahun Konde.co yang ditayangkan 28 Desember 2022- 8 Januari 2023
Menulis tentang kekerasan dan penyiksaan berbasis gender terhadap perempuan disabilitas ibarat membuka ruang sunyi yang kerap dipandang jamak. Mengapa dipandang jamak?
Di tengah-tengah masyarakat, ada dua pandangan yang mere viktimisasi dan diskriminatif.
Pertama, penyandang disabilitas dipandang aseksual, tak memiliki hasrat seksual karena kondisi disabilitasnya khususnya disabilitas mental dan disabilitas intelektual. Bahkan, bila terjadi kekerasan seksual, kriminalitas tersebut dianggap sebagai akibat perilakunya sendiri yang tak bisa menjaga diri.
Kedua, perempuan disabilitas dinilai tak layak berhadapan dengan hukum, tak paham proses penanganan kasusnya. Karena itu solusi yang digunakan adalah cara-cara kekeluargaan seperti ganti rugi menurut adat. Ada pula yang menikahkan korban dengan pelaku.
“Syukur ada yang bersedia menikah dengan dia,” begitu komentar yang saya dengar dari seorang pegiat hak asasi penyandang disabilitas.
Rasa malu orang tua ketika anak perempuan disabilitas mengalami kekerasan seksual membuat mereka menyembunyikan kasusnya agar nama baik tidak tercemar.
Temuan menunjukkan kekerasan seksual baru diketahui ketika terjadi perubahan pada tubuh saat kehamilan berusia 3-5 bulan. Temuan ini didapat dari pemantauan Komnas Perempuan terhadap pemberitaan media daring tentang kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak perempuan dengan disabilitas mental.
Ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual tak hanya terjadi sekali melainkan berkali-kali. Beberapa pelaku bahkan tidak dapat dikenali karena korban adalah penyandang disabilitas psikososial.
Layanan Kesehatan Mental, Komunitas & Keluarga Belum Jadi Ruang Aman
Ruang sunyi penyiksaan berbasis gender terhadap perempuan disabilitas terdapat di ruang-ruang isolasi seperti panti rehabilitasi dan rumah sakit jiwa. Komnas Perempuan menyebut ruang layanan kesehatan mental dengan mengisolasi sebagai “tempat-tempat serupa tahanan”. Mengapa? Di antaranya: (a) terjadi isolasi dari masyarakat, (2) pengurungan, (3) penghukuman dengan isolasi di sel khusus bila melakukan kesalahan.
Ruang-ruang sunyi tersebut perlu disibak seluas-luasnya agar ragam penyiksaan terhadap perempuan disabilitas psikososial makin dikenali. Sehingga dapat disusun langkah-langkah pencegahan, penanganan dan pemulihan seturut kebutuhan khusus mereka.
Apalagi keluarga dan lingkungan komunitas terdekat merupakan hambatan besar dalam proses pemulihan penyandang disabilitas psikososial. Antara lain dengan meninggalkan mereka di panti-panti rehabilitasi ketika dokter menyatakan bahwa mereka telah dapat beradaptasi dengan keluarga dan komunitasnya.
Pemantauan Komnas Perempuan juga menemukan, terdapat perempuan disabilitas psikososial yang telah mampu beradaptasi secara sosial, terpaksa menetap seumur hidup di panti-panti rehabilitasi karena keluarganya mengabaikan dan pihak panti kehilangan kontak.
Sebagai penyintas, ia menjadi seseorang tanpa keluarga sekaligus kehilangan sebagian sejarah hidupnya. Ia juga, kehilangan peluang untuk masa depan yang lebih baik di antaranya mengembangkan diri, berkeluarga, bekerja dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial. Mereka ditugaskan sebagai pekerja di dapur, mencuci pakaian dan membersihkan ruangan.
Komunitas tempat tinggal pun turut mendiskriminasi dengan stigma “orang gila” sehingga penyintas “kembali kumat” dan balik dirawat di panti rehabilitasi. Ada pula keluarga yang memandang perempuan dengan masalah kejiwaan sebagai “kurang beriman” atau “kena guna-guna” sehingga tidak mendapat penanganan yang tepat.
Bertolak dari pengalaman Komnas Perempuan, beberapa tantangan penelitian terkait perempuan disabilitas psikososial yang perlu diperhatikan adalah soal informed consent. Persetujuan merupakan hak penyandang disabilitas yang kerap dilanggar.
Diperlukan pendekatan khusus, dengan pendampingan dan waktu yang relatif lebih panjang untuk memperoleh persetujuan. Misalnya, mengutip tuturan mereka dalam laporan penelitian. Persetujuan juga berlaku ketika perempuan disabilitas psikososial akan dirawat di rumah sakit jiwa atau masuk panti rehabilitasi.
Tantangan selanjutnya adalah, alokasi waktu yang lebih lama untuk mendapatkan data pengalaman kekerasan seksual. Wawancara dengan perempuan disabilitas psikososial korban kekerasan seksual memerlukan pendamping khusus terutama ibu korban atau anggota keluarga yang dipercayainya.
Wawancara pertama tak selalu mendapatkan data yang dibutuhkan karena ibu atau pendamping korban merasa malu dan tabu untuk membujuk anaknya menceritakan kasusnya. Tim peneliti harus bersabar dan meraih kepercayaan ibu atau pendamping korban. Ini bisa dilakukan misalnya bermitra dengan organisasi lokal yang dapat berbahasa daerah setempat dan mengenal lingkungan korban.
Kunjungan ke rumah korban perlu dilakukan beberapa kali agar ibu dan korban merasa akrab. Hingga mampu menceritakan kekerasan seksual yang terjadi, siapakah pelakunya dan apakah kasusnya dilaporkan.
Selain itu, data pilah kependudukan berdasarkan jenis, kondisi disabilitas dan jenis kelamin juga sulit diperoleh. Di tingkat kabupaten atau kota pun, data terpilah tersebut belum tersedia. Padahal, advokasi hak-hak penyandang disabilitas membutuhkan basis data terutama berdasarkan kajian. Upaya mencari data terpilah juga menjadi ruang advokasi saat melakukan penelitian.
Capaian Kebijakan dan Catatan Diskriminasi yang Masih Ada
Hingga tahun 2022, Indonesia mencatat beberapa pemajuan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Seperti, UU No. 8 Tahun 2018 tentang Penyandang Disabilitas dan sekitar 10 Peraturan Pemerintah dan Peraturan Presiden sebagai turunannya. Namun semua masih membutuhkan penguatan implementasinya di seluruh tanah air dari segi program maupun anggaran.
Yang terbaru adalah UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang mengintegrasikan hak-hak penyandang disabilitas korban kekerasan seksual secara komprehensif.
Sementara UU KUHP yang baru saja disahkan menempatkan Tindak Pidana Pencabulan termasuk terhadap perempuan penyandang disabilitas sebagai tindak pidana kesusilaan dan bukan Tindak Pidana terhadap Tubuh karena sarat muatan kekerasan seksual. Apalagi ada pasal khusus yang menyatakan bahwa semua tindakan pencabulan dan tindakan memudahkan pencabulan merupakan tindak pidana kekerasan seksual.
Masih tercatat pula diskriminasi terhadap perempuan disabilitas dalam UU Perkawinan yang menyatakan bahwa poligami dapat diajukan ketika istri cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih menjadikan kondisi disabilitas sebagai alasan pemutusan hubungan kerja.
Indeks inklusivitas Indonesia juga masih terbilang rendah pada jenjang dunia pun di kawasan ASEAN. Di tingkat dunia, Indonesia berada di peringkat 125, posisi yang lebih rendah dari Vietnam, Thailand, Filipina dan Singapura.
Pemerintah Indonesia ditantang untuk meningkatkan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas sebagai kelompok rentan agar dapat berkembang secara inklusif. Ini sejalan dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), yakni leaving no one behind.
Kita mengucapkan selamat datang tahun 2023 dengan harapan besar ruang-ruang sunyi tersibak seluas-luasnya melalui kajian, laporan pemantauan dan pemberitaan media massa. Diiringi langkah lebar advokasi berkelanjutan bagi pencegahan dan pemenuhan hak-hak perempuan penyandang disabilitas korban kekerasan seksual.