The Voice: Miskin dan Putus Asa, Para Perempuan Putuskan Jadi Pekerja Migran

Putus asa dan kemiskinan memaksa perempuan (termasuk perempuan remaja) menjadi pekerja migran. Mereka ada yang terpaksa membayar hutang selama proses migrasi dengan melakukan prostitusi terpaksa atau menjadi kurir narkoba.

Konde.co menghadirkan “The Voice”: Edisi khusus para aktivis perempuan menulis tentang refleksinya. Ini merupakan edisi akhir tahun Konde.co yang ditayangkan 28 Desember 2022- 8 Januari 2023

Sebanyak 6,6 juta  dari 258 juta pekerja migran di dunia adalah perempuan (International Migration report 2017). Jumlah itu lebih dari setengahnya. Diperkirakan jumlahnya malah lebih karena karena kurangnya data terpilah berdasarkan jenis kelamin dan statistic tentang migrasi. 

Banyak kekerasan terhadap perempuan tidak terekam dalam sumber-sumber data tradisional. Ditambah lagi kelangkaan data yang parah yang merekam, manipulasi, dan kekerasan yang dihadapi oleh perempuan pekerja migran, terutama mereka yang bekerja di sektor yang berketerampilan rendah.

Kurang lebih 100 juta perempuan pekerja migran mengirim remiten setiap tahunnya, menduduki setengah dari seluruh pengirim remiten seluruh dunia (International Fund for Agricultural Development: Sending Money Home, 2017).  

Namun ironisnya pada kenyataannya perempuan pekerja migran terus menerus mengalami ketidaksetaraan di dalam pasar tenaga kerja, misalnya upah yang diterima oleh perempuan pekerja migran umumnya atau biasanya lebih rendah daripada laki-laki pekerja migran (UN women, 2013) padahal perempuan pekerja migran mengirim 20 persen lebih banyak remiten ketimbang laki-laki pekerja migran (Migration, Remittance, and Financial Inclusion, UN Women, 2017)

Perempuan pekerja migran selain merupakan korban terbanyak dari pelanggaran Hak Asasi Manusia, termasuk kekerasan berbasis gender. Selain itu Perempuan pekerja migran menghadapi berbagai  prasangka dan multi dan bentuk-bentuk diskriminasi yang saling beririsan bukan hanya sebagai perempuan dan migran, namun juga berbasis pada aneka ragam karakteristik-karakteristik yang saling berhubungan, termasuk umur, penghasilan, status pernikahan dan keluarga, orientasi seksual dan identitas gender, disabilitas, status HIV, status kesehatan, kehamilan, tempat tinggal, dan situasi ekonomi dan sosial. 

Diskriminasi-diskriminasi tersebut telah menghilangkan hak-hak asasi perempuan pekerja migran, dan meningkatkan resiko mendapatkan atau mengalami kekerasan. Ketika perempuan bermigrasi, mereka menjadi terbuka bagi eksklusi sosial dan ekonomi, eksploitasi, kekerasan berbasis gender, bahkan terbuka bagi kejahatan perdagangan orang.  

Umumnya alasan perempuan bermigrasi memang bermacam-macam, namun umumnya karena terpaksa oleh kondisi, seperti kemiskinan dan kurangnya pendidikan dan kesempatan atau peluang kerja, hingga karena pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, konflik, degradasi lingkungan hidup, bencana atau perampasan tanah, Kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan dari pasangannya seringkali menjadi faktor sentral yang mempengaruhi perempuan memutuskan untuk bermigrasi. 

Faktor ini kerap menciptakan kondisi bagi eksploitasi, korupsi dan ketidakpedulian atas kebutuhan-kebutuhan perempuan, diperparah dengan kurangnya perlindungan dari peraturan dan perundang-undangan dan sistem peradilan nasional.

Selama proses dan perjalanan bermigrasi, perempuan menghadapi resiko berbahaya, termasuk resiko kekerasan seksual dari geng-geng kriminal, pelaku perdagangan orang, migran lainnya, dan pejabat-pejabat korup. 

Meskipun bisa saja perempuan pekerja migran mencari perlindungan dari teman laki-lakinya atau kerabat laki-lakinya, namun anggota-anggota keluarganya ini kerap malah menjadi yang bertanggung jawab atas perlakuan tindakan kekerasan. 

Di dalam situasi opsi yang sangat terbatas, dan situasi putus asa, walaupun banyak perempuan merasa mereka sedikit atau bahkan tak memiliki pilihan mereka tetap menanggung dan menjalaninya meski menghadapi kemungkinan-kemungkinan situasi-situasi yang menakutkan dan buruk selama perjalanan bermigrasi sendirian. Mereka juga terpaksa bergantung pada penyelundup untuk membantu mereka menyeberangi perbatasan dan melintasi lebih dari satu negara. 

Perempuan migran juga kerap terjebak hutang dengan syarat-syarat yang eksploitatif, seperti “bayar nanti saat sampai,” dan lebih rentan bagi perlakuan seksual tak senonoh, eksploitasi ekonomi, dan kejahatan perdagangan orang.

Putus asa dan kemiskinan memaksa perempuan (termasuk perempuan remaja) pekerja migran terpaksa membayar  hutang selama proses migrasi (transportasi dan pengurusan dokumen) dengan prostitusi terpaksa ( membayar hutang dengan seks)  atau menjadi kurir perdagangan narkoba.

Bentuk-bentuk kontemporer dari rasisme, diskriminasi ras, xenophobia, intoleransi,populisme nasionalistik seperti yang dilaporkan dalam The Special Rapporteur nya, UN General Assembly, tahun 2018, menyumbang munculnya heteronormatif, visi bangsa yang patriarkal, yang mengakibatkan pelanggaran serius hak asasi manusia perempuan, bersama-sama dengan minoritas-minoritas ras, etnis, agama, seksual dan gender, memperparah resiko mereka mendapatkan kekerasan dan diskriminasi. Bangkitnya agenda-agenda politik dan kebijakan- kebijakan yang kembali kepada “nilai-nilai tradisional” kerap malah menggerus hak-hak perempuan.

Kekerasan berbasis gender merupakan terminologi induk yang digunakan untuk membahas kekerasan, dengan mengkategorikan kekerasan dalam tiga bentuk yang berbeda namun saling terkait, yaitu: kekerasan interpersonal, structural dan simbolis.

Kekerasan interpersonal adalah kekerasan yang dilakukan oleh individu-individu, termasuk kekerasan yang dilakukan kepada anggota keluarga dan pasangan, termasuk juga kekerasan komunitas (Montesanti S R, 2015). Kekerasan yang dilakukan kepada anggota keluarga dan pasangan mencakup penelantaran anak, kekerasan pasangan intim, perlakuan kejam terhadap lansia atau manula, sementara kekerasan komunitas itu mencakup serangan oleh orang tak dikenal, dan kekerasan terhadap individu-individu yang tak punya hubungan baik itu ruang public maupun privat. Kekerasan berbasis gender interpersonal bisa terjadi terhadap perempuan migran (perempuan remaja migran), apalagi yang mereka adalah migran paksa (forced migrants) yang dilakukan oleh aneka macam pelaku termasuk aparat pemerintah, aparat kepolisian dan militer, milisi, penyelundup, pedagang orang (trafficker), migran lainya, anggota-anggota komunitas warga negara tuan rumah, teman laki-laki, anggota keluarga, pasangan (pacar,), suami, di dalam konteks migrasi terpaksa.

Kekerasan struktural adalah bentuk kekerasan yang dibangun dalam struktur masyarakat dan menciptakan dan memelihara ketidaksetaraan di dalam atau diantara kelompok-kelompok sosial, mencakup yang berbasis gender, seksual, etnis, agama, abilitas-disabilitas, posisi sosio-ekonomi, dan status imigrasi (Montesanti S R and Thurston W E, 2015) Kekerasan struktural muncul karena akses kekuasaan yang berbeda, yang mengakibatkan perbedaan akses informasi, sumber daya, suara, keagenan, dan representasi. Ia dibangun dan ditegakkan oleh institusi-institusi ( termasuk pemerintah dan lembaga-lembaga pemerintah), melalui adat kebiasaan, praktek, dan hukum, dan bermanifestasi di dalam baik itu syarat-syarat material maupun kekuasaan. Kekerasan struktural kerap diberlakukan kepada warga migran (paksa) melalui kebijakan imigrasi dan suaka. 

Ia juga terjadi karena ketika institusi-institusi gagal merespon kebutuhan-kebutuhan perempuan migran (paksa), tak menghormati atau menghargai, memperlakukan mereka dengan buruk, menegakkan dan mereproduksi norma-norma seksis diskriminatif, patriarkal, dan misoginistis yang mempertahankan subrodinasi perempuan.

Istilah kekerasan simbolik pertama kali diciptakan oleh Pierre Bourdieu (tahun 1979) untuk menjabarkan kekerasan non fisik, yang bermanifestasi di dalam perbedaan-perbedaan kekuasaan diantara kelompok-kelompok sosial. Istilah kekerasan simbolik digunakan untuk menjabarkan ideologi-ideologi, kata-kata, perilaku, dan komunikasi non verbal, yang memproduksi, mereproduksi, dan melegitimasi relasi-relasi kekuasaan di dalam praktek sehari-hari (Montesanti S R, Thruston W E, 2015).Kekerasan simbolik mendukung pandangan-pandangan dominasi laki-laki sebagai bagian dari “tatanan alamiah”, dan kondisi-kondisi yang memunculkan prasangka dan diskriminasi dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya yang lebih kelihatan. Selain itu, para korban dapat menginternalisasi relasi-relasi kekuasaan dan hirarki-hirarki ini, baik itu menerima dominasi mereka laki-laki  sebagai yang absah, masuk akal dan menganggap normal kekerasan yang dilakukan kepada mereka perempuan.

Kekerasan struktural, simbolik dan interpersonal secara dinamis saling tertaut melalui proses sosial, politik dan ekonomi yang membentuk kekerasan yang terjadi baik di ranah public maupun ranah privat. Dan kekerasan dapat dilakukan oleh individu-individu, kelompok-kelompok sosial, institusi-institusi yang berbeda. Kekerasan struktural dan simbolik, bagi perempuan dan kelompok-kelompok marjinal lainnya, bisa memunculkan kekerasan interpersonal, yang membuat perempuan tak mampu mengakses pencegahan kekerasan dan merespon layanan-layanan yang mereka butuhkan. Dengan demikian kekerasan menampilkan kekerasan berbasis gender didasarkan oleh patriarki yang dibentuk oleh elemen structural dan ideologis. Secara struktural patriarki mengorganisir institusi-institusi sosial dan hubungan-hubungan sosial dalam suatu hirarki yang membuat laki-laki bisa melestarikan posisi dan privilese mereka. Secara ideologis, patriarki menyediakan cara menciptakan penerimaan subordinasi perempuan tersebut.

Semua bentuk-bentuk kekerasan tersebut, baik itu structural, simbolik maupun interpersonal dan kombinasi antara ketiganya pernah dan sedang dialami perempuan pekerja migran manapun di dunia, termasuk perempuan pekerja migran Indonesia. Sudah sangat banyak kasus-kasus kekerasan yang menimpa perempuan pekerja migran Indonesia, dan banyak kesaksian-kesaksian yang yang diungkap ke media, dan sampai sekarang kekerasan-kekerasan tersebut masih terjadi.

Berikut ini adalah kisah nyata dari seorang perempuan pekerja migran Indonesia yang mengalami ketiga bentuk kekerasan tersebut:

“MSM, seorang perempuan PMI yang berasal dari Palu, Sulawesi Tengah. Dengan penuh harapan MSM berangkat menuju Brunei Darussalam melalui PT, Bumi Mas Mandiri Indonesia, yang kantornya berlokasi di Bekasi, Jawa Barat pada bulan Maret 2022 yang lalu. Proses perekrutan MSM dilakukan dengan cepat. Oleh pihak PT ia diterbangkan dari bandara Palu ke Bandara Soekarno Hatta. Dari Bandara Soekarno Hatta ia langsung dibawa ke penampungan PT di Bekasi. MSM bekerja tanpa dibekali kontrak kerja, tanpa visa, tanpa diasuransikan dan tanpa pelatihan. Proses hanya berlangsung 3 hari langsung diberangkatkan ke Brunei, dengan paspor yang dikeluarkan oleh kantor imigrasi Depok, Jawa Barat. Tanpa diberikan pengetahuan akan hak-haknya dan informasi memadai mengenai situasi calon majikan dan bekerja nantinya.  Selama 4 bulan MSM bekerja sebagai Pekerja Rumah Tangga di rumah majikannya di Bandar Sri Begawan, Brunei Darussalam. GAji sebenarnya yang seharusnya ia terima  adalah sebesar 400 ringgit, namun dipotong oleh PT sebesar 200 ringgit. Jadi yang ia terima selama 4 bulan hanya sebesar 200 ringgit, hingga 4 bulan kemudian, ia jatuh sakit. Kondisi fisiknya makin memburuk, mulai dari kaki, perut dan payudaranya mengalami pembengkakan. Ironisnya oleh agensi  di Brunei, MSM tetap dibiarkan bekerja. Kondisi saktinya makin gawat, sehingga agensi memutuskan mengirim MMS ke Rumah Sakit dengan menggunakan mobil ambulans. Selama lima hari di Rumah Sakit kondisinya tidak mengalami perubahan. Penanganan terhambat karena belum ada yang bertanggung jawab atas pembiayaan. Baru setelah kerabat MSM menghubungi Ketua Umum Serikat Buruh Migran dan Informal KSBSI. Setelah menghubungi atase di Brunei, MSM akhirnya  mendapatkan pengobatan dan pulang ke Indonesia. Sesampai di Bandara Soekarno Hatta, SEBUMI dibawa ke Lounge kantor BP2MI di lantai tiga Bandara.  SEBUMI meminta BP2MI untuk membawanya ke shelter BP2MI dan mengurus kepulangannya ke Palu. SEBUMI juga berpesan berulang-ulang kali dan bersikap hati-hati dan menolak apabila pihak PT menawarkan untuk membawanya pulang, karena dikhawatirkan terjadi pemerasan seperti  sebelumnya.

Dari sini terkuat bahwa ternyata PT Bumi Mas Mandiri tidak memiliki surat iin penempatan. MSM berasal dari Palu dengan tahun kelahiran 1985. Keterangan KTP MSM berasal dari Balikpapan, agensinya di Bekasi, membuatkan paspornya di Depok.  MSM, seorang perempuan PMI, bekerja sebagai PRT di Brunei. Ia telah berpisah dengan suaminya yang berasal dari Indramayu, dan memiliki satu anak.

Sementara MSM menunggu di Lounge BP2MI bandara untuk mendapatkan reintegrasi. Pada keesokan harinya, staf PT Bumi Mas dan menginformasikan akan ada penjemputan. MSM menolak. Namun staf tersebut terus membujuk bahkan mengancam yang membuat MSM ketakutan. MSM terus diintimidasi agar bersedia keluar dari Lounge dan MSM diminta untuk berbohong bahwa akan ada keluarga yang menjemputnya untuk berobat.  Sangat disayangkan  Pihak BP2MI tidak menaruh curiga dan sepenuhnya percaya saat seorang staf PT yang memakai kaos BRIMOB mengaku sebagai adik iparnya MSM, dan MSM pun diserahkan kepada staf PT yang menjemputnya itu.

Akhir nya SEBUMI dan bekerja sama dengan satgas kemnaker berhasil menemukan MSM dan membawanya kembali ke Lounge BP2MI dan keesokan harinya ia diterbangkan pulang ke rumahnya di Palu.”

Dari kesaksian MSM, seorang perempuan PMI, yang bekerja sebagai PRT di Brunei, dan banyak MSM-MSM lainnya demi memenuhi kebutuhan keluarga, banyak warga negara Indonesia yang memilih untuk bekerja di luar negeri. Impian untuk mendapat gaji tinggi dan hidup di negeri asing menjadi tawaran yang menggiurkan. Sayangnya impian tidak selalu seindah kenyataannya. Berita mengenai penipuan dan kekerasan yang menimpa PMI yang bekerja di luar negeri terus bergulir. Bukan gaji tinggi yang didapatkan melainkan penipuan, pemerasan, bahkan kekerasan yang didapat, baik itu kekerasan structural, interpersonal, dan simbolik.

Dalam rangka memperingati hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, ayo kita semua bersama-sama melindungi semua perempuan pekerja migran dari segala bentuk kekerasan. Dan kita kampanyekan migrasi yang aman dan adil (Safe and Fair Migration)

Yatini Sulistyowati

Ketua Umun Serikat Buruh Migran dan Informal KSBSI
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!