Dear Pekerja, Ini Yang Harus Kamu Waspadai Dari Perppu Cipta Kerja

Akhir tahun kemarin presiden mengeluarkan Perppu Cipta Kerja meski sebelumnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan agar pemerintah memperbaiki aturan tersebut. Apa saja hal penting yang perlu dicermati para pekerja atas terbitnya perppu?

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik baru ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang setiap Kamis secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Kalyanamitra. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan.

Tanya: Halo Klinik Hukum Perempuan. Saya A, seorang pekerja dari Jakarta. Seperti yang kita tahu beberapa waktu lalu presiden mengeluarkan Perppu Cipta Kerja. Nah yang ingin saya tanyakan dengan terbitnya Perppu ini apa saja poin-poin penting yang berubah terkait isu ketenagakerjaan? Mohon jawabannya kak, terima kasih.

Jawab: Halo, perkenalkan Saya Mona Ervita dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender. Terima kasih atas pertanyaannya. Sebelum saya menjawab pertanyaan yang diajukan terkait perubahan di klaster ketenagakerjaan, saya akan jelaskan dulu apa itu Perppu dan alasan kemunculannya. Di akhir saya paparkan catatan terhadap aturan tersebut khususnya dalam isu ketenagakerjaan.

Akhir tahun, tepatnya di tanggal 30 Desember 2022, (tiba-tiba) Pemerintah mengesahkan Peraturan Pengganti Undang-Undang (selanjutnya disebut dengan Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Landasan konstitusional pembentukan Perppu terdapat dalam Pasal 22 ayat (1) UUD NRI 1945, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang”. Perppu merupakan kewenangan Presiden dalam mengeluarkan suatu produk hukum apabila ada kegentingan memaksa. Sayangnya kegentingan sebagaimana dimaksud tidak dijelaskan secara rinci sebagaimana dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Perppu ini hadir setelah terbitnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/VIII/2020. Putusan tersebut menyatakan pembentukan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6573) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “tidak dilakukan perbaikan dalam waktu 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu 2 tahun tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja dinyatakan inskonstusional secara permanen.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi memerintahkan kepada pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Terbitnya Perppu ini menyatakan bahwa UU Nomor 11 Tahun 2020 dicabut dan tidak berlaku. Terkait peraturan turunan di UU Cipta Kerja yang diatur dalam Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana, masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Perppu ini. 

Adapun alasan Pemerintah menerbitkan Perppu ini selain karena adanya putusan Mahkamah Konstitusi dan sifatnya dianggap ‘genting’, adalah pertama untuk mewujudkan tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945. Kedua diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia yang seluas-luasnya di tengah persaingan usaha dan ekonomi global.

Ketiga perlu penyesuaian berbagai aspek pengaturan yang berkaitan dengan UMKM, investasi, proyek strategis nasional, temasuk pelindungan dan kesejahteraan pekerja. Keempat, pengaturan yang berkaitan dengan kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah, peningkatan ekosistem investasi, dan percepatan proyek strategis nasional, termasuk peningkatan pelindungan dan kesejahteraan pekerja. Kelima diperlukan terobosan dan kepastian hukum untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam beberapa undang-undang ke dalam satu undang-undang secara komprehensif dengan menggunakan metode omnibus.

Keenam adanya dinamika global yang disebabkan terjadinya kenaikan harga energi dan harga pangan, perubahan iklim (climate change dan terganggunya rantai pasokan supply chain) telah menyebabkan terjadinya penurunan pertumbuhan ekonomi dunia dan terjadinya kenaikan inflasi yang berdampak secara signifikan kepada perekonomian nasional yang bertujuan untuk menarik investasi melalui transfomasi ekonomi yang dimuat dalam Cipta Kerja.

Pada klaster ketenagakerjaan, mengubah, menghapus, atau menerapkan pengaturan baru beberapa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran.

Adapun hal yang diubah dalam Perppu pada klaster ketenagakerjaan, pertama ketentuan alih daya (outsourching). Sebelumnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tidak membatasi jenis pekerjaan yang dapat menggunakan mekanisme alih daya atau outsourcing. Sementara Perppu mengatur pembatasan jenis pekerjaan untuk outsourching. Kedua penyempurnaan dan penyesuaian penghitungan upah minimum. Gubernur wajib menetapkan Upah Minimum Provinsi (UMP) dan menetapkan Upah Minimum Kabupaten/ Kota (UMK).

Ketiga penegasan kewajiban menerapkan struktur dan skala upah oleh pengusaha untuk pekerja/buruh yang memiliki masa kerja 1 tahun atau lebih. Keempat, penggunaan terminologi disabilitas yang disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Kelima perbaikan rujukan dalam pasal yang mengatur penggunaan hak waktu dan istirahat atau cuti yang upahnya tetap dibayar penuh dan terkait manfaat program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).  

Adapun beberapa catatan dalam penerbitan Perppu Cipta Kerja terkait dengan isu ketenagakerjaan yaitu sebagai berikut :

  1. Mengenai upah minimum, Gubernur juga dapat menetapkan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) apabila hasil perhitungan UMK lebih tinggi daripada UMP. Menjadi kekhawatiran, pemerintah diberikan kewenangan untuk menetapkan formulasi penghitungan upah minimum yang berbeda jika terjadi suatu hal tertentu.
  2. Tidak dihapusnya sistem outsourcing, yang tidak menjelaskan secara rinci mengenai pengaturan dan batasan-batasan pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya. Kekhawatiran ini muncul, akan terjadi pemerataan semua jenis pekerjaan dan hal ini tentu menguntungkan bagi pengusaha. Bahkan sistem outsurcing ini bertolak belakang dengan UU Ketenagakerjaan yang mengatur bahwa pekerjaan alih daya dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi.
  3. Pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), telah diubah dan tertuang dalam Pasal 59 ayat (1) yang menyebutkan bahwa Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu. Pekerjaan yang sebagaimana dimaksud yaitu: (a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya; (b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama; (c) Pekerjaan yang bersifat musiman; (d) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; (e) Pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
    • Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
    • Pekerjaan yang diperkirakan selesai atau yang sementara sifatnya;
    • Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
    • Pekerjaan yang bersifat musiman;
    • Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan;
    • Pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
  4. Waktu Kerja dalam Pasal 79 ayat (1) menyebutkan, pengusaha wajib memberi waktu istirahat dan cuti bagi pekerja. Waktu istirahat paling sedikit setengah jam setelah bekerja selama 4 jam terus-menerus, dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja. Sedangkan istirahat mingguan untuk 1 hari untuk 6 hari kerja dalam 1 minggu.
  5. Cuti yang diberikan kepada pekerja/buruh yaitu cuti tahunan, paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus. Selanjutnya di ayat (4), pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Selanjutnya di ayat (5) disebutkan, bahwa selain waktu istirahat dan cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang sama diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  6. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dalam Pasal 151 Perppu memberikan cara melakukan pemutusan hubungan kerja yaitu :
    • Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah harus mengupayakan agar tidak terjadi PHK
    • Disebutkan bahwa dalam hal PHK tidak dapat dihindari, maksud dan alasan PHK diberitahukan oleh pengusaha kepada pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh.
    • Dalam hal pekerja/buruh telah diberitahu dan menolak PHK, penyelesaiannya wajib dilakukan melalui perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh.
    • Apabila perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan, PHK dilakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian hubungan industrial.
  7. Uang Pesangon, yang memberikan dampak bagi pekerja yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Perppu ini memberikan kewajiban pengusaha untuk membayar uang pesangon atau uang penghargaan masa kerja jika melakukan PHK dengan beberapa ketentuan yang diatur dalam Perppu.
  8. Tenaga kerja asing yang diatur dalam Perppu ini pada Pasal 42 ayat (1) yang disebutkan setiap pemberi kerja yang mempekerjakan Tenaga Kerja Asing wajib memiliki rencana penggunaan Tenaga Kerja Asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.

Mona Ervita

Advokat dari Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!