Balada si Roy: Filmnya ‘Kering’, Namun Ada Simbol Maskulinisme Yang Bisa Kamu Pelajari

Film “Balada si Roy” bercerita tentang anak muda yang bergejolak jiwanya ketika melihat pelecehan dan diskriminasi di lingkungannya. Namun sayang, film ini dibuat tidak mendalam dan kering, jauh dari novelnya. Walau dari film ini, kamu bisa belajar tentang maskulinisme yang terjadi di tahun 90 an.

Roy, adalah anak muda 90-an yang hati dan kepalanya selalu bergejolak setiap melihat diskriminasi dan kekerasan.

Film “Balada si Roy” berdasar dari cerita bersambung karya Gol A Gong yang dulu diterbitkan di Majalah HAI di tahun 90 an setiap minggunya. 

Roy, adalah anak SMA yang selalu ingin mencari jawaban dalam hidupnya: kenapa semua ini terjadi?. Apalagi ketika ia melihat banyak diskriminasi dan pelecehan yang terjadi di lingkungannya. 

Di tahun 80 dan 90-an, novel Balada si Roy karya Gol A Gong ini mampu menyihir para pembacanya. Pembacanya adalah anak muda yang butuh “idola baru” yang kala itu butuh sosok tak sekedar anak muda ngepop yang suka hura-hura, tapi butuh sosok Roy yang mau memperjuangkan diskriminasi dan pelecehan yang banyak terjadi di lingkungannya. Apalagi di tahun-tahun 80 dan 90 an, dimana terjadi pergolakan para aktivis yang sedang melawan otoritarianisme Orde Baru, dan juga menguatnya budaya pop yang kala itu diyakini bisa meninabobokan anak muda pada sesuatu yang serba instan.

Novel Balada si Roy lalu berhasil jadi jembatan antara perjuangan dan perlawanan anak muda aktivis, dan budaya pop yang menjamur, sangat cepat bisa masuk ke anak-anak muda umumnya saat itu. Jadilah Roy adalah “ikon perlawanan” yang bisa diterima banyak anak muda di zaman itu

Cantika Nova di website remajaasik.com menulis, novel Balada si Roy benar-benar membuat kita berada di tahun 1980-an dan seperti berada di antara kebanyakan remaja saat itu. 

Seperti judulnya, buku ini menceritakan tentang petualangan (balada) si Roy anak SMA selengean yang berhasil menjelajahi hampir seluruh Indonesia dengan modal pas-pasan dan ditemani ransel biru kesayangannya beserta celana jeans yang udah belel. Remaja bandel kita ini akan membawa kita ke dalam kehidupan remajanya yang penuh masalah. Traveling atau backpacking yang dipenuhi dengan cerita pengalaman yang seru menjadi gaya hidup Roy yang kental.

Namun sayangnya, Film “Balada si Roy” dalam film tak seapik novelnya. Film Balada si Roy digarap dengan sinematografi yang tak rapi dan akting para pemain yang pas-pasan. Jadi perasaan yang mengharu-biru yang terjadi dengan Roy dalam novel, tak akan bisa kamu rasakan. Gegap-gempita perjuangan Roy, pikirannya yang dalam, seperti lewat begitu saja. Rasanya seperti hambar dan tanpa mengaduk emosi. Padahal dalam novelnya, Balada si Roy selalu hadir mengaduk perasaan, mampu membangkitkan kekaguman banyak orang sebagai anak muda bandel, kritis dan bisa melawan.

Film Balada si Roy dibuka dengan Roy (Abidzar Al Ghifari), anak baru yang sekolah di SMA 1 Serang, Banten dengan setting film tahun 1987.  

Sebagai anak baru, Roy datang sambil membawa anjing herdernya. Tanpa basa-basi, Roy seperti sudah akrab dengan semua siswa disana dan langsung memasang blok perlawanan dengan ketua geng di SMA tersebut, Bio One (Dullah). Ini yang membuat film ini terasa kering, karena mestinya konflik batin yang dialami Roy dibahas secara rinci dan tidak tiba-tiba begitu masuk sekolah, langsung terjadi konflik.

Roy kemudian kenal dengan Ani, salah satu siswa SMA di Serang. Kisah berebut Ani (Fabby Rastanti) antara gank lama disana, dengan Roy ini menjadi satu cerita di film. Bio one adalah anak penguasa Serang yang membunuh anjing herder Roy. Disini menjadi titik awal Roy dalam mempertahankan sesuatu dan harus kehilangan sesuatu.

Roy kemudian juga harus mengalami masa adaptasi yang sulit karena ia yang sebelumnya tinggal di Bandung, harus tinggal di Serang. Ayahnya meninggal karena melawan mafia. Roy harus buru-buru pindah ke Serang bersama ibunya (Lulu Tobing) yang seorang penjahit. 

Penerimaan lingkungan baru, konflik antara ayahnya dengan mafia di Serang yang tidak lain merupakan ayah Dullah (Dede Yusuf) dan ayahnya Ani (Kiki Fernanda), membuat hidup Roy jadi terombang-ambing. Konflik juga makin memanas ketika salah satu ayah sahabat Roy, Andi (Jourdy Prananta) ditembak oleh penembak misterius (Petrus), kejadian yang banyak terjadi di masa Orde Baru.

Namun setting tempat dan kejadian, kisah-kisah dramatis ini ditampilkan secara datar, bukan sebagai sebuah konflik batin yang dalam, seperti ciri khas novel Balada si Roy. Ini yang menyebabkan kelincahan dan kebandelan Roy seperti terlewat begitu saja. 

Film ini diproduksi IDN Pictures dan disutradarai oleh Fajar Nugros. Walau begitu, tapi film ini juga menampilkan tentang hal penting, seperti simbol maskulinisme yang banyak terjadi dan menjadikan perempuan sebagai korban. 

Dari cerita Roy inilah kita bisa melihat 3 narasi maskulinisme dalam film sebagaimana kisah yang sama banyak dijumpai di tahun 80an:

1. Dominasi Keluarga dan Ibu yang single mother

Ayah Roy diceritakan sebagai pejuang rakyat kecil yang tanahnya dirampas oleh pejabat negara serakah atas nama perusahaan asing yang akan masuk ke Indonesia. Ayahnya meninggal dan jadi korban, dan ibunya Roy dengan susah payah harus menjadi single mother. Mereka harus pindah dari bandung karena kehadiran mereka tidak disukai keluarga ayah Roy. Perjuangan ibunya menjadi single mother, bekerja sebagai penjahit ini merupakan salah satu hal penting yang harus dicatat dalam film ini.

2. Ani, perempuan yang diperebutkan seperti barang

Ani diperebutkan lewat papan catur dan balapan motor antara Roy dan Bio One, juga antara Roy dan ayahnya Ani. Ini menandakan bahwa di tahun-tahun tersebut, banyak perempuan diperebutkan seperti barang. 

Perebutan di papan catur terjadi ketika ayah Roy menantang siapapun yang bisa mengalahkannya, akan diizinkan untuk mendekati Ani. Ini juga memperlihatkan bagaimana dominasi laki-laki yang paling berkuasa di rumah terhadap anak perempuan yang tak berdaya. 

Demikian juga ketika Roy balapan dengan Bio One untuk memperebutkan Ani. Balapan ini kemudian malah jadi tontonan. Hal ini semakin memperlihatkan bagaimana perempuan menjadi barang yang bisa ditukar dan diperebutkan.

3. Keputusan Selalu di Tangan Laki-laki

Maskulisme laki-laki ditunjukkan oleh Bio One, ayahnya dan juga ayah Ani. Ini menunjukkan bahwa keputusan apapun di tangan laki-laki dan dilakukan dengan cara-cara keji seperti membunuh, menguasai dan menutup mulut siapapun yang berani melawan.

(Sumber Gambar: IDN Pictures)

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!