‘Cyber Hell: Exposing an Internet Horror’ Pentingnya Ruang Siber Aman Perempuan

Melalui Film “Cyber Hell: Exposing an Internet Horror”, kita bisa mengetahui kengerian para perempuan yang menjadi korban Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik/ KSBE. Jika kamu menelusuri di mesin pencarian kasus, bisa dipastikan kamu akan temukan lusinan kasus baik di luar negeri ataupun di Indonesia.

Film “Cyber Hell: Exposing an Internet Horror”, adalah salah satu film yang ramai diperbincangkan sejak ditayangkan 18 Mei 2022. Film yang diputar di Netflix ini mengisahkan kisah kejahatan seksual berbasis elektronik

Lihat saja, sampai ada seorang perempuan yang masih di bawah umur menyatakan tak mau membiarkan siapapun mengenalinya lagi. Sejak kejadian itu, ia lalu memutuskan untuk berpakaian menutupi tubuh hingga wajahnya, bahkan di musim panas sekalipun. 

Ia menderita bipolar dan depresi setelah dipaksa diambil gambarnya oleh lebih dari 40 video bermuatan seksual, saat ia masih duduk di bangku SMP pada 2018 silam. Korban lain bahkan dipaksa menuliskan kata ‘budak’ pada tubuhnya dan berpose dengan gaya tertentu. Banyak diantara mereka direndahkan, diperlakukan seperti anjing: dipaksa telanjang, menggonggong dan menjilati lantai.

Kejadian itu dikenal dengan ‘Nth Room Case’, sebuah kasus kriminal penyebaran video eksploitasi seksual, perdagangan cybersex, dan pemerasan melalui Telegram antara tahun 2018 sampai 2020 di Korea Selatan. Nth Room menjadi kejahatan seksual yang terjadi di dunia maya terburuk di Korea Selatan dan memberikan trauma yang mendalam bagi perempuan Korea Selatan.

Melalui film dokumenter besutan sutradara Jin-seong Choi, kamu dapat melihat dan merasakannya, hari, minggu, dan bulan-bulan menakutkan itu. Hari-hari ketika perempuan Korea Selatan dihantui dengan teror, jika suatu saat terbangun dari tidur dan mendapati video dan foto pribadinya tersebar di media sosial.

Cyber Hell: Exposing an Internet Horror (2022) adalah film dokumenter Netflix yang bercerita tentang perjuangan dibalik diringkusnya pelaku kunci Nth Room, Baksa (Cho Ju Bin) dan Godgod (Moon Hyung Wook). Melalui grup Telegram dengan 260 ribu anggota, pelaku menjual dan membagikan video-video pelecehan serta kekerasan seksual yang dialami 74 perempuan, dan 16 diantaranya anak di bawah umur. 

Melalui Cyber Hell, kita diajak lebih jauh untuk tahu lebih banyak kasus Nth Room dan belajar banyak tentang bahaya, dampak, penanganan, dan pencegahan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Belajar Dari Berbagai Negara Membangun Ruang Siber Aman

Perkembangan pesat internet inilah yang melatarbelakangi Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menulis buku bertemakan pencegahan dan penanganan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik (KBSE). Sebab, seperti yang kita tahu dalam setiap perubahan zaman, dari zaman batu hingga zaman kecanggihan internet, perempuan selalu terpinggirkan dan cenderung menjadi korban. 

Melalui Cyber Hell: Exposing an Internet Horror, kita bisa mengetahui kengerian itu. Jika kamu menelusuri di mesin pencarian untuk kasus yang sama, bisa dipastikan kamu akan menemukan lusinan kasus KBSE, baik di luar negeri ataupun di Indonesia.

Melalui studi kasus dari beberapa negara Eropa dan Asia seperti, Jerman, Inggris, Korea Selatan, Australia, Filipina, India dan Pakistan, Komnas Perempuan mencoba mengadaptasi sistem terbaik untuk menangani KBSE di Indonesia.

Buku Bergerak Bersama Membangun Ruang Siber Aman: Belajar dari Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Siber di Mancanegara (2022), bisa menjadi rujukan untuk memahami dan mendalami KBSE. Sebab melalui buku itu, Komnas Perempuan banyak memaparkan contoh-contoh kasus. Misalnya, di Jerman dan Inggris, meski belum mempunyai payung hukum secara spesifik tentang KBSE, kedua negara itu mampu menjerat pelaku KBSE menggunakan hukum pidana dan peraturan lainnya. 

Jerman memiliki Undang-Undang Penegakan Jaringan Jerman (‘NetzDG’), yang mengharuskan perusahaan media menghapus konten yang dianggap melanggar hukum. Sementara di Inggris dengan Serious Crime Act 2015, Protection Harassment Act 1997, Communication Act 2003 dan Justice and Courts Act 2015 bisa menjerat pelaku tindak intimidasi, pelecehan, revenge porn dan penguntitan daring.

Di Korea Selatan melalui Sex Crimes Act 2010 pengambilan konten asusila, mendistribusikan, menjual, mengintimidasi dan pelanggaran kesusilaan dengan alat komunikasi dapat dipenjarakan. Jika kita melihat payung hukum KBSE di Korea Selatan, dan kasus Nth Room, kita akan tahu KBSE tak cukup hanya dengan payung hukum, melainkan perlu peran dari banyak pihak. Seperti di Australia, memiliki perangkat hukum yang berfokus pada pemulihan korban berupa penghapusan konten kekerasan seksual tanpa izin di media sosial.

Pada tahun 2018 Filipina mengesahkan Republic Act 11313: Safe Spaces Act, dengan payung hukum itu pemerintah Filipina dapat menyediakan perlindungan dan penegakan sanksi bagi para pelaku. Hukumannya beragam, tergantung tingkat kejahatan cyber yang diperbuat. Pola yang sama juga dilakukan India, melalui Information Technology Act 2000, pemerintah India lebih banyak menindak KSBE seperti Voyeurism, trolling, penyebaran foto dan video, penguntitan, serta harassment. Sayangnya, peraturan itu belum sepenuhnya dalam kerangka perlindungan korban atau hak atas integritas tubuh korban, melainkan hanya menekankan pada ketelanjangan dan alat kelamin atas kepentingan kesusilaan.

Dan negara terakhir yang menjadi objek kajian adalah Pakistan, melalui Prevention of Electronic Crime 2016 (PECA) Pakistan menjadi salah satu negara yang cukup komprehensif dalam memberikan perlindungan bagi korban KBSE. PECA mengatur mekanisme penyelidikan penuntutan dan hukuman, misalnya bagi yang merusak reputasi atau melanggar privasi di ranah daring akan dijatuhi hukuman hingga 7 tahun dan atau denda 5 juta rupee. Pun demikian dengan pelaku yang melakukan cyberstalking, memproduksi, mendistribusikan tanpa izin, terutama korban di bawah umur.

Namun secara umum dapat dikatakan, hukum yang mewajibkan perusahaan media sosial menghapus konten KBSE dalam pelaksanaanya seringkali malah membatasi freedom of speech. Tak sedikit kasus, aturan tersebut dijadikan ‘sensor’ atas isu sosial, politik, dan pendapat-pendapat yang berseberangan dengan pemegang otoritas. Singkatnya, tidak berdasarkan kepentingan publik.

Berdasarkan studi kasus penanganan KSBE di beberapa negara, Komnas Perempuan mencatat bahwa payung hukum saja tidak cukup untuk mengatasi KSBE, ia harus diikuti setidaknya tiga hal. Pertama, sistem pelaporan, penanganan, dan penjatuhan vonis yang efektif. 

Kedua, edukasi serta pemahaman para aparat hukum mengenai kekerasan seksual. Dana ketiga, pelibatan pihak lain selain pemerintah untuk mencegah dan menangani kasus KSBE seperti jurnalis, LSM, dan lembaga lainnya. (hlm. 52)

Sekali lagi, dalam kasus kekerasan seksual maupun KSBE perlu adanya penanganan khusus. Karena kedua kasus tersebut menyangkut trauma psikologi berkepanjangan bagi korban. Sutradara kondang asal Iran Asghar Farhadi, melalui film The Salesman 2016, dengan sangat apik menggambarkan trauma bagi korban kekerasan seksual. Ceritanya begini.

Dalam satu adegan pilu di The Salesman 2016 yang penuh emosi. Rana (Taraneh Alidoosti) tak mau lagi sendirian lagi di rumahnya, bagi Rana rumahnya adalah tempat yang paling menakutkan. Tanpa ia sadari, ia punya trauma dengan rumahnya sendiri, dan setiap kali suaminya, Emad (Shahab Hosseini) pergi untuk bekerja, ia terus berada di luar rumahnya, bahkan musim dingin sekalipun. Rana tak pernah bisa tidur lagi, karena setiap matanya terpejam, ingatan tentang setiap adegan penyerangan itu kembali berputar di kelopak matanya. 

Ingatan tentang bagaimana tiba-tiba seorang pria masuk ke kamar mandinya, dalam keadaan Rana yang telanjang lalu meraih rambutnya dan mencoba memperkosanya dari belakang. Bagaimana dengan sepenuh kekuatannya ia mencoba melawan dan justru berujung dibenturkannya kepala Rana di tembok. Sungguh sebuah ingatan yang sangat menyeramkan bagi wanita manapun, apalagi hal itu terjadi di rumahnya sendiri. Karena itu, Rana tak pernah lagi mandi, sebab ia takut dengan segala hal yang ada di kamar mandi.

Melalui adegan itu Asghar Farhadi menggaris bawahi dan menebalkan kata trauma bagi korban-korban kekerasan seksual. Memang semengerikan itu dampaknya. Dan dalam beberapa kasus KSBE, bisa dikatakan korban merasakan kekerasan ganda, pertama trauma dengan kejadiannya, dan kedua karena ancaman gambar, vidio dan lainnya dan lainnya tersebar di dunia maya.  

Maka, yang perlu diperhatikan dalam kasus kekerasan seksual maupun KSBE adalah membantu pemulihan korban dan mendapatkan hak-haknya. Salah satu upaya cukup banyak diterapkan di berbagai negara adalah helpline, melalui itu korban mendapatkan konseling hingga bantuan hukum. Lebih jauh, Revenge Porn Helpline di Inggris juga membantu korban KSBE dengan menghapus video dan gambar-gambar korban yang beredar di internet.

Sementara untuk pencegahan kasus KSBE, berbagai negara melakukannya dalam bentuk literasi digital, undang-undang pencegahan KSBE, menyediakan situs-situs untuk edukasi dan kampanye KSBE, sampai inovasi keamanan dalam platform online dan sebagainya dan sebagainya.

Melihat Lebih Dekat Kasus KSBE di Indonesia

Berdasarkan data pengaduan kasus KSBE yang dihimpun Komnas Perempuan sejak tahun 2017 hingga 2022 terdapat lonjakan baik jumlah maupun bentuknya. Di tahun 2017 terdapat 6 kasus pengaduan, pada tahun 2018 naik menjadi 97 kasus, 281 kasus di tahun 2019. 

Lonjakan pesat terjadi pada tahun 2020, dengan naiknya penggunaan internet saat Covid-19 lonjakan kasus KSBE naik menjadi 940 kasus, pun demikian di tahun 2021, melonjak menjadi 1721 kasus. Sementara tahun 2022, sampai bulan Juni, terdapat 773 kasus, dengan rincian jenis kasus, Kekerasan oleh Mantan Pacar (KMP) sebanyak 255 kasus, Kekerasan dalam Pacaran (KDP) sebanyak 114 kasus, dan Kekerasan terhadap Istri (KTI) sebanyak 5 kasus.

Melihat semakin meningkatnya KSBE di Indonesia, Komnas Perempuan dalam buku tersebut memberikan lima rekomendasi penanganan KSBE. Pertama, ha katas penghapusan konten dalam ranah pidana atau perdata. 

Kedua, hak atas pengaduan. Ketiga, hak atas pemulihan (konseling dan akses serta informasi terkait penghapusan konten ). Keempat, ha ke atas penghapusan konten KSBE yang tersebar di dalam maupun di luar negeri. Dan yang terakhir, ha katas pencegahan keberulangan penyebaran konten KSBE. (hlm. 75)

Melalui buku itu, sebenarnya Komnas Perempuan mengajak masyarakat secara luas untuk bersama-sama membangun ruang siber aman dan berperan dalam mengakhiri KSBE. Dan memang hal sangatlah penting dilakukan.

Untuk itu, buku ini sangat penting dibaca oleh siapapun. Menurut saya, terlepas dari pengemasan buku dan bahasa yang digunakan sangat kaku, konten buku ini wajib diedarkan dan menjadi buku wajib bagi sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan lainnya. Sebab, pengguna sosial media terbanyak adalah mereka.

Dan terakhir, sekali lagi, KSBE bisa terjadi padaku, begitu juga padamu, atau pada siapapun. Kita perlu bekerjasama, supaya kasus seperti Nth Room tak terulang kembali.      

Ajid Fuad Muzaki

Penulis, sastrawan, mantan Ketua Lembaga Pers Mahasiswa Arena UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!