Dipanggil ‘Kak’ atau ‘Mbak’? Bagaimana Sebaiknya Kita Memanggil Transpuan

Bagaimana memanggil Transgender? Dipanggil ‘mbak’ atau ‘kak’? Agar kita bisa memanggil sesuai keinginan mereka tanpa stigma, stereotipe, bias dan diskriminasi

Kalau kamu ketemu dengan seorang transpuan, apakah kamu merasa bingung harus memanggil dengan sebutan apa? Harus memanggil dengan sebutan Mbak, Kak, ataukah Mas, Bang

Jessica Ayudya Lesmana seorang transpuan menjelaskan: baginya, kata panggilan Mbak dan Kak itu punya perbedaan yang signifikan. 

Panggilan ‘Kakak’ di Indonesia itu terasa lebih netral. Sedangkan ‘Mbak’ menurutnya terasa lebih halus, lebih njawani, dan adalah perempuan. Ia kadang merasa bingung ketika teman-teman transpuan kerap dipanggil Kak, namun teman-teman yang perempuan dibedakan dengan dipanggil Mbak. Padahal seharusnya transpuan dan perempuan tidak dianggap berbeda. 

Bagi transpuan yang lain, memang tidak masalah dipanggil apa saja, apakah itu Kak, Mbak, Mace, Ibu, Tante, dan lain-lain asal jangan dipanggil Mas atau Pak. Tapi jika kamu masih merasa tidak yakin harus memanggil dengan sebutan apa. Kisah para transgender ini berlangsung dalam Talkshow yang diadakan LETSS Talk dengan tema “Memahami Transgender (di) Indonesia: Identitas, Kompleksitas dan Resistensi,” secara online pada Minggu, 4 Desember 2022.

Fikri Abdillah seorang trans laki-laki memberi solusi yaitu, “Yang perlu digaris bawahi bukan memanggilnya dengan sebutan apa, tapi bila kita bertemu dengan seseorang alangkah lebih elok jika kita bertanya inginnya ia dipanggil seperti apa,” ujar Fikri.

Jadi intinya, kita bisa menanyakan terlebih dahulu kepada mereka: bagaimana sebaiknya saya bisa memanggilmu? Kamu lebih nyaman dipanggil bagaimana? Dan sejenisnya. 

Istilah waria disebutkan dalam aturan Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial di Peraturan Menteri Sosial No. 8 Tahun 2012. Secara nasional di banyak lembaga organisasi transgender menggunakan kata waria, jadi waria sudah melekat di masyarakat menjadi identitas nasional. 

Shinta Ratri Pengasuh Pesantren Waria Al-Fatah Yogyakarta menyebutkan bahwa dirinya lebih nyaman disebut waria, karena menurutnya orang lebih mengerti waria daripada transpuan yang dianggap masih asing. 

“Mungkin sekarang di kalangan kawan-kawan muda ada yang lebih suka disebut transpuan, tidak apa karena munculnya istilah transpuan itu mewarnai. Tapi kami yang sudah berumur ini terbiasa dengan sebutan waria.”

Bissu Eka dari Sulawesi Selatan, menjelaskan laki-laki yang berperan sebagai perempuan disebut Calabai di tanah Bugis. 

“Jika Calabai biasa, hanya dipandang sebelah mata di sini karena masyarakat tetap menganggap gender ada dua yaitu laki-laki dan perempuan, hanya di kerajaan saja dikenal dan diakui 5 gender. Sebutan Calabai di sana merupakan kata panggilan yang kasar, yang halus adalah Saladewi. Tapi berkat adanya Bissu, posisi di Sulawesi Selatan menjadi aman karena perannya yang dianggap besar di masyarakat.”

Bissu adalah perpaduan dua gender yaitu perempuan dan laki-laki dalam satu tubuh dan kedudukannya merupakan yang tertinggi di istana. Jika di istana Bissu bertugas melindungi Permaisuri, dan di luar istana berekspresi maskulin untuk melindungi Raja. 

Bissu ditempatkan di suatu istana atau Rumah Pusaka. Bissu di Sulawesi Selatan merupakan motor dari jalannya upacara ritual, penjaga pusaka kerajaan, penyambung lidah raja, dan penentu hari.

“Namun untuk mencapai semua itu tidak mudah. Seorang waria belajar untuk menjadi Bissu butuh proses yang panjang, bahkan taruhannya adalah nyawa. Begitulah upaya untuk bagaimana mengangkat jati diri di tengah masyarakat.” 

Kompleksitas Pengalaman Hidup Transgender 

“Seorang waria ketika terlahir, tangis bayinya adalah tangis seorang perempuan. Walaupun terlahir berjenis kelamin laki-laki namun isinya perempuan,” kata Shinta Ratri. 

Shinta bercerita, ekspresinya sebagai perempuan sudah Ia jalani sejak kecil. Keluarga sudah pasti tahu dari pilihan Shinta untuk memilih bermain boneka dan rumah-rumahan sesuai minat anak perempuan, dan bukan anak laki-laki. Maka, seharusnya ketika Shinta mulai berdandan dan berpakaian perempuan, keluarga tidak lagi merasa terkejut. Mungkin yang keluarga pikirkan itu apakah sampai tua ia akan berpenampilan sebagai perempuan? Tapi Shinta menjelaskan bahwa inilah jalan hidupnya yang harus dilakoni. 

Beruntung keluarganya mendukung. Ketika transpuan di-support oleh keluarga, maka penerimaan dirinya akan lebih cepat.

Kesadaran merupakan awal dari penerimaan diri. Namun sayangnya di Indonesia penerimaan diri itu tidak bersambut pada pembuatan KTP sebagai identitas. Negara masih mengakomodir untuk dua gender saja, yaitu laki-laki dan perempuan. 

Di KTP, dokumen, ijazah gender saya tetap tertera laki-laki. ” ujar Shinta Ratri.

Menyoal itu, Tariska Indri penggiat transpuan asal Bali sering mendorong teman-temannya untuk mengurus KTP. Sebab banyak teman-teman transpuannya yang lama belum juga memiliki KTP. Ada yang 15 tahun hingga 20 tahun tidak memiliki KTP. 

Lantas, bagaimana bisa bertahan hidup tanpa kartu identitas? Sebab bagaimanapun, KTP tentu sangat penting bagi transpuan seperti untuk akses kesehatan, perekonomian seperti mencari pekerjaan, untuk urusan ke bank. 

“Teman-teman banyak yang malas mengurus karena takut dipersulit dan didiskriminasi. Tapi sekarang sudah berubah, tidak ada diskriminasi seperti dulu. Bahkan sudah bisa mengganti foto dengan keadaan sekarang sebagai transpuan dengan penampilan perempuan, dengan jenis kelamin tetap laki-laki,” kata Tariska. 

Adaptasi dan Upaya Bertahan Hidup Transgender di Masyarakat

Menurut Jessica, adanya istilah Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) dalam Permensos akhirnya menjadi stigma waria adalah penyandang masalah, jadi walaupun ia memiliki pendidikan yang bagus, status sosial yang tinggi, tetap saja selamanya ia dianggap penyandang masalah. Sejalan dengan Jessica, Bunda Mayora juga menyepakati bahwa PMKS sebenarnya label yang diberikan negara kepada waria. Jika hanya berpatokan pada PMKS, lalu bagaimana dengan hak-hak dan akses yang lain?

Tidak mau menunggu pemerintah, Shinta di Pondok Pesantrennya mengusahakan fasilitas tidak hanya mempelajari agama, namun juga memberi pelatihan pekerjaan alternatif untuk teman-teman pengamen dan pekerja seks, diharapkan mereka bisa punya keahlian yang baru untuk dijadikan batu loncatan seperti memasak, membuat lilin aromatik, hingga membatik untuk menambah penghasilan.

Sementara itu, Bissu Eka mengatakan bahwa identitasnya sebagai Bissu memang seringkali dijadikan ikon keberagaman gender di Indonesia. Namun, dulu dan kini nasibnya berbeda. Jika dulu segala keperluan Bissu ditanggung oleh istana, namun nasib Bissu sekarang tidak sama. Sehingga Ia berharap, akan ada campur tangan pemerintah kepada Bissu seperti tunjangan untuk menghargai pengabdian Bissu.

“Di istana tidak sejahtera seperti yang kemarin-kemarin sehingga saya harus keluar mencari nafkah sendiri seperti bekerja di wedding organizer, dekorasi pernikahan.” beber Bissu Eka.

Diah Irawati dari LETSS Talk menyampaikan tujuan LETSS Talk tema kali ini adalah untuk lebih memahami identitas, identifikasi, label, penamaan yang dikonstruksi, diproduksi dan direproduksi oleh masyarakat di Indonesia. 

“Agar kita bisa memanggil sesuai keinginan mereka tanpa stigma, stereotype, bias dan diskriminasi,” kata Diah. 

Di sisi lain, pihaknya juga ingin lebih memahami kompleksitas pengalaman hidup trans dengan perbedaan profesi, latar belakang, status sosial.

“Cara masing-masing untuk memahami adaptasi, negosiasi, resiliensi, dan resistensi di masyarakat,” pungkasnya.

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!