Edisi Khusus Ulama Perempuan: KUPI Jadi Milestone Gerakan Perempuan Islam di Dunia

Gerakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) dinilai para aktivis perempuan di banyak negara di dunia sebagai gerakan genius, dan menjadi milestone penting dalam melahirkan tafsir teks Islam yang lebih ramah dan berkeadilan.

Konde.co menyajikan edisi khusus ulama perempuan pada 27-28 Februari 2023. Edisi ini menampilkan kiprah para ulama-ulama perempuan yang tersebar di Indonesia dan tak banyak ditulis.

Kongres Ulama Perempuan Indonesia atau KUPI awalnya berupa gerakan yang kemudian termanifestasi dalam Kongres pada 2017. Di kongres, mereka  mencoba membongkar cara pikir lama yang telah bertahan selama berabad-abad. Metodologi yang dikembangkan para ulama KUPI menjadi panutan gerakan perempuan Islam di banyak negara di dunia. 

Anggota Majelis Musyawarah KUPI, Faqihuddin Abdul Qodir dalam bukunya “Metodologi Fatwa KUPI” menulis bahwa salah satu tanggung jawab jaringan KUPI adalah menafsirkan teks-teks Islam dalam narasi-narasi yang selaras dan relevan dengan misi untuk mewujudkan misi Islam yang rahmatan lil alamin atau rahmat bagi semesta.

Ini artinya, KUPI coba membongkar cara berpikir lama yang hanya didasarkan pada pengalaman dan pemikiran laki-laki, dan KUPI kemudian mengubahnya dengan memasukkan pengalaman –baik pengalaman biologis maupun pengalaman sosial perempuan—menjadi salah satu rujukan dalam merumuskan sikap keagamaan.

Pemaknaan ulama juga coba dibongkar, tak lagi hanya mengacu pada mereka yang menguasai ilmu agama tetapi kepada mereka yang menguasai ilmu pengetahuan yang bermanfaat untuk kemanusiaan, baik ilmu eksakta maupun ilmu sosial.

Lantas metodologi yang seperti apa yang dikembangkan oleh KUPI? Nur Rofiah, salah seorang anggota Majelis Musyawarah KUPI mengatakan, dalam memutuskan persoalan keagamaan kontemporer, jaringan KUPI tidak menggunakan metode baru.

“Kami hanya mengintegrasikan perspektif perempuan pada metode studi Islam yang telah ada, baik yang dikemukakan ulama klasik maupun yang dikembangkan sarjana Muslim modern,” ujar Rofiah dalam pengantar buku Metodologi Fatwa KUPI.

Sikap ini diambil dengan pertimbangan, sebagus apapun metodenya jika digunakan dengan perspektif yang tidak adil pada perempuan, maka ia akan gagal menghasilkan tafsir keagamaan yang adil. Pengabaian pengalaman perempuan –baik pengalaman biologis maupun sosiologis- sering menghasilkan pengetahuan yang berdampak buruk atau bahkan membahayakan keselamatan perempuan.

Untuk itu dalam metodologi tafsirnya, KUPI tidak menempatkan kelompok yang dominan (laki-laki, non disabilitas, mayoritas) sebagai standar tunggal untuk kemaslahatan pihak lain. Pengalaman pihak lain harus juga menjadi pertimbangan dalam memutuskan masalah keagamaan.

Dalam kehidupan bernegara, maka pengalaman khas umat Muslim juga harus menjadi pertimbangan. Sebaliknya warga muslim juga terikat pada konstitusi atau UUD, sehingga dalam merumuskan kemaslahatan Islam maka Konstitusi harus juga menjadi pertimbangan. Dengan pemahaman seperti ini membuat KUPI melahirkan tafsir agama yang adil sekaligus ramah bagi perempuan dan kelompok bukan dominan lainnya.

Metodologi KUPI di mata dunia

Metodologi perumusan fatwa KUPI yang khas telah menginspirasi banyak negara Islam di dunia, terutama negara-negara yang kaum perempuannya mengalami represi akibat penafsiran ajaran Islam yang sama sekali tidak melibatkan perempuan.

Gerakan KUPI yang dirintis oleh sejumlah ulama yang ‘gelisah’ dengan ruang tafsir yang sangat patriarkis mampu menginspirasi ulama dari berbagai negara untuk bersama-sama berjuang merebut ruang tafsir yang selama ini didominasi laki-laki dan perspektif laki-laki.

Di banyak negara yang penduduknya mayoritas Islam, sulit untuk mewujudkan kesetaraan gender.  Hal ini karena perjuangan untuk itu dinilai bertentangan dengan tafsir agama yang sangat konservatif yang telah diyakini selama berabad-abad.

Fateema Sedat, aktivis perempuan dari Afrika Selatan menyebut KUPI sebagai gerakan yang sangat genius. Ia menyebut selama ini ada gap yang sangat lebar dengan harapan orang tentang keadilan dengan kenyataan tidak adil yang di lapangan, yang terutama dirasakan oleh perempuan.

“KUPI adalah milestone penting dalam gerakan perempuan dunia,” ujarnya ketika Konde.co jumpai dalam acara konferensi pers yang digelar di sela Konferensi Internasional pada Rabu (23/11/2022) di Kampus UIN Walisongo, Semarang Jawa tengah.

Fateema yang sehari-hari adalah Kepala Departemen Studi Feminis Afrika di Universitas Afrika Selatan ini menegaskan, kelahiran KUPI sangat strategis, karena mampu merebut otoritas keagamaan yang selama ini didominasi laki-laki.

Fateema yang mengikuti rangkaian Kongres KUPI II secara penuh di Semarang dan Jepara ini, lantas memaparkan, beratnya perjuangan perempuan khususnya perempuan muslim di seluruh dunia dalam mendapatkan hak-haknya. Perempuan di negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam masih kesulitan mengakses hak dasar mereka di sektor kesehatan dan reproduksi karena otoritas keagamaan dimonopoli laki-laki dan perspektif laki-laki.

Perempuan menginginkan kesetaraan dalam perkawinan, perceraian, hukum waris, perencanaan kehamilan, akses ke peradilan dan pemerintahan, perempuan berharap keadilan dalam etika dan hukum Islam. Tapi, yang sering mereka temui adalah ketidakadilan.

Masih sedikit sekali warga dunia yang mengakui perempuan sebagai ulama, dan semakin sedikit yang menjadikan pengalaman perempuan dalam keulamaan mereka.  

“Untuk mengklaim gelar ulama bagi perempuan, ketika arus utama masyarakat menolak memberikan gelar tersebut, menurut saya itu adalah sebuah prestasi. Sebuah keberanian,” ujarnya.

Pengakuan tidak jauh berbeda diungkapkan Rozana Isa, dari Sisters in Islam Malaysia. Dalam perbincangannya dengan Konde.co di sela penyelenggaraan Konferensi Internasional KUPI II, Rozana mengatakan menjadi perempuan aktivis muslim di Malaysia tidaklah mudah.

“Hambatan kita adalah apabila kita berhadapan dengan isu agama dan interpretasi ajaran agama yang tidak disesuaikan dengan perkembangan reality kehidupan yang dihadapi perempuan,” katanya.

Apa yang dibahas di Kongres KUPI I juga didiskusikan di banyak negara lain, tetapi tidak bisa ditegakkan di negara mereka karena berbagai alasan. Karena bagaimanapun masalah yang dihadapi perempuan tidak bisa dipisahkan dengan kondisi local di mana dia berada.  

“Dalam kondisi seperti ini KUPI menawarkan tafsir agama yang lebih humanis, yang mampu memberikan keadilan kepada semua,” ujar Direktur Asian Muslim Action Network (AMAN) Indonesia, Ruby Kholifah.

Sisters in Islam didirikan karena kegelisahan Rozana melihat intepretasi ajaran Islam yang dinilainya kurang tepat, tidak berkorelasi dengan kenyataan sehari-hari yang dihadapi perempuan saat ini. Terlalu kaku dan cenderung tekstual sehingga memunculkan ketidak-adilan. Ia ingin mengubah ini, namun karena itu dia sering mengalami serangan.

Tak sekali dua, Sister in Islam sebagia sebuah gerakan dicap sesat oleh otoritas agama yang sudah terlebih dahulu ada karena menyebarkan liberalisme dan beragama yang menghargai pluralisme, sehingga setelah puluhan tahun organisasinya tidak terlalu berkembang.  Ia hadir kedua kalinya dalam Kongres KUPI bersama sekitar 1500 peserta KUPI II, karena menganggap gerakan ini penting untuk mendukung perjuangannya di Malaysia.

“Berada di sini, kami merasa tidak sendirian. Bertemu dan melihat ada teman-teman lain yang bisa bertukar pikiran, bertukar cerita dan pengalaman dan saling memberikan sokongan. KUPI memberikan saya keyakinan bahwa ada banyak rekan perjuangan sesama ulama perempuan di luar Malaysia,” tambahnya.

Rozana mengatakan, pasca KUPI I digelar, Sister in Islam beberapa kali mengundang Kyai Husein, Nyai Badriyah Fayumi Nyai Nur Rofiah dan Kyai Faqihuddin abdul Qodir untuk memaparkan metodologi khas KUPI. Metodologi KUPI dinilainya mampu membongkar metodologi lama dan memberikan interpretasi teks agama yang lebih humanis.

Dengan metodologi yang dikembangkan para ulama KUPI inilah yang digunakan Sisters in Islam dalam menjawab pertanyaan sekaligus cibiran yang mereka terima.

Qutub Jahan Kidwai, pimpinan NEEDA (Network for Education, Empowerment, Development and Awareness) India mengatakan perjuangan perempuan muslim di Asia Selatan khususnya India untuk mendapatkan kesetaraan, selama bertahun-tahun mengalami stagnasi. Di India, pembatasan peran perempuan di luar ruamh masih sangat ketat, apalagi untuk mampu merebut ruang tafsir. Dalam kondisi seperti ini, gerakan KUPI seolah memberikan suntikan semangat baginya untuk terus bergerak.

Menurutnya, perempuan Muslim di banyak negara menghadapi banyak masalah yang muncul dari penafsiran teks agama yang patriarkis, seperti perkawinan anak, perceraian, praktik adat yang menempatkan perempuan dalam subordinasi, hingga mutilasi genitalia perempuan.

“Narasi KUPI akan memperkuat hak-hak perempuan muslim dan memunculkan kebenaran hakiki dari literatur Islam yang selama berabad-abad tersembunyi atau disembunyikan,” ujar Qutub saat ditemui di lokasi KUPI II Ponpes Hasyim Asy’ari Bangsri, Jepara Jawa Tengah.

Qutub mengatakan, apa yang dibahas dan didiskusikan di KUPI II akan memberikan perspektif baru dan sumbangan besar dalam pemikiran Islam di seluruh dunia. Bahasan KUPI juga akan memberikan dampak bagi perempuan muslim di berbagai belahan dunia.

Berbagai persoalan seperti perkawinan anak, mutilasi genitalia, domestifikasi perempuan dengan alasan ajaran agama harus diselesaikan dalam perspektif Islam yang lebih mendengarkan pengalaman perempuan sebagai pelaku dan korban. KUPI berkontribusi untuk mencari jalan keluar bagi berbagai masalah tersebut.

Metode perjuangan

Ketua Majelis Musyawarah KUPI Badriyah Fayumi yang ditemui Konde.co mengaku, pihaknya sudah membayangkan apa yang dikembangkan KUPI ini akan menjadi kiblat atau panutan dalam penafsiran agama di berbagai negara. Pasalnya, metodologi yang dikembangkan KUPI sangat universal. Apa yang menjadi cita-cita besar KUPI adalah peradaban yang berkeadilan akan terwujud.

“Fatwa KUPI adalah untuk merespon kedzaliman dengan mengintegrasikan pengalaman perempuan dalam perumusannya, sehingga dihasilkan fatwa yang adil seperti yang menjaid keinginan semua orang,” terangnya.

Namun ia mengaku tak menyangka bahwa perubahan itu akan secepat seperti yang terjadi saat ini. Seperti diketahui, kehadiran wakil dari luar dalam Kongres KUPI II meningkat hampir tiga kali lipat dibanding KUPI I. Pada KUPI I tercatat hanya ada wakil dari 12 negara, sementara pada KUPI II hadir tidak kurang dari 31 negara. Mereka datang sebagai peserta dan bukan lagi sebagai peninjau.

Disadari ada kelompok di kalangan Islam sendiri yang tidak setuju dengan gerakan KUPI, karena KUPI akan membawa gerakan perubahan pada sistem yang sudah dipercayai benar selama berabad-abad. KUPI menyadari penolakan ini sebagai dinamika perjuangan.

Dan strategi kami, ujar Badriyah,  tidak akan melawan secara konfrontatif, tidak. Kalau KUPI melawan arus maka gerakan yang baru termanifestasi lima tahun ini akan terlibas karena arusnya memang sangat besar. Sebaliknya, kalau KUPI ikut arus, maka tidak bisa melakukan perubahan.

“Karena itu strategi KUPI adalah membawa atau membuat arus sendiri. Membawa arus baru, yang arus baru tersebut kita yakini akan eksis dan akan terus membesar karena nawaitunya Islam rahmatan lil alamin,” tegas Badriyah.

Dia yakin perjuangan ini meski butuh proses akan berhasil karena dilakukan cara-cara makruf dan nilai yang diperjuangkan bersifat universal. 

Cara yang digunakan KUPI juga tidak tunggal, sehingga terus didiskusikan dan disesuaikan dengan perkembangan zaman. Setiap saat, lanjut Badriyah, akan melihat cara apa yang paling tepat, metode apa yang paling tepat agar transformasi atau perubahan bisa dilakukan tanpa harus membuat kehebohan dan kegaduhan yang justru akan kontraproduktif terhadap tujuan yang akan dicapai.

“Kami tidak akan terpancing untuk terlibat dalam perdebatan, karena dalam beberapa hal apa yang kita persepsikan berbeda itu, ternyata dalam titik tertentu juga memiliki persamaan,” pungkasnya. 

Esti Utami

Selama 20 tahun bekerja sebagai jurnalis di sejumlah media nasional di Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!