Femisida di Sorong: Hoaks dan Ketidakpercayaan Proses Hukum Bahayakan Perempuan

Seorang perempuan yang dituduh sebagai penculik anak, dianiaya dan dibakar di Sorong, Papua. Meskipun polisi melihat kasus ini sebagai pembunuhan, Komnas Perempuan menyebutnya sebagai kasus femisida atau pembunuhan perempuan karena dorongan rasa kebencian dan penaklukan.

Polisi tidak pernah menyangka jika Wa Gesuti, perempuan asal Desa Suandala, Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara, yang sudah diamankan polisi pada 22 Januari karena akan dikeroyok massa, kembali ke lokasi yang sama di Sorong Manoi, Kota Sorong, dua hari kemudian.

Polisi baru menyadari bahwa massa memburu perempuan yang sama setelah korban babak belur, dan saat akan diamankan untuk kedua kalinya, ada yang menyiram bensin dan membakarnya hidup-hidup. Kabidhumas Polda Papua Barat, Kombes Pol. Adam Erwindi menjelaskan hal ini saat dihubungi VOA. 

“Polisi sebenarnya sudah datang untuk mengamankan korban, dia dipakaikan baju lagi dan akan dibawa ke posko, tetapi masa merangsek menyerang dan ada yang menyiram bensin dari belakang. Korban dibakar. Polisi mencoba memadamkan api, tapi luka bakarnya sangat parah. Korban dilarikan ke rumah sakit tetapi tidak tertolong lagi,” paparnya.

Penyelidikan awal menunjukkan Wa Gesuti, usia 49 tahun, yang dituduh sebagai penculik anak dan dibakar itu ternyata menderita gangguan mental, atau dikenal dengan istilah “orang dengan gangguan jiwa” (ODGJ). 

Komnas Perempuan Soroti Kasus di Sorong sebagai Femisida 

Komnas Perempuan, yang senantiasa mengadvokasi upaya untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan, mengkategorikan insiden di Sorong ini sebagai femisida, bukan sekadar tindakan main hakim sendiri. Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan kasus di Sorong ini merupakan puncak dari beredarnya berita bohong dan ketidakpercayaan pada proses hukum yang ditimpakan pada perempuan.

“Masyarakat yang literasinya rendah, tidak berupaya mencari tahu lebih lanjut dari berita yang beredar, dan terkombinasi dengan ketidakyakinan pada proses hukum sehingga mengambil tindakan sendiri. Masyarakat melakukan penganiyaan, penyiksaan seksual dengan menelanjangi dan membakarnya hidup-hidup,” katanya.

“Femisida dalam kasus yang terakhir ini merupakan puncak akumulasi kekerasan terhadap perempuan di tengah kondisi sosial kemasyarakatan yang memiliki kepercayaan hukum yang sangat rendah pada aparat dan upaya penegakan hukum, dan puncak fatalnya literasi digital yang rendah,” lanjut Andy.

Namun demikian polisi membantah jika kasus di Sorong ini terjadi karena rendahnya kepercayaan pada aparat. 

“Kalau dibilang ada ketidakpercayaan pada polisi, sampai saat ini tidak lah Mbak. Karena kami mengejar dan menangkap pelaku juga karena bantuan dan informasi dari masyarakat. Mereka yang menunjukkan pada kami siapa pelakunya. Ini juga terjadi dalam beberapa kasus lain,” kata Kombes Pol. Adam Erwindi.

Femisida, Bukan Pembunuhan Biasa 

Komnas Perempuan, yang mulai memantau, mencari fakta dan mendokumentasikan kasus femisida sejak tahun 2017, mengkategorikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penakhlukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hati. 

Pengkategorian ini merujuk pada definisi femisida yang ditetapkan Dewan HAM PBB dalam sidang tahun 2015. Femisida memiliki muatan yang berbeda dengan pembunuhan biasa karena ada aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi.

Komnas Perempuan menilai femisida merupakan produk budaya patriarkis dan misoginis yang terjadi baik di ranah privat, komunitas maupun negara, yang ironisnya belum mendapat perhatian serius dan masih dipandang sebagai tindakan kriminal biasa. Khusus di ranah privat, saat ini kembali marak upaya “restorative justice” atau upaya menyelesaikan kasus kekerasan, terutama di ranah privat, dengan mendorong “perdamaian.” 

“Ini diibaratkan sebagai proses penyelesaiaan di luar peradilan, yang secara praktik lebih sering menempatkan korban untuk menerima jalan “perdamaian” dengan pelaku. Ini yang kami khawatirkan menjadi ruang, bukan saja impunitas bagi pelaku, tetapi memungkinkan terjadinya eskalasi kekerasan karena pengalaman korban seolah-olah dikurangi prioritasnya dengan mengandaikan berdamai dengan pelaku maka kondisi akan baik-baik saja,” kata Andy.

“Kita perlu mendorong penegak hukum untuk membuat pedoman yang lebih tegas mengenai kasus mana saja dan apa syarat di mana kasus itu dapat diselesaikan di luar mekanisme peradilan yang ada,” lanjutnya.

Andy menegaskan tidak semua kasus dapat diselesaikan lewat “restorative justice,” terutama jika fokus penyelesaian bukan pada korban, tetapi pada pelaku agar pelaku dapat mengidentifikasi perubahan yang perlu dilakukan guna mencegah terjadinya siklus kekerasan berikutnya. Fokus penyelesaian kekerasan terhadap perempuan harus pada korban, tegasnya. 

Insiden pembunuhan dengan membakar dan menganiaya korban secara seksual di Sorong mulai menemui titik terang. Sembilan tersangka pelaku telah ditangkap, termasuk tiga anak di bawah umur yang berusia antara 13-16 tahun.

Semua tersangka dewasa telah ditahan di Polresta Sorong Kota, sementara tersangka anak-anak tidak ditahan, tetapi dikenai wajib lapor. Semuanya dijerat dengan Pasal 187 Ayat 3, dan/atau Pasal 338 jo Pasal 55 dan 56 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal seumur hidup.

Eva Mazrieva

Jurnalis Voice of America/ VOA
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!