I Hate Monday: 5 Hal Yang Ancam Perempuan Dalam Perppu Cipta Kerja 

Konde.co mencatat 5 hal penting dari Perppu Cipta Kerja yang mengancam perempuan. Bukannya memperbaiki UU Cipta Kerja, pemerintah justru merilis aturan pelaksana melalui Perppu Ciptaker dengan berdalih bahwa Perppu ini bisa memberikan jaminan hukum bagi investor Indonesia. Perppu ditolak para aktivis.

Akhir tahun 2022 ini, pemerintah secara kilat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (Perppu Ciptaker). Padahal, dua tahun sebelumnya, putusan MK menyatakan bahwa UU Cipta Kerja itu sebagai inkonstitusional bersyarat. 

Konde.co merangkum pokok-pokok hal yang penting menjadi perhatian utamanya terkait potensi ancaman bagi perempuan atas berlakunya Perppu Ciptaker ini, apa saja? 

1.Perampasan Wilayah adat dan Perusakan Lingkungan 

Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) mencatat penetapan Perppu Ciptaker yang sama bermasalahnya dengan UU Ciptaker ini, bisa berpotensi melanggengkan ketidakberpihakan terhadap masyarakat wilayah adat termasuk perempuan. 

Pada sektor lingkungan terdapat perubahan ketentuan mengenai AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup) dan kemudahan izin bagi usaha yang mengancam lingkungan hidup. 

Baik UU Cipta Kerja maupun Perppu Cipta Kerja sama-sama memodifikasi beberapa ketentuan di dalam UU 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sebanyak 27 pasal diubah, 4 ditambahkan, dan 10 pasal dihapus. Ada tujuh pasal yang memberikan ketentuan lebih lanjut dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan menteri.

“Fungsi AMDAL tidak lagi sebagai upaya preventif sehingga dapat menurunkan kualitas lingkungan. Serta terdapat penghilangan partisipasi masyarakat dalam proses pembuatan dan pelaksanaan dari AMDAL,” tulis GEBRAK dalam pernyataan resmi yang diterima Konde.co pada Rabu (11/1). 

Lebih lanjut, berdasar Pasal 36 angka 3 Perppu Cipta Kerja juga mengubah Pasal 19 UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang mengatur alih fungsi kawasan hutan. Substansi dari Perppu Cipta Kerja yang memperluas dan memperkuat ancaman perampasan wilayah diantaranya adalah soal kawasan hutan. 

“Perppu Cipta Kerja mengadopsi UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 18 UU Kehutanan. Aturan itu menghapus ketentuan batas minimal luas kawasan hutan yang harus dipertahankan semula 30% dari DAS dan atau pulau untuk mengoptimalkan manfaat lingkungan, sosial, dan ekonomi masyarakat setempat,” terangnya. 

Adanya pasal “pemutihan” seperti Pasal 110A baik dalam UU Cipta Kerja maupun Perppu Cipta Kerja juga menjadi ancaman. Sebab, pasal itu tidak mengakomodir pemberian sanksi pidana bagi pelaku usaha di kawasan hutan yang tidak memiliki perizinan.  

Kemudian, masih adanya potensi kriminalisasi masyarakat adat & pembela lingkungan hidup dalam Pasal 162 Perppu Cipta Kerja bagi yang menolak kegiatan pertambangan.

2.Perluasan Sistem Outsourcing 

Pada UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa pekerjaan alih daya (outsource) dibatasi hanya untuk pekerjaan di luar kegiatan utama atau yang tidak berhubungan dengan proses produksi. 

Dalam Perppu Ciptaker tidak ada lagi penjelasan ketentuan yang mengatur batasan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang dapat dialih daya. Sehingga, Perppu Ciptaker dapat memberi peluang bagi perusahaan alih daya untuk dapat memberikan pekerjaan kepada pekerja berbagai tugas hingga tugas yang ranahnya bersifat bukan penunjang. 

Sistem ini justru dapat membuat membuat sistem alih daya menjadi tidak terkontrol, apalagi Pasal 64 Perppu Cipta Kerja yang semula dihapus dalam UU Cipta Kerja. 

Pasal ini, tentu saja bisa  berdampak sangat merugikan utamanya bagi buruh perempuan di perkebunan sawit yang berstatus lepas. Praktik eksploitasi terhadap buruh perempuan akan semakin meluas dalam bentuk hubungan kerja prekariat (tidak menentu). 

“Sekarang diatur bahwa perusahaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian alih daya yang dibuat secara tertulis dan ketentuan lebih lanjut akan dituangkan dalam sebuah Peraturan Pemerintah,” katanya. 

3.Politik Upah Murah

GEBRAK menyebut, Pasal 88C ayat (3) UU/Perppu Cipta Kerja dan Pasal 25 ayat (2) PP No. 36 Tahun 2021 skema kebijakan pengupahan yang dirumuskan merujuk pada kepentingan pelaku usaha, khususnya kondisi bisnis perusahaan dan juga pertumbuhan ekonomi di suatu daerah. 

Padahal, jika berbicara mengenai kebijakan pengupahan, mestinya merujuk pada kondisi objektif dan riil pekerja, di mana upah pekerja diproyeksikan agar pekerja dan keluarganya mendapatkan upah yang layak untuk penghidupannya, sehingga kehidupan lebih sejahtera.

Kondisi tersebut, menunjukkan UU/Perppu Cipta Kerja meletakkan kebijakan pengupahan sebagai sebuah ongkos produksi yang menjadi beban bagi perusahaan. Jika selama ini, kesenjangan upah buruh perempuan masih terjadi, maka dengan adanya Perppu ini kondisi buruh akan semakin buruk sistem pengupahannya. 

“Dengan dalih dan tuduhan tanpa dasar yang menyebutkan bahwa ongkos upah di Indonesia cenderung mahal dan membuat investor enggan berbisnis di Indonesia, sehingga dengan adanya Perppu Cipta Kerja sama saja legitimasi kebijakan politik upah murah di Indonesia,” terangnya. 

4.Ketidakpastian Kerja

Pada penjelasan Perppu Cipta Kerja bagian Umum disebutkan, alasan dibutuhkannya penciptaan kerja salah satunya karena Penduduk yang bekerja sebanyak 135,61 juta orang, di mana sebanyak 81,33 juta orang (59,97%) bekerja pada kegiatan informal.  

GEBRAK menilai, hal tersebut hanyalah pembenaran atas adanya praktik-praktik hubungan kerja non-standar (informalisasi) yang sekarang menjadi tren seiring dengan adanya disrupsi teknologi. 

“Kondisi tersebut perlu diatasi dengan membuat kedudukan yang setara antara Pekerja/Buruh dengan pemberi kerja, serta pemenuhan hak-hak tanpa dikesampingkan karena sifat hubungan kerja tersebut,” ujarnya.  

Dalam Pasal 6 PP No. 35 Tahun 2021 diatur PKWT dilaksanakan paling lama 5 (lima) tahun, sehingga membuat kepastian Hak atas Pekerjaan semakin dijauhkan bagi para Pekerja/Buruh. Tak terkecuali, buruh perempuan. 

5.Ancaman Kebebasan Berekspresi

GEBRAK menekankan bahwa Perppu Cipta Kerja yang memberlakukan kembali muatan yang sama dari UU Cipta Kerja yang inkonstitusional terhadap Konstitusi, merupakan tindakan yang menunjukkan adanya praktik legalisme otokratik, sebagaimana yang dikemukakan Corrales telah terpenuhi dan merupakan bentuk pembangkangan terhadap amanat Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945.

Beberapa pasal yang bertentangan dengan Konstitusi ke dalam produk legislasi terbaru itu seperti pasal penghinaan Presiden dalam KUHP 2022. 

Hal ini, diperparah dengan adanya kondisi koalisi gendut (oversize coalition) pendukung Pemerintah di DPR, menyebabkan tidak adanya dialog dan perimbangan kekuasaan (check and balances) yang berkualitas akibat terkooptasinya parlemen. Terlebih saat kondisi parlemen yang minim partisipasi perempuan, bisa saja berpotensi hak perempuan semakin sulit tersuarakan. 

“Hal tersebut berdampak pada banyaknya produk legislasi yang dibuat secara ugal-ugalan dapat lolos dengan mudah dan cepat,” pungkasnya.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular