‘Kamu Pindah Agama, Gak Takut Masuk Neraka?’ Cerita Pemaksaan Agama di Sekolah

Cerita tentang pemaksaan agama terjadi di sejumlah sekolah di Indonesia, terutama sekolah negeri. Ada seorang murid yang ditanya gurunya, "Beneran kamu pindah agama? Memangnya gak takut masuk neraka?”

Sebut saja namanya Abi. Murid kelas 3 di salah satu SMK Negeri favorit di Kota Jakarta. Sebelumnya Ia adalah murid dari SMK swasta. Ia pindah ke sekolah negeri karena kondisi ekonomi keluarganya menurun saat Pandemi Covid-19. 

Saat ini, dia adalah penganut agama Kristen Protestan. Ia pindah menjadi Kristen sejak 2019, dan kemudian baru dibaptis pada Oktober 2021. Keunikan ini kemudian menjadi suatu pengalaman tak mengenakkan bagi Abi dan mungkin bagi banyak minoritas agama di sekolah-sekolah negeri.

Sudah menjadi rahasia umum bagi kebanyakan minoritas, bahwa identitas mereka memang biasa diolok-olok di sini. Indonesia. Olok-olok ini terjadi dalam banyak bentuk, mulai dari pembatasan, diskriminasi, hingga kekerasan berbentuk fisik. Pengalaman-pengalaman yang dialami minoritas agama juga seperti fenomena gunung es. Sedikit yang kita tahu, tetapi nyatanya ada banyak sekali diskriminasi yang terjadi pada mereka. Kadang kita tahu, tapi kita diam.

Kejadian-kejadian tadi mirip dengan apa yang diceritakan Abi via telepon, November 2022 lalu, tentang pengalamannya. 

Pagi hari, ketika murid beragama Kristen berkumpul untuk ibadah, mereka diusir. Padahal, ibadah itu tidak sampai satu jam lamanya. Bahkan ruangan itu tidak sedang dipakai untuk keperluan sekolah. Cerita ini ia dapatkan dari temannya. Hal ini terjadi sebelum ia pindah ke SMK ini.

Bentuk diskriminasi verbal ternyata sangat sering Abi alami di sana. Saat pertama ia mengkonfirmasi statusnya telah pindah agama dengan menyertakan surat baptis, ia dicemooh. “Beneran kamu pindah (ke) Kristen? Memangnya gak takut masuk neraka, ya?” sebut gurunya. 

“Kamu yakin?” tanya gurunya lagi, seakan-akan keputusan Abi untuk pindah agama adalah candaan. Pertanyaan-pertanyaan seperti ini sangat sering diterima Abi. Khususnya dari guru di SMK-nya. Bahkan sekali pernah muncul pertanyaan, “Kamu yakin ini bukan karena pergaulan?”.

Bukan hal yang mudah bagi Abi sebagai murid pindahan di SMK saat itu. Ia harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Belum lagi ditambah ia harus menghadapi diskriminasi verbal dari lingkungan yang belum sepenuhnya familiar. Pada akhirnya, permohonan mengubah status agama tetap tidak diterima. Ia terpaksa menerima bahwa statusnya masih beragama Islam, mengikuti Pelajaran Agama Islam (PAI), dan mengikuti kegiatan keagamaan agama Islam. Abi sudah ikhlas dan menjadikan ini sekadar formalitas. Mengingat sekolah ini cukup favorit dan akan menunjang karir pekerjaannya di dunia perhotelan, tempat ia ingin bekerja nantinya.

Abi sakit hati ketika pilihannya menjadi Kristen dianggap remeh dan rendah. Katanya, ini adalah bagian dari perjalanan keyakinannya di dunia. Meski kesal, Abi juga tidak punya pilihan. Selain karena durasi waktu sekolah yang tanggung, ia juga punya banyak kecakapan untuk berkembang di bidang perhotelan di sekolahnya ini. Ia sempat mempertanyakan ini ke pendeta di gerejanya, “Kenapa, ya, kita diginiin?”

Dari beberapa cerita yang didapat, kebanyakan dari mereka mengatakan, selama di sekolah, diskriminasi verbal dan sindiran implisit lah yang paling banyak. Abi tidak bisa melawan. Posisinya sebagai murid tidak punya kuasa apa-apa. Sekolah yang seharusnya menjadi ruang aman, malah menjadi tempat yang menakutkan. 

“Sekolah kayak bukan sekolah, malah jadi kayak penjara, diintai, seakan-akan aku jahat,” kata Abi dengan nada pasrah.

Pengalaman berulang ini membuat Abi trauma. Setiap ia sedang PKL di dapur untuk mengerjakan sesuatu bersama teman-temannya, ia selalu merasa was-was. Ia selalu merasa takut jika setiap saat ada guru lain memasuki dapur. Karena ia tahu, ia akan mendapat kata-kata itu lagi. Ya, pertanyaan seputar mengapa ia pindah agama, apakah itu keputusan yang benar, apakah kamu tidak takut masuk neraka, hingga ajakan untuk ‘kembali’. Setiap saat itu juga Abi selalu merasa cemas, was-was, merasa diintai, dipojokkan, dan dibuat tidak nyaman. “Tolong jangan ngomongin itu lagi,” itu yang diharapkan Abi.

Kejadian ini berdampak cukup besar bagi kesehatan mental Abi. Hal-hal itu membuat Abi kadang ketiduran di busway, hingga ada di tahap ia memimpikan kejadian saat dimaki oleh gurunya. Ia takut merepotkan jika harus bercerita tentang ini ke ayahnya. Perasaan tidak nyaman ini selalu menghantui Abi. Sampai di tahap Abi harus menemui psikolog, melakukan konsultasi, dan mengkonsumsi obat. 

Keadaannya hari ini mulai membaik. “Udah gak konsumsi (obat), tinggal konsultasi,” kata Abi. Ia juga merasa lebih kuat karena mempunyai teman-teman yang sangat baik. Ditambah ia juga memiliki teman sesama Kristen. Pertemanan ini menjadi tempatnya untuk saling berbagi cerita, saling menguatkan.

“Kalau lu bukan Islam, lu gak akan di-treat baik di sekolah ini,” cetus Abi kesal. Bahkan teman dekatnya, sebut saja M, dituduh mempengaruhi Abi untuk pindah agama. Padahal, ia sudah menganut agama Kristen bahkan sebelum pindah ke SMK yang sekarang. Ketika Abi menjelaskan ia sudah pindah, ditambah surat baptis yang ia tunjukkan di awal pengurusan administrasi, pilihannya tetap tidak dihargai.

Sekitar November 2022 lalu, sebuah program baru mulai diberlakukan di sekolah ini. Program ini berjalan rutin satu kali dalam seminggu. Programnya berisi mengenai kegiatan-kegiatan seputar agama Islam, seperti sholat dan ceramah-ceramah. Abi mendapat info dari temannya, program ini dibuat dengan alasan banyak ditemukan siswa yang pindah agama. Program ini dilakukan dalam rangka ‘pengetatan’. Yang aneh, program ini mewajibkan semua siswanya untuk ikut. Tanpa terkecuali apa kepercayaannya. Untungnya, Abi selalu disibuki kegiatannya sebagai siswa tingkat akhir, sehingga kebetulan, pada saat itu, ia tidak diharuskan ikut program ini.

Lewat rumitnya sistem administrasi yang Abi lewati, ia terpaksa masih tercatat sebagai penganut agama Islam di data sekolah. Ia terdengar pasrah. Ia juga mengatakan, ini ia lakukan untuk formalitas saja.

Abi kemudian menjelaskan dengan kesal tentang paksaan yang ia terima, seperti paksaan sholat dan paksaan menggunakan kerudung. Kejadian ini terjadi pada saat peraturan pertemuan tatap muka (PTM) kembali diberlakukan, sekitar Juli 2022. Abi dipanggil dan dipaksa untuk mengikuti ajaran di sekolahnya, ikuti peraturan, dan jangan buka kerudung. Sejak itu dan hingga sekarang, Abi terpaksa mengikuti peraturan untuk tetap memakai jilbab. Tetapi anehnya, murid non-muslim lainnya tidak. Ada kebencian tertentu dari guru yang diarahkan kepada Abi. Tetapi lagi-lagi, Abi tidak bisa melawan.

Pertanyaan mengenai adakah niatan melapor kemudian dijawabnya dengan tak ada harapan. Katanya, jika ia melapor ke salah satu guru, bisa jadi informasi itu tersebar. Bukannya malah terselesaikan, bahkan kemungkinan keadaannya memburuk. Abi berada di posisi gantung. Namun, ia tetap bertekad untuk menyelesaikan sekolahnya agar bisa bekerja di tempat yang ia inginkan kelak.

Pemaksaan di Sekolah Lain yang Kerap Terjadi

Cerita lain juga terjadi. Pada Juli 2016, Zulfa Nur Rahman, siswi SMKN 7 Semarang dipaksa harus masuk Islam untuk naik ke kelas 3. Zulfa adalah seorang penghayat aliran kepercayaan. Ia dipaksa oleh kepala sekolah dan Dinas Pendidikan Kota Semarang.

Diskriminasi yang sama dilakukan oleh kepala sekolah pada 2016 kepada murid SMP Negeri 4 Desa Ketipo jaya Kecamatan Peranap Indragiri Hulu. Katanya, siswa beragama Kristen tak pantas menjadi petugas pembaca Pembukaan UUD 1945 pada upacara rutin. Hal ini dikarenakan dalam pembukaan UUD 1945 terdapat kata ‘Allah’, yang merupakan Tuhan umat Islam, sehingga pembaca Pembukaan UUD 1945 harus siswa beragama Islam.

Pemaksaan pemakaian busana muslim (jilbab) dan wajib belajar agama Islam juga terjadi kepada siswi beragama Kristen di SMP Negeri 3 Pandan Wangi Peranap, Kecamatan Peranap, Kabupaten Indragiri Hulu, Riau, pada 2016 lalu. Ini merupakan bagian dari aturan sekolah dan ada teguran jika tidak ditaati oleh siswi yang besangkutan.

Data SETARA Institute tentang kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan tahun 2021 mencatat ada tiga isu pelanggaran yang dilakukan oleh aktor negara. Pelanggarannya berupa diskriminasi (25 kasus), kebijakan diskriminatif (18 kasus), dan pentersangkaan penodaan agama (8 kasus). Ada 6 isu lain yang dilakukan oleh aktor non-negara, diantaranya intoleransi (62 tindakan), ujaran kebencian (27 kasus), penolakan pendirian tempat ibadah, dan lainnya.

Dalam beberapa tahun terakhir, isu mengenai penyeragaman atribut di lingkungan pendidikan juga nampak masif. Salah satunya ialah kasus peraturan wajib jilbab bagi siswi non-muslim di Padang. Peristiwa ini juga sudah terjadi sejak lama di beberapa daerah lain. Hal ini diterapkan dengan dalih ‘tradisi’ atau’ kearifan lokal’.

Terbit keputusan bersama 3 menteri tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut di lingkungan sekolah pada 2021 lalu, sebagai respon atas kasus ini. Intinya, pemerintah daerah dan sekolah diimbau untuk memberikan kebebasan, khususnya kepada murid, dalam hal penggunaan seragam. Tidak boleh ada peraturan yang bersifat mewajibkan atau melarang penggunaan atribut tertentu. Namun, Mahkamah Agung (MA) membatalkan putusan ini dengan pertimbangan nilai-nilai agama dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. SETARA Institute menerangkan, dalam hal ini, MA, secara implisit, memperbolehkan sekolah untuk mewajibkan muridnya dalam menggunakan atribut khas agama tertentu.

SETARA Institute pada laporannya tentang kondisi kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia tahun 2016 menuliskan temuan-temuan pelanggaran khususnya di lingkungan SMP hingga SMA dan sederajat.

Cerita lain juga datang dari Kezya. Mahasiswa tahun pertama di bangku kuliah bercerita tentang pengalamannya dahulu selama bersekolah di SMP dan SMA negeri.

Ia merasa aneh ketika topik agama sering kali dibicarakan di luar konteksnya. Seperti guru Olahraga yang tiba-tiba menjelaskan tentang hal-hal yang berbau agama Islam atau apel pagi yang diisi dengan topik-topik keagamaan ketimbang hal yang lebih general.

Bahkan politik identitas pun terjadi di pengalamannya. Ajakan untuk tidak memilih non-muslim –mereka biasa dipanggil dengan sebutan Kafir– sebagai pemegang jabatan sangat terdengar kencang. Arahan untuk memilih yang beragama Islam pun terlihat dengan jelas. “Gue bingung kenapa harus dibatasin banget. Batasannya tuh terasa banget.”

Sangat sulit di beberapa SMA Negeri untuk menjadi pemegang jabatan penting di OSIS jika latar belakangnya berasal dari agama non-muslim. Tetapi yang lebih mengherankan, ajakan untuk jangan memilih yang berbeda agama (dari Islam) justru datang dari guru mereka sendiri. 

Dalam kisah Kezya, justru teman-temannya tidak bersifat diskriminatif, malahan sangat suportif, terbuka, dan toleran. Baru satu kali dalam sejarahnya ada seorang calon yang beragama Kristen.

Belum lagi soal akses dan fasilitas. Acara natalan yang digelar di luar sekolah pun dipersulit untuk dimintai tanda tangan persetujuan kepala sekolah. Walaupun tidak ada kaitannya, tetap persetujuan diperlukan. Berbeda dengan acara keagamaan agama Islam. Persetujuannya cenderung lebih cepat.

Cerita Turun-Temurun Pengalaman Mendapatkan Diskriminasi

Kisah serupa pernah dialami Grace. Grace berasal dari SMA negeri yang cukup favorit di Kota Jakarta. Dia berasal dari SMP swasta, ini tandanya, memasuki SMA negeri menjadi pengalaman dan lingkungan yang sangat baru untuknya. Hal pertama yang membuat ia gegar adalah soal pakaian. Ketika memakai rok pendek, sangat terasa jika orang sekitar memojokkannya. Contohnya seperti, “Lu ga ada rok yang lebih panjang?”

Mirip dengan kisah Kezya soal permasalahan pemilihan OSIS, Grace pun menemukan hal yang sama. Calon ketua OSIS, sebut saja ia bernama Mawar, pernah dipanggil oleh guru PKN. Yang mengagetkan adalah, guru tersebut mengajak Mawar untuk curang dalam proses pemilihan osis. Hal ini ditujukan agar calon lain yang berasal dari agama Kristen kalah. Meski akhirnya rencana ini ditolak mentah-mentah oleh Mawar.

Budaya diskriminatif ternyata sudah menjadi budaya mengakar di sekolahnya. Ia sendiri adalah angkatan ke-53. Jika mendengar dari angkatan di atasnya, bentuk diskriminasi terhadap minoritas agama itu sangat nyata. “Traumanya (angkatan sebelumnya) lebih konkrit dari apa yang gua rasakan (saat ini),” ujar Grace.

Budaya dan cerita-cerita ini selalu berulang setiap tahunnya. Budayanya sangat lestari. Barulah mulai agak terbuka sejak 2017. Dulu, murid beragama kristen harus beribadah di tangga atau gudang penyimpanan barang olahraga. Walau sebetulnya ada aula, tetapi mereka dilarang memakai itu. Sekarang mereka sudah boleh menggunakannya.

Sudah menjadi rahasia umum juga di SMA tersebut, non-muslim tidak bisa memegang jabatan penting di organisasi maupun ekstrakurikuler. Yang lebih bermasalah, secara tertulis ketua OSIS tidak diperbolehkan perempuan, harus laki-laki. Sistem problematik ini yang kemudian di lawan oleh ketua osis terbaru. Ia merubahnya, meski melalui proses panjang pertengkaran.

Sebagai seorang yang sudah terbiasa mendengar tentang diskriminasi seperti ini, Grace sudah siap mental. Apalagi saat ia memutuskan untuk melanjutkan ke SMA Negeri. “Gue bakal didiskriminasi gak ya?” pikirnya.

Sekolah Seharusnya Menjadi Tempat Aman dan Nyaman

Cerita-cerita seperti kisah Abi, Kezya, atau Grace bukanlah hal baru. Ini sudah terjadi sejak lama. Setiap ada cerita-cerita seperti ini diceritakan, kebanyakan minoritas lain juga rata-rata pernah merasakan hal yang sama saat mereka bersekolah di sekolah negeri. Dari ketiga cerita tadi, pelaku utamanya ialah sekolah, yang terlihat dalam bentuk guru. Ini menandakan buruknya sekolah dalam menciptakan ruang yang aman dan inklusif.

Pengalaman buruk ini terjadi secara struktural. Direpetisi terus menerus. Kebanyakan orang tahu hal ini terjadi, tetapi mereka menutupi. Bahkan korban pun merasakan, mereka mendapatkan perilaku tidak adil, tetapi mereka tidak punya cukup kuasa untuk mengubah. Yang terjadi adalah, pengalaman-pengalaman ini hanya berhenti di percakapan keseharian atau di komunitas. Bahkan harus terpaksa mengalah karena tidak punya cukup suara dan dukungan.

Ada banyak cerita di mana trauma ini –penyerangan terhadap identitas minoritas– membuat beberapa orang enggan untuk pergi melanjutkan kuliah ke PTN (perguruan tinggi negeri). Mereka takut pengalaman yang mereka dengar dari orang tua, atau pengalaman yang mereka alami dulu, atau bagaimana kebencian terhadap agamanya disebarkan di dunia maya, terjadi secara langsung lagi di universitas. Mereka memilih untuk berkuliah di swasta demi menghindari pengalaman tidak mengenakkan itu. 

Aturan-aturan tidak jelas seperti pelarangan perayaan Valentine yang dilakukan oleh pemerintah provinsi, pemaksaan atribut agama bagi murid non-muslim, hingga olokan mengenai kepercayaan tertentu terasa meningkat sejak menguatnya politik identitas. Hal ini sebagai lanjutan dari Pilkada DKI Jakarta (2017), Pilkada Serentak (2018), dan Pemilihan Presiden (2019). Narasi anti-China, PKI, dan sebagainya mendominasi perbincangan di mimbar-mimbar keagamaan di tahun-tahun politik (SETARA Institute, 2018).

Sepanjang tahun 2020, SETARA Institute mencatat sebanyak 180 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan dengan 424 jenis tindakan. Lewat laporannya yang berjudul “Intoleransi Semasa Pandemi: Kondisi Kebebasan Beragama/Berkeyakinan di Indonesia Tahun 2020”, SETARA Institute memaparkan ada 62 pelanggaran utama dari aktor non-negara. Diikuti dengan 32 pelaporan penodaan agama, 17 penolakan mendirikan tempat ibadah, dan 8 pelarangan aktivitas ibadah. Tentu ini hanyalah yang berhasil dilaporkan dan tercatat. Terhitung umat Kristiani adalah korban urutan ketiga teratas dari pelanggaran ini. Posisi pertama korban ialah warga dan dilanjutkan individu. Institusi pendidikan tercatat menyumbang 3 laporan, walaupun faktanya lebih. Laporan tahun 2021 tidak jauh berbeda angkanya, pelarangan kegiatan, gangguan rumah ibadah, dan tuduhan adalah tiga isu dominan.

Kemiripan pengalaman personal Abi, Kezya, dan Grace menandakan persoalan ini perlu diseriusi. Banyak murid harus berjuang sendirian melewati pengalaman buruk ini, tanpa ada dukungan atau perubahan. Tempat seharusnya semua siswa merasa nyaman dan diterima, nyatanya menjadi tembok besar pemisah. Perasaan was-was dan cemas yang dirasakan korban bukanlah hal sepele. Sekolah-sekolah seharusnya bisa berbenah lagi. Jangan sampai narasi memojokkan agama lain terulang terus-menerus. Jangan juga ada larangan untuk melakukan kegiatan ibadah atau paksaan-paksaan lainnya.

Sedikit yang mau melapor, karena mereka tahu, tidak ada yang berubah setelahnya. Kebanyakan memilih diam. Seperti yang dikatakan Abi, “Bukannya mendidik malah menghancurkan.”

Katarina Dian

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!