Mengkaji Ulang Sejarah Gerakan Perempuan Indonesia

Sejarah gerakan perempuan Indonesia sangat kuat dan dikenal di dunia, namun sejumlah pihak masih menganggap ini sebagai sejarah yang tidak penting. Padahal kita punya kebutuhan untuk membangun gerakan perempuan khas Indonesia atau khas Nusantara. Seperti apa?

Gerakan perempuan Indonesia memiliki sejarah panjang dan beragam dalam memperjuangkan hak-hak perempuan dan kemerdekaan. 

Selain itu gerakan perempuan Indonesia telah melalui tahap-tahap yang sulit, salah satunya harus keluar dari masa kolonial. Jadi penting bagi kita untuk tahu sejarah kita sendiri atau teori yang dibangun dari konsep pengalaman sendiri.

Prof. DR. Saskia Wieringa Profesor, seorang profesor Sejarah, Gender Studies dan Some Sex Cross Culturally Universiteit van Amsterdam menyatakan ini dalam kuliah umum tentang mengkaji ulang sejarah perempuan secara kritis di Universitas Gadjah Mada. Kuliah umum pada 25 Januari 2023 ini merupakan acara kolaborasi Departemen Sejarah Universitas Gadjah Mada dengan Ruang Arsip dan Sejarah Perempuan (RUAS).

Perkuliahan umum ini berangkat dari bukunya Saskia yang berjudul Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, yang diterbitkan oleh Kalyanamitra, Garba Budaya, pada tahun 1999. Dalam kuliah umum ini, Prof. Wieringa membahas sejarah gender di Indonesia, terutama pada masa pra-Islam, bagaimana Orde Baru mempolitisasi gender demi kepentingannya, dan beberapa teori yang melandasi bukunya, yakni estetika bergairah, subversi simbolik, dan amnesia pascakolonial.

Konde.co mengikuti kuliah umum tersebut dan menurunkan dalam artikel berikut ini:

Saskia Wieringa menyebut bahwa penting bagi Indonesia untuk menuliskan tentang gerakan perempuan nusantara yang khas Indonesia, karena Saskia melihat gerakan perempuan Indonesia berbeda dengan gerakan perempuan di barat.

“Jika ingin mengetahui kondisi masyarakat Indonesia dan perubahan dalam sejarah, harus juga tanya apa yang terjadi dengan perempuan.” 

Saskia Wieringa kemudian mengkaji gerakan perempuan di Indonesia dari masa kolonial, Orde baru hingga masa sekarang:

Gerakan Perempuan di Masa Orde Baru

Datang ke Indonesia di tahun 1977 di masa Orde Baru, Saskia merasa heran dan sedih karena waktu itu tidak ada satupun organisasi perempuan yang tertarik dengan isu buruh perempuan, sampai ia kemudian membaca ada organisasi Gerwani yang banyak memperjuangkan buruh perempuan. Namun sayangnya, Gerwani kemudian dimatikan oleh Pemerintah Orde Baru. 

Padahal pergerakan perempuan Indonesia sangat terkenal di dunia, muncul di banyak konferensi internasional dan mendapat banyak pujian, bagaimana pergerakan perempuan yang kuat itu bisa menjadi begitu lemah dalam satu-dua tahun?. Pelemahannya ditunjukan oleh pemerintah yang melemahkan Gerwani.

“Walaupun saya telah menulis tentang Gerwani, namun stigma tentang Gerwani tetap ada seolah-olah orang tidak mau mengerti atau terlalu takut. Orang-orang tetap berpikir bahwa mengapa mereka mesti dibunuh, karena mereka salah. Gerwani, PKI dilarang setelah 1966, maka sebelum tahun itu organisasi itu adalah sah, legal, dan tidak ada yang salah menjadi anggota dari kelompok-kelompok itu.”

Sejatinya, kata Saskia, kita tidak bisa pisahkan dari situasi seksual politik dan dari kondisi sosial ekonomi politik. 

Ia juga melihat, ada kemunduran soal keberagaman gender, karena Indonesia punya sejarah yang bagus tentang transgender, cross dressing dari beberapa kelompok etnis. Heteronormativitas lebih luas dari heterosexism yang ia pelajari dari kelompok janda, pekerja seks, dan lesbian perkotaan dan tentang bagaimana mereka termarjinalisasi. 

Setelah tahun 1965, bukan hanya Gerwani yang dihancurkan, tapi juga seluruh gerakan perempuan kehilangan semangat, reputasi internasionalnya, dan relevansinya untuk perjuangan sosial ekonomi di Indonesia. 

Gerakan perempuan kemudian menjadi pelengkap rezim militer yang patriarkis, contohnya seperti organisasi perempuan Bhayangkari, awalnya Bhayangkari adalah organisasi Polisi Wanita/ Polwan untuk memperjuangkan kesamaan upah, namun akhirnya malah berubah menjadi organisasi istri-istri Polisi yang kegiatannya justru men domestifikasi perempuan.

Gerakan Perempuan di Masa Reformasi

Setelah Gerwani kiprahnya dimatikan di masa Orde Baru, gerakan perempuan di Indonesia seperti mundur jauh ke belakang.

Di awal masa reformasi, ada Organisasi perempuan idealis yang lahir, yaitu Koalisi Perempuan Indonesia 1998 (KPI). KPI lahir dalam sebuah perhelatan kongres perempuan di Yogyakarta. 

Organisasi KPI kemudian bersama Ibu Sulami, Debra Yatim, dan Ketua Kowani, Mrs Busiri, saat itu mulai mengungkap cerita Gerwani dan lubang buaya yang mendiskriminasi para anggota Gerwani.  

Saat reformasi, juga ada Suara ibu Peduli (SIP) yang melakukan demonstrasi untuk menurunkan Soeharto dan memperjuangkan kebutuhan perempuan. Sayangnya di banyak buku tentang sejarah reformasi, peranan aktivis Suara Ibu Peduli diabaikan. 

Kemudian setelah itu lahirlah Komnas Perempuan, dan organisasi feminis Muslim seperti Rahima. Dalam 3 tahun ini juga lahirlah Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI).

Saskia melihat, kini banyak perempuan feminis yang kuat, beberapa organisasi yang kuat, namun sayangnya masih tergantung pada funding dari luar (NGO-isation). Dan gerakan besar seperti KOWANI, Fatayat dan Muslimat, Dharma Wanita/Pertiwi tetap tidak banyak berubah peranannya sejak Orde baru. 

Sejarah Perempuan Indonesia Berbeda dengan Sejarah Barat

Saskia melihat bahwa kita harus melihat jika sejarah Indonesia berbeda dengan sejarah Barat, seperti Kartini yang selalu dilihat referensinya kepada Belanda. Sejatinya kita harus melihat apa yang terjadi di Asia saat itu, ada kebangkitan Asia, anti imperialis yang terjadi sejak 1900an di Jepang, India yang sangat terasa di Indonesia. 

“Jadi bukan hanya melihat dari hubungan Kartini dengan Belanda, tapi juga  memulainya dengan kebangkitan Asia. Dan kita juga harus belajar lagi bahwa di tahun 1950an hampir tidak ada gerakan feminis di Barat, tapi di Indonesia ada SK Trimurti dengan perjuangan hak buruh yang termasuk sebagai yang terprogresif di dunia. Tapi perjuangan ini seolah tidak menjadi sesuatu yang penting, padahal dunia bisa belajar dari Ibu SK Trimurti.”

“Saya baca banyak artikel, tesis-tesis, masih tetap pada wacana barat, tidak ada yang salah dengan wacana barat,tapi itu adalah hasil dari atas pengetahuan, pengalaman di Barat, kita perlu teori yang didasarkan pada pengalaman kita sendiri. Labelling seperti sosialis, radikal, tidak berguna di sini, ada beberapa konsep yang penting tapi beberapa kurang berguna, di sini kita punya masalah gerakan anti gender yang sangat keras maka itu kita harus sangat sadar apa yang harus kita kerjakan di sini.”

Membangun Konsep Heteronormativitas

Saskia Wierenga melihat, bahwa perjuangan gerakan perempuan di Indonesia harus diperjuangkan untuk lebih masuk ke dalam wacana internasional. Contohnya soal LGBT, dimana ada dekriminalisasi, lalu menjadi medikalisasi, lalu menjadi perjuangan persamaan hak LGBT. 

Di Indonesia awalnya tidak pernah ada dekriminalisasi. Saskia melihat bahwa perjuangan untuk dekriminalisasi tidak ada, yang ada adalah mulainya larangan oleh pemerintah Kolonial Belanda terhadap praktik seksualitas dan keberagaman gender. Lalu yang terjadi sekarang adalah larangan dari kelompok Islamis dan menjadi kriminalisasi. 

“Jadi yang terjadi di Indonesia adalah kebalikannya. Praktik-praktik transgender dan same sex sudah ada dari dulu di beberapa tempat Nusantara contohnya ada perkawinan same sex di Toraja, walau sekarang gerakan LGBT di Indonesia tidak berjuang sama sekali untuk perkawinan same sex, karena mereka tahu tidak akan pernah terjadi di sini, namun sudah ada di Nusantara, bukan masuk dari Barat. Barat mesti belajar dari Indonesia.”

Ada beberapa konsep kodifikasi moral tentang relasi hubungan gender dan seksualitas. 

“Semua orang heteroseksual juga ditindas, karena mereka harus dianggap untuk masuk ke dalam perempuan atau laki-laki ‘normal’ moralitasnya. Seperti Gerwani yang dianggap tidak normal. Ini termasuk dalam analisis passionate aesthetics (estetik bergairah), metode bagaimana perilaku, presentasi dari pakaian, cara berjalan, subjektivitas, identitas yang terhubung dengan atraksi erotis hubungan seksual dan partnershipnya.”

Saskia Wieringa melihat, di Indonesia heteronormativitas seperti keris, tajam di dua bagian, lesbian, pekerja seks, janda sangat ditindas. Janda contohnya kalau sudah mau cari pacar sendiri tidak dianggap baik, janda baik jika tidak terlihat sebagai sosok seksual. 

“Maka itu heteronormativitas mengontrol supaya mereka tetap di dalamnya dan menindas yang berada di luar batasnya. Terlihat juga heteronormativitas dalam KUHP, wacana Islam dan juga Gereja yang konservatif yang menindas. Feminis dan aktivis kini berjuang untuk menolak itu.”

Lalu ada juga kekerasan simbolis. Kekerasan simbolis adalah kekerasan yang tidak dianggap sebagai kekerasan, lalu di dalamnya ada subversi yang tidak terasa sebagai subversi yang disebut symbolic subversion. Contohnya di India, kebiasaannya adalah janda cerai mati menggunakan busana putih dan tidak boleh bekerja dan tetap berada di rumah keluarga suaminya, kemudian mereka tidak mau lagi hidup dengan keluarga suaminya dan ingin hidup sendiri dengan bekerja, itu disebut symbolic subversion. 

“Atau contoh lainnya dua perempuan mau kawin dengan perkawinan yang sah, ingin mempunyai keluarga normal itu berarti mereka mencoba mendekati normalitas, tapi dalam prosesnya ada subversi, itu juga disebut symbolic subversion.”

Membangun Platform Luas Untuk Feminisme di Indonesia

Saskia Wieringa mengajak semua pihak untuk membangun konsep feminisme Nusantara, yang terjemahannya merupakan refleksi dari keagamaan, sosial ekonomi, politik, dan konteks sejarah asli Indonesia. 

Perempuan Indonesia dapat membuat platform sendiri yang luas dimana ada banyak kelompok-kelompok yang ikut, bukan didasarkan pada solidaritas, tapi afinitas. 

“Misal ada suatu kelompok yang hanya ingin fokus pada isu buruh tapi tidak mau mengikuti isu seksualitas, tidak apa, tidak perlu menerima semua isu pada platformnya, mari kerja pada isu-isu sendiri tapi bersatu membangun platform bersama.” 

Feminisme global harus dibangun pada pengalaman dari seluruh dunia, maka pengalaman dan teori kita harus masuk ke teori mainstreamnya. Para peneliti dan akademisi juga harus memberikan dukungan untuk ini.

Aktivisme di gerakan sosial termasuk gerakan perempuan selalu berkelindan dengan perjuangan akademik

“Saya rasa tidak bisa dipisahkan aktivisme dan karya akademik, bukan karena hanya kita mau mengubah penindasan yang kita lihat dan alami sendiri, tapi juga karena ada keinginan untuk mengerti apa yang menjadi obstacle dunianya. Kita tidak bisa melupakan penindasan perempuan terikat dengan kemiskinan, hal ini sejalan dengan sejarah ekonomi terutama di situasi kapitalis liberal.” 

Dengan konsep apa kita bisa mengerti situasi penindasan perempuan? Saskia menyatakan, yang pertama, kita harus mengerti bahwa gender adalah konstruksi sosial yang didasarkan pada power. Di dalam Antropologi, sejarah selalu ditulis dari perspektif laki-laki. Saskia Wieringa menyatakan, jika ingin mengubah sejarah, maka kita harus mengikutsertakan perempuan.

Jika dilihat secara akademik, Saskia juga melihat masih banyak kelemahan diskursus feminis di Indonesia, seperti masih minim menuliskan pengalaman perempuan Indonesia. Inilah bagian yang harus banyak diisi di masa sekarang.

“Jangan hanya mengumpulkan data, menulis laporan, tapi pikirkan tentang data-data dan pengalamannya, bangun konsepnya yang cocok dengan data-data itu. Kalau konsep yang sudah ada tidak cukup, maka bangun sendiri konsepnya karena semua konsep dibangun atas pengalaman tertentu. Ayo kita kerja bersama.”

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!