Perjuangan Rambu Amy, Perempuan Penjaga Wilayah Adat Sumba

Rambu Amy adalah perempuan Sumba pembela hak-hak kelompok tertindas. Bersama komunitasnya ia memperjuangkan hak-hak perempuan korban kekerasan, menjaga wilayah adat dan membela hak penganut agama Marapu.

Minggu terakhir di bulan Agustus 2022. Saya dan dua jurnalis dari Yogyakarta terbang ke Pulau Sumba, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) untuk meliput pelanggaran hak asasi manusia yang dialami Masyarakat Adat Sumba, khususnya pemeluk agama lokal, Marapu. Ada saran agar kami tidak menginap di hotel tetapi di desa sehingga mempunyai kesempatan bagus mengenal kebudayaan masyarakat di pulau yang tersusun dari batu kapur itu.

Setelah mendarat di Bandar Udara Umbu Mehang Kunda di Waingapu yang kecil, kami dijemput dan diantar ke Desa Kawangu, Kecamatan Umalulu yang berjarak belasan kilometer. Kami berhenti di sebuah rumah batu sederhana, tak jauh dari jalan raya. Seorang perempuan datang menyambut sambil tersenyum.

“Selamat datang, saya Rambu Amy,” katanya.

Ah, ini adalah perempuan yang pernah berkomunikasi lewat Zoom dengan kami dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta untuk merencanakan liputan di Sumba. Perempuan berambut keriting itu mengantarkan kami ke pondok tak berdinding dan beratap ilalang di belakang rumahnya.

Di situ kami tinggal beberapa hari. Pondok itu berada di pinggiran sabana yang penuh batu karang, hasil pengangkatan terumbu karang di laut ratusan juta tahun lalu. Rumputnya berwarna abu-abu terpanggang matahari. Di belakang pondok, ada dua goa Jepang, seekor kelelawar kecil terusik tidur siangnya saat saya masuk ke dalam.

“Ini sirih pinang, silakan dicoba, ini cara kami menyambut tamu,” ujarnya setelah kami duduk di pondoknya.

Perempuan Pendobrak di Komunitasnya

Rambu Amy yang bernama asli Dai Mami itu adalah koordinator komunitas Solidaritas Bersama untuk Tanah Sumba (Sabana Sumba). Sejak berdiri tahun 2018, komunitas ini sudah melakukan banyak hal, seperti menolong warga korban bencana alam, relawan Covid-19, membela perempuan yang mengalami kekerasan, menjaga hutan, dan tentu saja membela hak-hak warga Marapu.

“Pondok ini menjadi pusat kegiatan Sabana Sumba,” ujar ibu dari seorang remaja laki-laki ini.

Setiap malam, kami duduk di balai-balai bambu, berbincang-bincang dengan Rambu Amy. Kopi dan angin sabana yang sejuk menemani percakapan kami hingga malam larut. Sambil menyandarkan punggungnya di salah satu tiang pondok, ia bercerita tentang budaya Sumba dan aktivitasnya membela masyarakat Sumba, terutama pemeluk Marapu yang dilanggar hak asasinya.

Rambu Amy adalah sebuah “kemewahan” karena tidak banyak perempuan di Sumba Timur yang mau terjun ke dunia aktivisme yang keras. Ia mendobrak budaya masyarakat Sumba yang patriarkis dan masih melihat aktivisme sebagai dunia laki-laki.

“Para perempuan di Sumba Timur tidak mau bersinggungan dengan polisi dan pemerintah,” ujarnya.

Akibat provokasinya, para perempuan di Sumba Timur mulai tergerak tetapi masih belum banyak. Ia juga membuat Sabana Sumba seperti “dinas sosial”. Komunitas ini menjadi tumpuan warga untuk menyelesaikan berbagai persoalannya.

Di situ, ada seorang perempuan dengan gangguan jiwa akibat mengalami kekerasan seksual saat bekerja di Malaysia. Perempuan kurus berambut cepak itu sering mampir untuk makan atau menumpang tidur.

Ada pula seorang remaja laki-laki yang diberi “suaka”. Pasalnya laki-laki kurus dan masih kuliah itu dipaksa menikahi pacarnya, seorang perempuan yang masih berusia anak.

“Saya sangat tidak setuju dengan perkawinan di bawah umur,” ujarnya berapi-api.

Di pondok itu juga tinggal remaja pemeluk Marapu yang akan melanjutkan studi di Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Semarang. Tinggal di rumah Rambu Amy jadi pilihan agar mereka mudah mengakses sinyal dan mengetahui pengumuman dari Semarang. Setiap malam, kami tidur bersama mereka, anak-anak muda yang punya semangat ingin melestarikan budaya Marapu.

Mereka mengambil jurusan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa agar bisa menjadi guru Marapu di sekolah-sekolah di Sumba.

Sejak 2017, pemerintah sudah menjamin murid-murid pemeluk penghayat kepercayaan (agama lokal) seperti Marapu bisa mendapat pelajaran sesuai dengan keyakinannya di sekolah. Namun pelaksanaan di lapangan masih belum mulus karena salah satu syarat guru yang bisa mengajar harus menyandang gelar sarjana.

“Semoga anak-anak Marapu ini bisa melanjutkan kuliah di Semarang,” ujar Rambu.

Semesta berpihak kepadanya dan doa Rambu Amy dikabulkan. Lima dari enam remaja Marapu itu diterima di Untag Semarang dan berhasil mendapat beasiswa dari pemerintah. Ia menemani lima remaja Marapu itu terbang ke Semarang, memastikan mereka sampai di sana dan mencari tempat kos yang layak, September lalu.

Walaupun beragama Kristen, tetapi ia memiliki kepedulian tinggi kepada warga pemeluk Marapu. Dahulu, semua warga Sumba adalah pemeluk Marapu, sistem kepercayaan warisan nenek moyang. Sejak penjajah masuk, mereka terus mengalami diskriminasi sampai sekarang sehingga jumlahnya menurun drastis.

Menjaga Wilayah Adat dari Perampasan Lahan

Saat ini Rambu Amy dan Masyarakat Adat Sumba sedang menghadapi konflik lahan (agraria) melawan PT Muria Sumba Manis (MSM). Pemerintah mengizinkan perusahaan ini membuka pabrik gula dan perkebunan tebu di Sumba Timur.

Adapun tanah seluas lebih dari 41 ribu hektar yang dipakai perusahaan adalah tanah adat milik Masyarakat Adat Sumba yang digunakan untuk menggembalakan ternak, seperti kuda, kerbau, sapi dan kambing. Hewan ternak adalah poros kehidupan masyarakat Sumba karena digunakan dalam upacara ritual dan kebudayaan mereka.

“Semua tanah itu adalah milik masyarakat adat,” ujar perempuan yang pernah kuliah di Yogyakarta itu.

Ia bersama para laki-laki pernah membuat pagar untuk memblokade jalan masuk ke wilayah tanah adat yang dikuasai PT MSM di Lairoka. Bentrokan dengan polisi pun dihadapinya. Ia juga memberikan dukungan dan solidaritas saat tiga orang Marapu dikriminalkan PT MSM karena dituduh merusak tenda jaga yang berada tidak jauh dari situs ritual Katuada Njara Yuara Ahu di Desa Patawang.

Bersama perwakilan Masyarakat Adat Sumba, ia pernah datang ke Jakarta pada tahun 2019 untuk mengais keadilan atas hilangnya tanah adat. Direktur Lokataru, Haris Azhar membantu mereka datang ke berbagai kantor pemerintah, Komnas HAM, dan menggelar aksi di depan Istana Merdeka.

“Saya tidak pernah merasa takut dalam berjuang,” ujarnya.

Arnold Plur, seorang aktivis di Waingapu mengakui keberanian Rambu Amy. Ia melihat sendiri bagaimana Rambu Amy melakukan perlawanan di lapangan.

“Perempuan itu luar biasa, kalau ada Rambu Amy, semua dilawan,” ujarnya.

Mama Aleta Baun, seorang pejuang lingkungan hidup dari Nusa Tenggara Timur (NTT) adalah sumber inspirasinya. Mama Aleta adalah perempuan yang berhasil menggerakkan masyarakat desa untuk menghentikan penambangan batu marmer di Gunung Mutis di Kecamatan Mollo, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Tahun 2013, ia mendapatkan penghargaan The Goldman Environmental Prize di San Francisco, Amerika Serikat.

Selain itu, Rambu Amy juga meneladani Bunda Teresa, biarawati yang mendedikasikan dirinya untuk merawat masyarakat miskin di India. Atas pengabdiannya itu, ia mendapat penghargaan Nobel Perdamaian.

Walaupun keras dan tegas saat membela rakyat, Rambu Amy adalah ibu yang hangat dan penuh perhatian. Keluarga kecilnya memberikan dukungan kepada aktivitasnya. Suaminya yang seorang aparat sipil negara selalu mempercayainya meskipun ia harus pergi ke desa selama berhari-hari.

“Saya sangat berterima kasih kepada keluarga yang selalu mendukung aktivitas saya,” tuturnya.

(Sumber foto: IG Rambu Amy)

Bambang Muryanto

Jurnalis freelance. Ia adalah anggota AJI Yogyakarta dan suka dengan isu-isu soal gender.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!