Putusan Bebas Maria Ressa, Kemenangan Jurnalis dan Kemerdekaan Pers

Jurnalis peraih penghargaan Nobel Perdamaian, Maria Ressa akhirnya dibebaskan dari dakwaan penggelapan pajak. Ini merupakan kemenangan jurnalis dan kemerdekaan bagi pers.

Pertengahan Januari 2023, jurnalis perempuan asal Filipina Maria Ressa dan Rappler Holdings Corporation (RHC), akhirnya dibebaskan. 

Peraih Nobel dan perusahaan media onlinenya itu, Rappler, resmi lepas dari 4 dakwaan penggelapan pajak yang diajukan pada tahun 2018 oleh pemerintahan Filipina sebelumnya, Rodrigo Duterte. 

Pengadilan Banding Pajak memutuskan bahwa jaksa gagal dalam membuktikan ‘tanpa keraguan’ terhadap Ressa dan RHC sebagai pelaku penggelapan pajak. Pembebasan Ressa ini menjadi titik balik ‘kemenangan kebebasan pers’ yang Ia perjuangkan. Usai bertahun-tahun ini, meski menghadapi rentetan kasus yang menimpanya. 

Kemenangan ini sekaligus mengakhiri persidangan lebih dari 4 tahun atas kasus yang diajukan pada Maret 2018 itu. Dua bulan setelah Komisi Sekuritas dan Bursa Filipina mengeluarkan perintah penutupan terhadap Rappler. 

“Hari ini, fakta menang, kebenaran menang, keadilan menang,” ujar Maria Ressa setelah putusan pengadilan pada Rabu (18/1), dikutip Rappler.

Kasus tuduhan penggelapan pajak kepada Ressa dan RHC itu, bermula dari investasi Omidyar Network yang berbasis Amerika Serikat (AS) pada 2015. Perusahaan itu didirikan oleh pendiri situs belanja online eBay, Pierre Omidyar. 

Pada masa kepemimpinan Duterte, Omidyar Network lalu mengalihkan investasinya di Rappler kepada manajer lokal situs itu. Tujuannya, mencegah penutupan situs berita online itu oleh Duterte. Namun saat itu, pemerintah Duterte menuduh adanya upaya penghindaran pembayaran pajak yang dilakukan Ressa dan RHC. 

Pihak Duterte menyoroti pula kemitraan dengan investor asing North Base Media (NBM) dan Omidyar Network (ON) atas tuduhan itu. Media online Rappler kemudian dituduh pula melanggar larangan konstitusional tentang kepemilikan media asing. 

Di pengadilan banding (CA), Rappler menegaskan bahwa Ia adalah 100% perusahaan Filipina. 

Para pegiat pers dan HAM pun menilai, kasus-kasus yang dituduhkan terhadap Ressa dan Rappler itu adalah bagian dari penghalangan kebebasan pers. Ini berkenaan dengan sepak terjang Rappler sebagai media yang memegang independensi jurnalismenya. 

Pada tahun 2016 saat Duterte mulai berkuasa dan memulai perang terhadap narkoba, yang telah menyebabkan ribuan orang meninggal di tangan operasi polisi anti-narkoba. 

Rappler menjadi salah satu media dalam dan luar negeri yang menerbitkan foto-foto mengejutkan dari pembunuhan-pembunuhan operasi tersebut. Ia juga mengkritisi dasar hukum penumpasan lebih dari 6.200 nyawa itu. 

Selain Rappler, ada pula media lokal seperti ABS dan CBN, yang bersikap kritis terhadap Duterte, kemudian kehilangan lisensi siaran gratis mereka. Sementara Ressa dan Rappler dihadapkan dengan serangkaian serangan tuduhan kriminal. Termasuk penggelapan pajak ini. 

“Kasus ini mencontohkan bagaimana kekuatan perpajakan dapat digunakan sebagai alat untuk menyebabkan ribuan ‘pemotongan’ demokrasi kita. Rappler Inc, yang berada di garis depan penyediaan jurnalisme independen di Filipina, menarik kemarahan pemerintah Duterte,” tulis Ressa dan Rappler dalam memorandum akhir yang diserahkan kepada pengadilan banding pajak. 

Kebebasan Pers Harus Terus Diperjuangkan

Maria Ressa, perempuan kelahiran 1963 banyak dipuji karena dianggap berjasa dalam mengungkap penyalahgunaan kekuasaan, penggunaan kekerasan serta otoritarianisme di Filipina. 

Rappler yang didirikan Maria Resa bersama tiga jurnalis lainnya itu, memang sejak berdirinya 2012 dikenal ‘tajam’ lewat penyelidikannya di Filipina. Seperti, getol mempertanyakan ketepatan pernyataan hingga mengecam berbagai kebijakan yang merugikan publik

Selain itu, media yang dinahkodai Maria Ressa itu juga sempat menerbitkan sejumlah laporan kritis terhadap perang Duterte terkait perlawanan narkoba yang kebijakannya menyatakan akan menembak mati siapapun yang memakai narkoba. Akibat kebijakannya ini, dalam tiga tahun terakhir, sekitar 5.000 orang meninggal. Presiden Duterte di saat bersamaan juga diduga pernah melecehkan seksual seorang pekerja rumah tangga (PRT). 

Pada tahun 2020, Maria Ressa, juga pernah dituduh melakukan ‘cyber-liber’ atau fitnah yang ditujukan kepada Presiden Filipina, Rodrigo Duterte.

Duterte lantas menyangkal laporan situs itu “palsu” dan tidak memberikan akses bagi jurnalis meliput caranya. Maria Ressa pun sempat mendapat ancaman hukuman pidana sampai 6 tahun, meskipun kemudian bebas dengan jaminan setelah pada 2020 pasca ia ditangkap dan divonis bersalah terkait Undang-Undang Fitnah di Media Sosial oleh pengadilan Filipina.

Pada Kamis 4 Maret 2021, dilansir dari VOA Indonesia, Maria juga menghadapi empat tuduhan penggelapan pajak dan dinilai tidak mengajukan laporan pengembalian pajak yang akurat. Di luar itu, Maria menyatakan bahwa pemerintah telah mengajukan sepuluh surat perintah penangkapan terhadapnya dalam waktu kurang dari dua tahun

Maria mengatakan, ia mengimbau pemerintah untuk menghormati pekerjaan jurnalis.

“Kami di sini untuk bekerja dengan Anda, dan Anda ingin kami melakukannya, karena dengan bersama-sama kita dapat menemukan jalan yang benar ke depan. Biarkan wartawan melakukan pekerjaan mereka dan jurnalisme bukanlah kejahatan,” katanya.

Sosok Maria Ressa adalah satu di antara banyak potret jurnalis yang mesti terus berjuang untuk kebebasan pers termasuk di Filipina. Negara ini berada di urutan 147 dari 180 negara di indeks kebebasan pers dunia tahun 2022. 

Komite Perlindungan Jurnalis bahkan menempatkan negara Filipina sebagai peringkat 7 besar indeks impunitas tertinggi. Kaitannya ini, negara terlacak membebaskan pembunuh jurnalis. 

Kisah jurnalis perempuan, Maria Ressa, dan Rappler dalam perjuangan kebebasan pers ini, didokumentasikan dalam film dokumenter A Thousand Cuts. Di film itu merekam bagaimana pemerintah Filipina di bawah pemerintahan Duterte melakukan tindakan represif serta menerapkan kebijakan yang membungkam kerja pers. 

Ramona Diaz sebagai sutradara film berdurasi 1 jam 40 menit ini, mengeksplorasi konflik antara pers dan pemerintah Duterte. Dia mewawancarai banyak narasumber dari berbagai kalangan. Selain Maria Ressa, beberapa jurnalis Rappler lainnya ikut memberikan kesaksian. Pun dengan tokoh-tokoh yang mengkritik kebijakan ‘perang narkoba’ yang dilakukan Duterte. 

Dalam film A Thousand Cuts ini, Duterte tampak ingin memperpanjang masa jabatannya. Saat itulah, arogansi pemerintahan mulai terasa dan cenderung bersikap anti kritik. Duterte juga berupaya membungkam media yang kritis terhadap pemerintahannya. Seperti membungkam Rappler yang dipimpin Maria Ressa. 

Pada 25 Januari 2020 lalu, A Thousand Cuts ditayangkan perdana di Sundance Film Festival. Film itu juga dirilis secara terbatas pada bioskop virtual oleh PBS Distribution pada 7 Agustus 2020 dan program siaran Frontline pada 8 Januari 2021. Kedua pemilik hak siar itu sempat menyiarkan secara singkat di kanal Youtube pada hari kemerdekaan Filipina pada 12 Juni 2020 lalu. 

Di Indonesia, film A Thousand Cuts juga tampak diputar secara terbatas oleh komunitas pers. Salah satunya, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) yang menggelar nonton bareng di beberapa kota di Indonesia dalam rangka Hari Internasional Memperingati Impunitas Atas Kejahatan Impunitas terhadap Jurnalis yang diperingati setiap 2 November. 

Meski tak seburuk Filipina, Indonesia juga termasuk negara yang memiliki tingkat rendah atas kebebasan persnya. Pada tahun lalu, secara global Indonesia menempati urutan ke 117. Laporan AJI tahun 2022 berjudul ‘Serangan Meningkat, Otoritarianisme Menguat’ mencatat jumlah kekerasan terhadap jurnalis mencapai 61 kasus. Angka ini naik dari 43 kasus yang tercatat AJI pada 2021. 

Kekerasan terhadap jurnalis pada 2022 sebagai besar berbentuk kekerasan fisik seperti perusakan alat kerja. Di samping itu, ada pula terbanyak kasus serangan digital hingga kekerasan berbasis gender yang banyak menimpa jurnalis perempuan.

(Foto: REUTERS/Gonzalo Fuentes)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!