“Saya Menyanyi, Bukan Ingin Menjual Diri”: Stigma Buruk Hantui Penyanyi Dangdut

Dangdut adalah musik yang paling digemari di kalangan masyarakat Indonesia karena dianggap sebagai musik yang menghibur dan membuat pendengarnya melupakan sejenak persoalan hidup mereka. Namun nasib perempuan penyanyi dangdut tak se-asyik goyangannya, mereka kerap menerima pelecehan seksual.

Untuk sejumlah kalangan, penyanyi dangdut baik itu laki-laki dan perempuan lebih cepat populer karena lagu dangdut sangat mudah dicerna oleh pendengaran masyarakat Indonesia. Mereka yang sudah manggung di kota-kota besar dianggap sebagai penyanyi laris papan atas. 

Lalu bagaimana dengan penyanyi dangdut yang masih manggung dari hajatan ke hajatan lain, dari panggung kecil ke panggung kecil lain yang rata-rata hidup di daerah?

Masih lekat di ingatan pada video viral pada November 2022 lalu, soal penyanyi campursari di Sragen, Jawa Tengah Octavia atau Via (21) yang melaporkan kelakuan penonton ke polisi akibat perbuatan melecehkan saat dirinya bernyanyi.

Kejadian itu ia alami saat mengisi hiburan bersama grup campursari BMJ Music di Desa Srimulyo, Kecamatan Goncang, Sragen, Minggu (6/11/2022) pukul 15.00 WIB. 

“Kejadian di rumah Bapak Trimo, alamat Dukuh Asri, Srimulyo, Gondang, Sragen. Saat acara mantu,” ujar Octavia Kamis (10/11) lalu.

Perempuan asal Kampung Ngablak, Kelurahan Kroyo, Karangmalang, Sragen ini bercerita, laki-laki penonton itu telah berulang kali ditegur saat berjoget. Bukan tanpa alasan, aksi joget laki-laki tersebut telah membuat sang penyanyi tidak nyaman. 

“Awal mula kejadian, pelaku sudah saya tegur saat joget. Dari lagu-lagu sebelumnya. Cuma saat itu beliau minta lagu Satru 2, kami turuti, (namun) saat itu juga mulai rese. Sudah ditegur untuk mundur,” kata Octavia. 

Saat itulah aksi pelecehan yang dilakukan pria tersebut kepada Via terjadi. “Pada saat di tengah-tengah lagu, dengan spontan pelaku memegang dada sebelah kiri,” terangnya.

Kejadian itu akhirnya ramai dan viral di media sosial lantaran acara hiburan disiarkan secara live streaming. Lebih lanjut, Via pun akhirnya melaporkan penonton itu ke polisi.” Sudah saya laporkan ke Polres Sragen,” tandasnya.

Meski nasibnya tak seapes Via, Penyanyi dangdut asal Ponorogo Jawa Timur Fitri (42) tahun merasa anggapan penyanyi dangdut bisa di booking itu persepsi yang salah.

”Saya ini menyanyi dangdut, bukan ingin menjual diri, niat baik saya menyanyi dangdut untuk mencari nafkah di jalur yang saya sukai, menyanyi adalah hobi sejak saya kecil,” katanya kepada Konde.co, Sabtu (29/1)

Fitri menilai, penyanyi dangdut adalah sebuah profesi yang tidak dapat diremehkan.

”Pertama, tidak semua orang bisa menyanyi, kedua, menyanyi dangdut tidak mudah butuh Latihan bertahun-tahun dan jam terbang yang tak sedikit untuk bisa bernyanyi menggunakan cengkok dangdut, ketiga, menjadi penyanyi dangdut tidak bisa cuma asal goyang harus punya kualitas diri agar memberikan aura positif bagi penonton,” ungkapnya.

Penggunaan kostum yang dianggap sopan dan tertutup, menurut Fitri juga memberi nilai jual bagi penyanyi dangdut, namun Fitri menegaskan bukan berarti yang menggunakan pakaian terbuka salah dan yang lebih tertutup itu benar. Anggapan ini kemudian memberikan stigma pada perempuan penyanyi dangdut, padahal mereka seringkali harus melakukan ini karena tuntutan pasar atau penonton

”Pakaian itu berpengaruh terhadap performa penyanyi, kostum bagi penyanyi dangdut adalah bagian dari sajian pertunjukan yang menarik, kostum bisa disesuaikan dengan event, jika di acara resmi tentunya harus berpakaian formal, jika acaranya santai bisa menggunakan pakaian casual,” jelas ibu dua anak ini.

Bukan cuma menyanyi dangdut, Fitri mengaku dirinya harus bekerja keras memperkaya literasi musiknya agar lebih menghidupkan panggung.

”Saya bisa menyanyikan berbagai jenis musik, bukan cuma dangdut, bisa musik pop jika ada yang request, music campursari, musik orang timur seperti Ambon, Papua, bahkan music rockdut (gabungan music rock dan dangdut),” paparnya.

Meski Fitri melengkapi diri dengan kemampuan yang mumpuni, Fitri mengaku masih ada saja penonton yang jahil, mencoba mencolek atau iseng.

”Biasanya itu jika manggung di desa, beberapa penonton ada yang mabuk lalu memberi saweran dengan mencolek bagian intim, saya pribadi mengantisipasi dengan berbagai cara, saya menghindar dengan halus agar tak mengganggu yang punya hajatan, “ ungkapnya.

Sebagai warga yang bermasyarakat, cara Fitri menggeser stigma terhadap profesinya dengan cara hidup bermasyarakat dengan baik.

”Saya berpartisipasi dengan masyarakat tempat saya tinggal, kalau kita berlaku sopan dan hormat maka mereka juga akan segan, tidak akan berpikir negatif, bahkan mereka mendukung profesi saya, bahkan saat saya masih punya bayi lalu ada panggilan manggung, warga dengan senang hati menjaga anak saya di rumah, ” ungkapnya.

Fitri bercerita, sejak sang suaminya jatuh sakit, ia menjadikan profesi penyanyi dangdut sebagai penghasilan utama,, dirinya tak pernah merasa berat menjalani profesi penyanyi dangdut.

”Karena saya bekerja dari hobi saya, jadi semangat itu datang kadang entah darimana, ditambah keluarga juga sangat mendukung, terutama suami saya juga sangat suportif, rejeki dari menyanyi dangdut juga cukup untuk menghidupi keluarga, “ ujarnya.

Pelecehan Menimpa Penyanyi Dangdut

Koordinator Peneliti Koalisi Seni Ratri Ninditya mengamini bahwa penyanyi dangdut perempuan memang lebih rentan mendapatkan Kekerasan Seksual (KS) ketimbang laki-laki.

”Kami secara khusus belum belum pernah melakukan penelitian soal kekerasan seksual yang dialami penyanyi dangdut. Tapi yang menjadi perhatian kami adalah bahwa secara umum perempuan yang berprofesi di industri hiburan dan seni memang rentan terhadap pelecehan seksual, baik dari penonton maupun sesama pelaku industri,” ungkapnya kepada Konde.co, Senin (30/1).

Kenyataannya, kata Ratri, ruangan atau panggung tempat penyanyi tersebut melakukan pertunjukan terkadang sangat tidak aman.

”Peran asosiasi/serikat/perkumpulan menjadi sangat penting di sini. Asosiasi perlu memfokuskan kerja pada perlindungan pelaku dangdut perempuan, baik dalam penciptaan ruang aman maupun dukungan jaminan sosial dan ekonomi. Keterlibatan penuh pelaku dangdut perempuan sebagai pengambil keputusan dalam asosiasi juga krusial untuk menyasar isu ini,” ujarnya.

Lebih lanjut Ratri mengungkap,  Dangdut merupakan fenomena budaya yang spesifik, dengan praktik yang berbeda di tiap daerah. 

”Pembuatan SOP untuk menegaskan batasan yang boleh dan yang tidak, dengan sanksi jelas dan tegas terhadap batasan yang dilanggar sangat diperlukan. Lagi-lagi, pembuatan SOP ini harus melibatkan secara penuh para pelaku dangdut perempuan. SOP juga tidak boleh menjadi alat untuk menyensor ekspresi,” tegas dia.

Namun Ratri menegaskan lagi bahwa sensor ekspresi yg dimaksud adalah sensor sepihak terhadap ekspresi senimannya  baik itu pencipta maupun pelaku pertunjukan

Secara umum, diungkap Ratri, industri dangdut (bahkan musik dan seni pada umumnya di Indonesia) masih dikuasai oleh laki-laki sebagai pengambil keputusan. 

“Hal ini menyebabkan posisi dan daya tawar pelaku perempuan masih lemah. Yang perlu diteliti lebih lanjut: apakah praktik dangdut di berbagai konteks selama ini dilakukan atas persetujuan dan pilihan sadar dari pelaku perempuan, dengan pengetahuan akan hak dan risiko serta akses terhadap berbagai layanan perlindungan,” paparnya.

Sejauh ini, Ratri menjelaskan, belum menjadi fokus Koalisi Seni untuk merancang SOP agar penyanyi dangdut mendapatkan panggung yang aman untuk show.

”Dalam fenomena ini, yang mungkin perlu disasar: sosialisasi akan hak, risiko, dan akses terhadap jaring pengaman yang tersedia, termasuk layanan kesehatan reproduksi,” pungkasnya.

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!