Transpuan Dapat Energi Sehat di NTT, Bagaimana di Ibu Kota?

Louisa dan Laila, transpuan yang bertempat tinggal di Maumere, NTT, merasakan kualitas hidup yang layak dengan adanya energi terbarukan energi surya. Udara tetap bersih dan mereka membuka usaha untuk mencukupi kebutuhan hidup. Sementara, situasi transpuan lainnya di ibu kota Jakarta mesti menghadapi polusi udara di samping peminggiran secara struktural.

Udara bersih bukan barang mewah bagi Louisa dan Laila (bukan nama sebenarnya), dua transpuan yang tinggal di Pulau Parumaan (baca: Permaan), salah satu gugusan pulau di laut Utara Kabupaten Sikka, Kota Maumere, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT).  Untuk menuju pulau itu, satu-satunya akses transportasi hanya menggunakan perahu berkapasitas sekitar 5 gross tonnage.

Hamparan laut pesisir dan rumah warga desa Parumaan dan PLTS Parumaan di, Kabupaten Sikka. 

(Sumber: Gloria Fransisca/2023)

Saat tim Konde.co menginjakkan kaki, sejumlah warga yang menempati pulau terluar Maumere itu menelisik pelan melihat keberadaan tim. Sepanjang jalan mengitari pulau, berdiri rumah panggung yang terbuat dari kayu. Lantai dasar dibuat secara terbuka yang peruntukannya untuk bersantai, bercakap-cakap sesama keluarga dan tetangga. Sebagian warga juga memanfaatkan lantai dasar untuk tempat memasak dengan kayu bakar. Sementara lantai atas diperuntukkan untuk ruang tamu hingga kamar tidur. 

Di pulau itu, tampak ada beberapa kendaraan sepeda motor saja. Jumlah tak sampai sepuluh. Mayoritas warga menggunakan transportasi perahu bermesin sekitar 2-3 gross tonnage yang terparkir di dermaga kecil satu-satunya. Bahan bakar kapal menggunakan solar.  Perahu itu merupakan kendaraan untuk mencari ikan di laut Maumere sekaligus sebagai moda transportasi untuk keperluan membeli dan menjual kebutuhan bahan pokok.

Menurut pencatatan Desa Parumaan, pulau tersebut membentang seluas 12 kilometer. Jumlah penduduk yang bermukim sekitar 400 kepala keluarga (KK). 

Kondisi kepulauan dengan struktur rumah dari kayu dan minim kendaraan membuat udara di Parumaan tetap bersih. Bukan hanya karena tak banyak aktivitas kendaraan, melainkan karena sektor energinya menggunakan sumber energi terbarukan seperti pembangkit listrik tenaga surya (PLTS). 

PLTS di Parumaan beroperasi sejak tahun 2019 dari pengadaan PT PLN dengan kontraktor pelaksana PT Tritama Mitra Lestari. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) ini berkapasitas 420kWp untuk melayani kebutuhan sekitar 458 pelanggan. PLTS ini beroperasi dari wilayah desa Parumaan.

Menurut pengakuan Dahil Baco (57), perangkat desa Parumaan, hadirnya listrik di Parumaan sejak 3 tahun lalu memang sangat membantu aktivitas masyarakat selama 24 jam. Sejak listrik masuk, mayoritas masyarakat memasang TV satelit berbayar. Masyarakat juga banyak yang berjualan minuman es teh dan es buah.

“Masyarakat sekarang sudah bisa membuat usaha sendiri. Masak nasi sudah pakai magic jar. Banyak yang beli kulkas untuk jualan es,” katanya.

Rumah warga Desa Parumaan yang kini memiliki satelit televisi. (Sumber: Gloria Fransisca/2023)

Dampak itu dirasakan langsung oleh Louisa maupun Laila yang mengaku kehadiran PLTS Parumaan mendukung mereka menambah penghasilan. Mereka tidak bekerja sebagai nelayan seperti mayoritas warga, tetapi membuka toko kelontong dan berjualan es batu.  Saat Konde.co berkunjung ke sana, Louisa dan Laila sedang pergi untuk mencari barang dagangan yang hanya ada di Kota Maumere. 

Berdasarkan pemantauan Konde.co, kios milik Louisa memang tak terlalu besar, hanya sepetak 3×4 meter di depan rumah panggung miliknya. Warung sejenis juga dimiliki oleh Laila. Warung itu menyediakan aneka kebutuhan makanan dan bahan pokok untuk warga. 

“Iya, saya bersyukur bisa buka usaha kios saja,” ujar Laila saat dihubungi Konde.co pada, 26 Desember 2022.

Berkat PLTS, kios bisa dilengkapi freezer untuk berjualan es. (Sumber: Gloria Fransisca/2023)

Kawasan NTT memang menjadi satu di antara dua daerah di Indonesia yang memiliki potensi besar energi surya. Selain NTT yang diperkirakan Kementerian ESDM punya potensi energi surya sebesar 369,5 gigawatt peak (GWp), ada pula Riau sebesar 290,41 GWp dan Sumatera Selatan sebesar 285,18 GWp. Total mencapai 3.294,36 GWp potensi energi surya  yang tersebar merata di seluruh daerah Indonesia. 

Berdasarkan pemantauan Konde.co, selain Parumaan, pulau-pulau lain di Kabupaten Sikka juga kini mengandalkan listrik bertenaga surya. Sebut saja di antaranya; Pulau Kojadoi, Pulau Besar, Pulau Pemana, dan Pulau Palue. Dikutip dari situs resmi Pemerintah Kabupaten Sikka, Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo menjanjikan pemasangan PLTS selanjutnya di Pulau Sukun, pulau luar arah utara Kabupaten Sikka.

Potensi energi surya yang melimpah itu, menurutnya didukung pula oleh radiasi matahari yang bisa mencapai lebih dari 3,75 kWh per meter persegi per hari. Sehingga, panel-panel surya bisa menghasilkan listrik secara maksimal. 

Namun, keberadaan energi terbarukan di Parumaan bukan tanpa tantangan. Operator dan Pelayan Teknis PLTS, Sudarman, menceritakan  perawatan energi tenaga surya ini sebenarnya cukup sulit. Misalnya saja, operator harus selalu meninjau kualitas fotovoltaik (Photovoltaics/PV) dan baterai. Perawatan PV di Parumaan juga masih sulit karena PV harus rutin dibersihkan dengan air bersih. Keterbatasan air bersih di Parumaan membuat perawatan PV sementara ini hanya menggunakan air hujan.

“Air bersih kami mesti ambil dari pulau seberang. Pakai air hujannya pun saat ini kami masih dapat dari Pulau Kojadoi yang instalasinya dialirkan ke sini,” ujar Sudarman. Selain Pulau Parumaan, Pulau Kojadoi juga tercatat sebagai salah satu pulau di Kabupaten Sikka yang mengandalkan listrik dari panel surya.

Fotovoltaik pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) Parumaan. (Sumber: Gloria Fransisca/2023)

Selain soal perawatan, hal lain yang jadi perhatian yakni alat pemantau kualitas udara di wilayah Nusa Tenggara Timur yang berlokasi di Kota Kupang, mengalami gangguan yang tak kunjung diperbaiki. Menurut Kepala Kantor Stasiun Meteorologi Bandara Frans Seda-Maumere, Ota Thallo, wilayah NTT tidak banyak ditemukan polusi udara karena peremajaan alat tidak pernah menjadi prioritas pemerintah.  “Akibatnya data untuk kualitas udara belum optimal dimanfaatkan di sini,” ungkap Ota kepada Konde.co.

Menurut Otha, di wilayah Indonesia Timur, termasuk Nusa Tenggara Timur belum banyak alat pemantauan kualitas udara di Indonesia karena pengadaan sangat bergantung dari skala prioritas. “Mungkin karena polusi relatif rendah di NTT, di sini [Maumere] kan juga tidak ada pabrik, polusi kendaraan belum seberapa,” kata Ota.

Berbanding terbalik dengan kondisi Parumaan, Maumere, ibu kota Indonesia-Jakarta tidak lebih baik dari wilayah yang dikenal dengan sebut MOF atau biasa disebut Maumere of Flores. 

Jakarta masih berkutat dengan persoalan polusi udara yang tak kunjung rampung. Data World Air Quality1]2]3]4] selama 4 tahun terakhir menunjukkan kondisi polusi udara di Jakarta salah satu yang terburuk di dunia. Jakarta konsisten menempati sepuluh besar kota berpolusi buruk di dunia dan di kawasan Asia Tenggara. 

Setiap tahunnya, rata-rata konsentrasi cemaran partikulat berdiameter 2,5 mikron (PM2,5) di Jakarta mencapai empat hingga lima kali lipat dibandingkan standar Pedoman Kualitas Udara WHO. Jumlah kematian yang dikaitkan dengan PM2,5 di Jakarta terbesar secara nasional yakni sekitar 36 jiwa per 100.000 jiwa di tingkat nasional. Studi Budi Haryanto dkk memperkirakan tahun 2010 terdapat 5,5 juta laporan kasus penyakit terkait polusi udara, atau nyaris 11 kasus per menit, di Jakarta dan menelan biaya setara 60 triliun pada 2020.

Studi Vital Strategies bersama Institut Teknologi Bandung selama kurun waktu Oktober 2018-September 2019 mengidentifikasi sumber utama polusi udara Jakarta yakni asap knalpot kendaraan, pembakaran batubara untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), pembakaran terbuka, konstruksi, debu jalan, dan partikel tanah yang tersuspensi.

Selain itu, riset Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) pada 2020 berjudul “Pencemaran Udara Lintas Batas di Provinsi Jakarta, Banten, Jawa Barat” menemukan indikasi kuat pencemaran lintas batas dari Provinsi Banten dan Jawa Barat merupakan kontributor utama pencemaran udara di kota Jakarta.  

Di sekeliling ibu kota, setidaknya terdapat 136 fasilitas industri terdaftar (termasuk pembangkit listrik) yang bergerak di sektor-sektor dengan emisi tinggi di Jakarta dan berada dalam radius 100 km dari batas administratif Jakarta. Rinciannya, 16 berlokasi di DKI Jakarta, 62 di Jawa Barat, 56 di Banten, 1 di Jawa Tengah, dan 1 di Sumatera Selatan. 

Dikutip dari riset, pantauan citra satelit menunjukkan, pembangkit listrik Suralaya di Banten beroperasi dan menghasilkan emisi seperti biasa selama pembatasan Covid. Angin membawa pencemaran pembangkit listrik Suralaya ke Jakarta, yang mungkin telah berkontribusi pada tetap tingginya PM2, 5 di Jakarta, kendati ada pengurangan besar dalam lalu lintas lokal dan aktivitas perkotaan. 

“Pengoperasian sektor-sektor tinggi emisi itu menghasilkan cemaran udara dan berdampak signifikan pada kualitas udara Jakarta,” ujar Erika Uusivuori, peneliti CREA.

Riset tersebut juga memaparkan, faktor meteorologi seperti lintasan angin memengaruhi penyebaran pencemar seperti NO, SO2 dan PM2.5. Pada bulan-bulan kering Mei-Oktober, sumber-sumber dari pembangkit listrik tenaga uap berbahan bakar batubara dan pabrik industri di sebelah timur Jakarta (dari Bekasi, Karawang, Purwakarta hingga Bandung) berdampak lebih besar pada kualitas udara. Pada bulan-bulan basah (Desember-Maret), sumber-sumber di barat-khususnya pembangkit listrik Suralaya di Banten-adalah penyumbang pencemaran yang lebih besar. 

“Semua faktor ini memengaruhi ruang udara Jakarta dan pencemaran udara Jakarta secara keseluruhan,” ujarnya.

Jengah dengan kondisi udara kotor terus-menerus, pada 4 Juli 2019, puluhan warga Jakarta bersama kuasa hukum Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota (Inisiatif Bersihkan Udara Koalisi Semesta) mengajukan citizen law suit (CLS), gugatan warga negara atas buruknya kualitas udara Jakarta ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Mereka menggugat Presiden Joko Widodo, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Dalam Negeri, Gubernur Jakarta, Gubernur Jawa Barat, dan Gubernur Banten. 

Dua tahun berjalan, tepatnya pada September 2021, gugatan bernomor perkara 374/Pdt.G/LH/2019/PNJkt.Pst itu dikabulkan sebagian oleh hakim. Presiden Joko Widodo beserta anggota kabinetnya, dan 3 gubernur provinsi dinyatakan bersalah karena gagal mengatasi polusi udara Jakarta. Hakim menjatuhkan sanksi hukuman kepada Presiden Joko Widodo untuk menetapkan baku mutu udara ambien nasional. 

Sementara anggota kabinetnya: Menteri Lingkungan Hidup harus melakukan supervisi terhadap kepala daerah 3 provinsi tergugat dalam hal inventarisasi emisi lintas batas ketiga provinsi, Menteri Dalam Negeri harus melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap kinerja Gubernur DKI dalam pengendalian pencemaran udara, dan Menteri Kesehatan untuk melakukan penghitungan penurunan dampak kesehatan akibat pencemaran udara di Provinsi DKI Jakarta.  

Pemerintah DKI Jakarta menerima putusan itu dengan tidak melakukan banding. Sementara itu, Presiden Joko Widodo, anggota kabinetnya melakukan banding, lalu kalah di tingkat banding itu.  

Kepala Bidang Pengendalian Dampak Lingkungan, Dinas Lingkungan Hidup Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta, Yusiono A. Supalal menerangkan, setelah kalah di pengadilan, Pemprov DKI memutuskan tidak mengambil langkah banding.  “Pemprov DKI memilih mempercepat upaya untuk mengendalikan pencemaran udara,” jawabnya saat ditanya Konde.co dalam diskusi publik “Mengawal Pergub Udara Bersih Jakarta, Rabu (25/1/2023).

Ia kemudian menjelaskan, langkah taktis yang diambil Pemprov DKI pasca gugatan yakni dengan menerbitkan Instruksi Gubernur Nomor 66 tahun 2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara. Dalam Ingub itu tertuang 7 rencana aksi untuk mengendalikan pencemaran udara dengan mengawasi emisi sumber tidak bergerak, dan uji kendaraan bermotor, dan sumber emisi lainnya.

“Sampai saat ini upaya-upaya tetap kami lakukan. Termasuk soal pemantauan kualitas udara itu juga digugat ya, dari kolaborasi, kami akhirnya bisa mendapatkan tambahan 14 alat pemantau kualitas udara. Hasil datanya akan kami publish di website DLH,” imbuhnya.

Yusiono memaparkan, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga telah menyusun Strategi Pengendalian Pencemaran Udara Jakarta 2023-2030. Tiga strategi besar yang akan dijalankan yaitu peningkatan tata kelola pengendalian pencemaran udara, pengurangan emisi pencemar udara dari sumber bergerak, dan pengurangan emisi pencemar udara dari sumber tidak bergerak. 

Sementara itu, Presiden Joko Widodo dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya Bakar baru-baru ini kembali mengambil langkah hukum dengan mengajukan kasasi terhadap gugatan warga negara atas hak udara bersih.  

“Kami sudah melaksanakan semua yang diminta oleh pihak penggugat, tetapi yang sudah dilakukan belum dipertimbangkan dalam putusan, itu sebabnya kami mengambil langkah hukum kasasi tersebut,” jawab Sigit Reliantoro, Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, melalui dokumen tertulis pada Konde.co, Senin (30/1/2023). 

Di sisi lain, tindakan yang diambil Presiden dan KLHK dinilai koalisi masyarakat sipil sebagai tindakan pemerintah yang enggan untuk memedulikan kesehatan publik. 

“Kami dari koalisi melihat Presiden Jokowi dan Ibu Siti Nurbaya Bakar itu sangat serius dalam melawan warga negaranya sendiri,” ujar Jihan Fauziah Hamdi, kuasa hukum Tim Advokasi Gerakan Ibu Kota saat dihubungi Konde.co melalui telepon pada Rabu, 25 Januari 2023.

Menurutnya, pasca diputus bersalah, pemerintah seharusnya langsung fokus berbenah dan melakukan tanggung jawabnya dalam hal pemenuhan dan perlindungan lingkungan hidup, khususnya dalam hal ini polusi udara Jakarta. Meski menyayangkan pengajuan kasasi oleh pemerintah, Jihan mengaku tim kuasa hukum tetap akan segera merespons langkah hukum yang diambil Presiden dan Menteri KLHK.

“Kami punya batasan waktu 14 hari kalender untuk merespons melalui kontra memori kasasi dari argumentasi-argumentasi yang sudah disampaikan oleh Presiden dan KLHK melalui dokumen memori kasasinya,” imbuhnya.

Di samping itu, pemerintah telah melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, regulasi yang mengatur standar kualitas udara dengan mencabutnya lewat penerbitan regulasi baru, Peraturan Pemerintah Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Di aturan terbaru ini, pemerintah tidak menurunkan batas ambien tahunan PM2,5 sebesar 15 µg/m3. Batas tersebut tiga kali melebihi batas standar terbaru WHO sebesar 5µg/m3. “Sebelum mengadopsi nilai-nilai pedoman WHO sebagai standar, pemerintah harus mempertimbangkan kondisi lokal yang menjadi kekhasan bagi setiap negara,“ ujar Sigit.

Menurut peneliti Vital Strategies, Ginanjar Syuhada, pemerintah seharusnya menetapkan batas aman untuk kualitas udara. Namun, ia menjelaskan, standar WHO sebesar 5ug/m3 tidak serta-merta, melainkan dijalankan secara bertahap sesuai dengan target interimnya.  Jika mengacu WHO, penetapan batas ambien PM2,5 tahunan di Indonesia sudah selaras dengan batas di tingkat IT-3 (interim target 3). 

“Idealnya, Indonesia memang harus menetapkan batas minimal serendah mungkin untuk melindungi masyarakat dari berbagai dampak negatif polusi udara. Akan tetapi, penurunan ini harus bersifat realistis dengan mempertimbangkan berbagai hal yang terjadi di lapangan, sesuai dengan konteks lokalnya,” jawabnya melalui surel pada Konde.co, Kamis (5/1).

Marina Nasution, Abdus Somad dan Gloria Fransisca

Jurnalis yang berkolaborasi dalam meliput isu polusi udara Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!