Ada Predator Seksual di Pesantren, Ini Tak Bisa Dibiarkan

Kasus kekerasan seksual di pondok pesantren terus bermunculan. Sayangnya belum semua kasus tertangani.

Kamu pasti tahu, banyak sekali terungkap kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum kiai cabul ataupun jajaran pengelola lembaga pendidikan, baik lembaga formal maupun nonformal. Seperti pesantren, sekolah swasta ataupun boarding school lainnya. Mirisnya korban adalah santri atau siswa yang sedang mondok.  

Seharusnya seorang santri mendapatkan ruang aman dan fasilitas keagamaan yang baik di pesantren. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Ia mendapat perlakuan yang tidak wajar dan mengerikan. 

Sedikit demi sedikit kasus kekerasan seksual di pesantren mulai terkuak, mulai dari pesantren yang ada di Bandung yang mana pimpinan pondok pesantrennya, Herry Wirawan terbukti melakukan pemerkosaan sampai korban hamil hingga pesantren di Jombang, yang mana anak pemilik pesantrennya MSAT alias GB diduga melakukan kekerasan seksual pada santrinya. Seharusnya dengan kejadian tersebut menjadikan oknum kiai cabul atau jajaran pelaku yang belum tertangkap ini ketar-ketir.

Tetapi ternyata tidak. Setelah kasus kekerasan seksual meredam di berbagai portal media, terdapat salah satu pondok pesantren yang kiai atau salah satu pengelolanya diduga melakukan hal yang tidak senonoh kepada santriwatinya. Mirisnya kasus ini tidak terdengar oleh siapapun karena hanya internal pesantren saja yang mengetahui hal ini. Kiai tersebut diduga melakukan percobaan pemerkosaan. Kejadian tersebut diperkirakan berlangsung dini hari sebelum sholat subuh.

Mengapa Terus Berulang?

Dari kejadian yang terus berulang itu, menjadikan saya berpikir apakah pembelajaran pelaku “kiai” mengenai Islam hanya sampai permukaan? Padahal dalam Islam perempuan begitu tingginya dimuliakan, namun mengapa seorang pemuka agama malah melakukan hal yang jelas-jelas cabul? 

Mungkin perspektifnya terkait gender secara Islam sangat dangkal, memosisikan perempuan hanya sebagai objek, yang mana masyarakat zaman dulu sesukanya menyetubuhi perempuan, baik disetubuhi oleh ayahnya, saudara laki-lakinya bahkan perempuan dianggap sebagai harta yang bisa ditukar dengan barang ataupun untuk pelunasan utang. 

Namun dalam Al-Quran sudah dijelaskan bahwa perempuan itu juga manusia sehingga harus diperlakukan secara manusiawi. Bukan malah sebaliknya, digunakan sebagai alat pemuas.

Terlepas dari peristiwa tersebut, terdapat hambatan dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lembaga agama ataupun pendidikan. Hal itu tidak terlepas dari doktrin agama yang tidak dipahami secara utuh.

Terdapat sabda Nabi yang artinya “Tidak termasuk golongan kami orang yang tidak menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda serta yang tidak mengerti hak ulama” (HR. Ahmad dan disahihkan Al Albani dalam Shahih Al Jami). Diartikan sebagai “kepatuhan total” atau bentuk taat kepada sosok guru atau kiai. Dengan adanya dalil yang tidak dipahami secara utuh, bisa dimungkinkan santri akan menuruti apapun yang diminta oleh kiainya. Penafsiran yang salah itu kemudian menjadikan santri patuh dan taat pada sosok kiai yang lebih superior, mempunyai kapasitas lebih, sekaligus kuasa. 

Pesantren juga kerap memarginalkan konteks dimana teks-teks Islam itu lahir. Contohnya perempuan tidak boleh menjadi pemimpin, padahal sebenarnya malah sebaliknya boleh jika ia mampu. Atau misalnya banyak kiai yang meminta santrinya buru-buru menikah, dengan alibi untuk menghindari zina karena buat sebagian dari mereka, menikah sama dengan upaya melegalkan seks. Celakanya lagi, di pesantren, fikih Islam juga kerap dipahami secara tekstual semata. 

Kecenderungan korban yang tidak berani melapor bisa dikarenakan tidak memiliki aspek pendidikan yang mumpuni, latar belakang sosial korban yang berasal dari kalangan awam dan tidak akan berani menghadapi ancaman yang diberikan pelaku.

Jika ditelisik lebih jauh, pesantren sendiri tidak ada sosialisasi mengenai penanganan kasus kekerasan seksual. Tetapi untuk kasus ini saya dan komunitas, pernah ingin memberikan sosialisasi tentang consent dan penanganan kasus kekerasan seksual di beberapa pesantren namun tidak mendapat akses atau izin dari pengurusnya. Hal ini yang menjadi kekhawatiran kita semua untuk memilih dan memilah.

Memang dari peristiwa yang sudah terjadi, sebaiknya jika hendak memasukkan anak di pesantren ditelisik dahulu. Bagaimana track record pengajar? Apakah ideologi yang ditanamkan baik atau tidak? Apakah lingkungan pesantren baik untuk perkembangan anak atau tidak? Terlepas dari semua itu masih terdapat pesantren-pesantren yang menjadi ruang aman sekaligus menunjang pembelajaran yang bagus.

Ravika Alvin Puspitasari

Kesibukan sehari-hari kuliah daring dan mengikuti berbagai diskusi online. Selain itu aktif menulis di Lembaga Institute For Javanese Islam Research. Tertarik dengan isu-isu gender yang sedang berkembang saat ini
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!