Bicara Soal Consent: Niatnya Flexing Foto, Ujungnya Jadi Pelaku KBGO

Tahukah kamu, jika kamu mau memposting sesuatu seperti posting tubuh orang lain, kamu butuh persetujuan atau consent. Jangan niatnya pamer foto di media sosial, tapi ujungnya malah melakukan kekerasan online.

Ada orang yang senang mempublikasikan apa yang ia lihat, seperti pemandangan atau figura di dalam museum. Ada yang senang mempublikasikan apa yang ia miliki, seperti wajah atau mobil barunya. Ada juga yang senang mempublikasikan apa yang ia kerjakan atau hasil karyanya, seperti lukisan atau karya jurnalistik. 

Tidak ada yang salah dengan itu. Toh, media sosial memang jadi wadah menampilkan teks, visual, dan atau audio. 

Menunjukkan apa yang sudah kita lakukan, entah untuk keperluan personal ataupun profesional itu sah-sah saja. Namun, ini akan menjadi masalah jika apa yang dipublikasikan menyangkut kepemilikan atau ketubuhan orang lain karena ketubuhan selalu punya consent-nya sendiri atau persetujuan.

Pemahaman terkait consent tidak semudah seperti ketika kita melakukan komunikasi verbal, seperti kita jawab “Iya, mau” atau “Tidak mau”. 

Consent atau persetujuan perlu memenuhi keseluruhan karakteristik FRIES: Freely given (diberikan sukarela), Reversible (bisa ditarik kembali), Informed (dipahami kedua pihak), Enthusiastic (dengan antusias), dan Specific (spesifik pada suatu waktu).

Sumber: Planned Parenthood

“Tidak” berarti “tidak”

Berbagai tontonan dalam media massa selama ini telah mengglorifikasi dan meromantisasi hubungan yang tidak konsensual. Bahwa laki-laki seolah punya kewenangan atas tubuh dan seksualitas perempuan. 

Bukan “yakini aku”. Bukan juga “…barangkali?.” Ini yang menyebabkan definisi kekerasan seksual jadi begitu buram. Naasnya, semakin disuramkan lewat tontonan yang menggambarkan kekerasan sebagai sesuatu yang seksi. Paparan ini mengonstruksikan realitas soal kekerasan seksual yang berpengaruh pada sensitivitas seseorang terhadap kejadian di sekitarnya.

“Tidak” tidak melulu dikomunikasikan secara verbal. “Tidak” bisa juga tergambar lewat gestur nonverbal yang menunjukkan seseorang tidak nyaman. Gerakan tubuh itu dapat berupa bersikap ragu, kurang antusias, berpaling, menjauh, atau bergeming. 

Sama halnya dengan bergeming, memanfaatkan keadaan saat seseorang tertidur, tidak sadarkan diri, dan di bawah pengaruh alkohol atau narkotika juga termasuk sebagai perbuatan tanpa consent dari pihak kedua.

“Iya” yang kadang terbelenggu

Bicara soal kebebasan, terkadang respon kita terpengaruh dengan pandangan kita soal lawan bicara. Dari budaya patriarki, kita menginternalisasi suatu paham bahwa laki-laki diyakini oleh banyak orang lebih pintar secara kognitif sehingga dapat berpikir lebih rasional daripada perempuan. 

Lainnya, perihal umur, kita tumbuh di tengah budaya yang menggeneralisasi bahwa orang yang lebih tualah yang lebih berpendidikan dan berpengalaman sehingga mereka seperti ditokohkan dan dianggap lebih paham soal sejatinya kebenaran serta kebijaksanaan. Tidak jarang argumentasi dihadang dengan ucapan “Kamu masih muda tau apa, sih?”. 

Selain itu, berbagai tekanan, paksaan, ancaman, atau manipulasi (koersi) juga bisa memengaruhi respons seseorang dalam memberikan consent atau persetujuan. 

Kelompok marjinal, misalnya, rentan untuk menerima koersi. Koersi yaitu akomodasi yang prosesnya dilaksanakan dengan menggunakan tekanan sehingga salah satu pihak yang berinteraksi berada dalam keadaan lemah dibandingkan dengan pihak lawan. Ini terjadi ketika orang yang berkuasa secara finansial atau sosial memanfaatkan kondisi mereka untuk memperoleh keuntungan. Misalnya, seorang dosen yang melakukan pemerasan seksual (sextortion) kepada mahasiswa/i yang butuh lulus. Dosen itu “berkuasa” dalam jenjang pendidikan mahasiswa/i tersebut yang nantinya berpengaruh juga kepada jenjang kariernya ke depan.

Walau “iya” berujung terucap secara verbal, apakah kebebasan itu benar adanya? Atau pengucap hanya setuju agar koersi tidak lagi terjadi?

“Iya” lekang oleh waktu–bisa kedaluwarsa atau binasa

“Iya” satu kali bukan “iya” selamanya. “Iya” pada 1995, misalnya, bukan berarti “iya” pada 2023. “Iya” pun bisa dicabut menjadi “tidak” jika pengucap berubah pikiran, pun satu detik setelahnya. Consent juga tidak permanen. Consent diberikan pada suatu momen spesifik dan hanya berlaku di saat itu saja. Suatu studi kualitatif (2021) menemukan ada konseptualisasi tentang consent oleh orang muda yang buram, yaitu gesture nonverbal (vibes), komunikasi verbal sebelumnya, dan pengalaman dengan pihak kedua di waktu lalu.

Bicara soal kejadian akhir-akhir ini, yang terlupakan oleh pelaku yang mengunggah liputan pekerja seks anak di media sosial puluhan tahun lalu adalah perbuatannya termasuk dalam kategori distribusi berbahaya (malicious distribution). 

Menurut Violence against Women Learning Network yang dikutip dalam Catatan Tahunan Perempuan 2019 yang dikeluarkan Komnas Perempuan, malicious distribution adalah penggunaan teknologi untuk menyebarkan konten-konten yang merusak reputasi korban atau organisasi pembela hak-hak perempuan terlepas dari kebenarannya. Sebuah kekerasan berbasis gender online (KBGO)!

Berbagai negara membuat aturan terkait age of consent dalam konteks seksual karena kenyataan bahwa orang di bawah umur belum dapat berpikir secara rasional dan memahami konsekuensi akan keputusan atau perbuatannya. Anak belum mampu mempertanggungjawabkan consent yang ia berikan, terlebih kepada orang dewasa yang punya kuasa. 

Penggambaran realitas soal pekerja seks anak tidak harus lewat visual secara terbuka. Banyaknya orang yang membela pelaku alih-alih “seni” dan “karya jurnalistik yang menggambarkan realitas” hanya menunjukkan ekosistem tidak sehat di sekitar kita yang masih mengglorifikasi kekerasan dan mengobjektifikasi kelompok marjinal, juga (ironisnya) yang di bawah umur.

Seharusnya, pelaku yang melakukan malicious distribution lebih mementingkan apa dampak dari perbuatannya, ketimbang mencari cara untuk menjadi benar di depan dunia. “Impact over intent. Potret soal pekerja seks, baik perempuan di bawah umur maupun dewasa, sering kali digambarkan dalam media sebatas sebagai subjek pelaku. 

Yang sering terabaikan adalah kenyataan bahwa pekerja seks termasuk dalam kategori kelompok marjinal. Mereka rentan menerima penyakit menular seksual (PMS) dan mengalami kekerasan seksual serta eksploitasi oleh orang-orang di sekitarnya, termasuk aparat penegak hukum. Mereka juga tidak mendapatkan akses pendidikan dan kesehatan layaknya penduduk lain karena label negatif terkait pekerjaannya. Mereka belum mendapatkan keadilan, isu terkait eksploitasi seksual masih terabaikan negara. Misalnya, adanya celah dalam aturan legislatif–termasuk belum berjalannya program National Plan of Action (NPA) secara efektif di Indonesia, budaya korupsi yang menyebar luas, dan aparat penegak hukum yang belum kooperatif.

Seorang dosen di Universitas Prasetiya Mulya, Kartika Paramita, menulis dalam The conversation bahwa konsep consent secara umum dapat diartikan sebagai pemberian persetujuan yang tak bisa dipaksakan. Sebagai contoh, jika kamu meminta izin untuk meminjam buku milik orang lain dan mereka menyetujui, kamu bisa membawa pulang buku tersebut sehingga terjadi hubungan pinjam-meminjam. Namun, apabila orang tersebut tidak menyetujui dan kamu tetap nekat mengambilnya, kamu dianggap telah melakukan pencurian. Namun, consent hanya dapat diberikan oleh seseorang yang dinyatakan sudah dewasa dan punya kapabilitas. Consent tidak menghalalkan tindakan apa pun yang melanggar hukum dan hanya dapat diberikan jika seseorang benar-benar memahami berbagai risiko dari situasi yang sedang dihadapinya.

Seandainya orang lebih ingin memahami konsep terkait consent. Tidak menjulurkan lidah lalu membuang muka atas kekerasan yang telah dilakukan dirinya atau sekitarnya. Mengakui bahwa ketimpangan kuasa itu benar ada. Mengakui bahwa kelompok marjinal sering menjadi korban. Mengakui bahwa aturan terkait consent belum sepenuhnya ditegakkan oleh negara.

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!