Catcalling, Baju dan Budaya Patriarki: 3 Penghambat Karier Perempuan Pegiat Konservasi Alam

Keterlibatan dan kepemimpinan perempuan di sektor konservasi masih kurang karena berbagai hambatan. Perubahan organisasi dipandang penting selain solidaritas antarperempuan.

Artikel ini terbit untuk memperingati Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2023.

Sektor konservasi alam masih belum inklusif kepada perempuan. Hal ini menghambat upaya mengatasi perubahan iklim dan penurunan biodiversitas (keanekaragaman hayati).

Padahal, keterlibatan perempuan terbukti penting untuk memperkuat program pelestarian alam yang berkelanjutan.

Sebagai peneliti yang terlibat dalam beberapa lembaga konservasi di Indonesia, saya melihat keterlibatan maupun kepemimpinan perempuan masih kurang karena berbagai hambatan.

Para pengambil kebijakan perlu menyadari hambatan ini serta mengatasinya untuk meningkatkan partisipasi dan kepemimpinan perempuan dalam konservasi biodiversitas.

Tiga Penghambat Partisipasi Perempuan

Saya mengamati ada tiga hambatan perempuan untuk bergiat di sektor konservasi, mulai dari stigma, keamanan dalam bekerja, hingga kebijakan organisasi.

Hambatan pertama adalah adanya anggapan perempuan tidak cocok memiliki pekerjaan dengan aktivitas yang berat seperti di konservasi yang membutuhkan penelitian lapangan.

Pandangan yang beredar di masyarakat kita cenderung ‘memagari’ perempuan dalam bingkai pernikahan semata, di mana berkeluarga seolah-olah menjadi satu-satunya tujuan hidup.

Kalaupun bekerja, perempuan diharapkan berkegiatan yang membuatnya selalu di dalam ruangan. Ketika ingin beraktivitas di lapangan, perempuan kerap menghadapi hambatan struktural, misalnya: pengasuhan anak dan pengelolaan rumah tangga yang lebih dibebankan kepada perempuan. Akhirnya, perempuan pun ‘terpaksa’ memilih pekerjaan kantoran.

Anggapan dan ekspektasi sosial ini menyebabkan perempuan sulit membangun karier di bidang konservasi.

Perempuan menjadi salah satu kelompok dengan risiko stres yang tinggi di sektor konservasi. Perempuan lebih rentan tertekan secara mental akibat pertanyaan-pertanyaan yang menghakimi terkait status pernikahan dan berkeluarga, serta hal lain yang mungkin tidak sesuai dengan anggapan sosial.

Saya pun sering dicecar pertanyaan kenapa belum menikah.

Pertanyaan ini, sayangnya, kerap diajukan bukan untuk memahami pilihan saya, melainkan untuk menyalahkan keinginan saya bekerja di hutan untuk kegiatan konservasi. Saya dianggap tidak sukses karena belum menjadi pegawai negeri sipil, dan disarankan mengambil pekerjaan ‘feminin’ – misalnya di bank.

Hambatan kedua adalah risiko pelecehan seksual.

Keamanan pribadi menjadi perhatian utama bagi perempuan, apalagi ketika masyarakat kerap meminimalkan bahkan menormalkan pelecehan seksual.

Pekerjaan di sektor konservasi kerap mengharuskan pegiatnya untuk berkemah di hutan atau tinggal di tempat terpencil selama berpekan-pekan bahkan berbulan-bulan. Situasi ini membuat perempuan lebih rentan mengalami pelecehan seksual.

Pernah terjadi, saat saya berdua saja di mobil dengan supir setelah melakukan survei, pengemudi tersebut bertanya, “Mbak, tadi malam tidak pakai bra ya?”.

Saya tertegun. Rasa marah dan takut bercampur aduk. Saya merasa takut karena saat itu kami sedang melalui jalanan di tengah pegunungan.

Tak jarang beberapa orang mencoba menjodohkan saya dengan laki-laki lajang hingga yang sudah beristri.

Godaan (catcalling) maupun candaan yang bernada pelecehan juga menjadi makanan saya sehari-hari di lapangan.

Masalah yang saya alami merupakan gunung es dari kerentanan perempuan di sektor konservasi. Sebab, saya juga mendengar cerita senada dari kolega perempuan lainnya.

Tidak adanya ruang aman dan masih kentalnya budaya patriarki di struktur sosial, berisiko mengikis motivasi perempuan untuk terus berkarier di bidang konservasi.

Beberapa lembaga konservasi di Indonesia sudah memiliki kebijakan safeguard yang melek gender. Upaya perumusan strategi konservasi juga mulai inklusif terhadap perempuan seiring meningkatnya kesadaran gender. Walau demikian, kebijakan yang sama justru jarang terdengar untuk praktisi dan peneliti (staf) di internal lembaga konservasi.

Hambatan ketiga adalah kebijakan organisasi yang membatasi keterlibatan perempuan.

Di Indonesia, masih ada sejumlah organisasi yang menerapkan syarat gender tertentu yang menghalangi perempuan mengambil pekerjaan lapangan. Ini terjadi secara formal di lowongan pekerjaan yang mengutamakan laki-laki, maupun secara informal menugaskan perempuan di bagian administrasi dan laki-laki di lapangan.

Sekalipun bekerja di suatu lembaga konservasi, saya terkadang dianggap sebagai notulen semata dibandingkan peneliti utama dan pemimpin organisasi. Ada juga perempuan-perempuan lainnya yang diharapkan membuat kopi atau menyiapkan makanan di saat laki-laki yang dianggap lebih tahu berdiskusi mengenai isu-isu keanekaragaman hayati.

Pembatasan tersebut menjadi salah satu sebab mengapa sektor konservasi masih didominasi laki-laki.

Kondisi itu turut tercermin mulai dari jumlah peserta laki-laki di ruangan pertemuan, panel pembicara seminar (perempuan menjadi pembawa acara atau moderator), hingga di manajemen organisasi level atas yang sebagian besar diisi oleh laki-laki.

Dengan posisi dan tanggung jawab yang sama, laki-laki dapat dibayar lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki pun lebih sering diberikan posisi kepemimpinan daripada perempuan dengan kualifikasi yang sama.

Perubahan Organisasi dan Solidaritas Perempuan

Sektor konservasi perlu berubah untuk menciptakan lingkungan yang aman dan inklusif bagi perempuan. Kerentanan dan hambatan tidak seharusnya membenarkan rendahnya keterlibatan perempuan. Ini bukan masalah yang hanya diatasi oleh perempuan, melainkan pekerjaan bersama.

Pemahaman dan validasi tantangan yang dihadapi oleh perempuan di tingkat organisasi penting untuk menjadi langkah awal pembenahan.

Untuk membangun lingkungan yang inklusif, lembaga konservasi dapat mewajibkan pelatihan bias gender terhadap pekerja di konservasi, menghilangkan syarat spesifik gender dalam lowongan pekerjaan, serta mengembangkan protokol keamanan dan perlindungan staf perempuan (termasuk mekanisme khusus menangani pelecehan seksual).

Langkah lainnya adalah penyediaan infrastruktur yang dibutuhkan pekerja perempuan yang memiliki anak: ruang menyusui, tempat bermain anak, dan lainnya.

Para perempuan pun bisa melawan tantangan ini dengan bersolidaritas.

Studi terbaru saya menjabarkan bahwa solidaritas antarperempuan dapat efektif meningkatkan keterlibatan perempuan di sektor konservasi. Upaya pendampingan langsung melalui skema mentorship (bimbingan) antarperempuan dapat menjadi pelecut semangat kaum hawa untuk bergelut dalam pelestarian keanekaragaman hayati.

Mentorship dapat memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan oleh praktisi pemula dalam mengatasi tantangan dan anggapan sosial yang sering dihadapi perempuan. Skema ini juga menyediakan langkah untuk membangun karier, meningkatkan kompetensi teknis, membangun jejaring, dan menjadikan pegiat ataupun peneliti konservasi lebih bersaing.

Akses internet dan penggunaan media sosial bisa menjadi sarana pendukung dengan meningkatkan visibilitas pencapaian perempuan.

Menyaksikan perempuan dapat menjadi pemimpin, menyadari perempuan memiliki ragam pilihan karier, bahkan sesederhana perempuan bisa ke hutan, bisa memotivasi perempuan generasi berikutnya untuk berani mengikuti langkah serupa.

Tengok saja Farwiza Farhan, pemimpin Yayasan Hutan, Alam, dan Lingkungan Aceh (HAkA) yang masuk tokoh global berpengaruh versi TIME 100; Asnim Alyoihana Lanusi, Direktur PROGRES –- organisasi lokal untuk perlindungan satwa Sulawesi; Marsya Christyanti Sibarani, Ketua Tambora Muda – jejaring pemuda pegiat konservasi Indonesia. Ada juga rentetan perempuan inspiratif lainnya yang tergabung di Women’s Earth Alliance.

Peningkatan keterlibatan dan kepemimpinan perempuan di konservasi akan memicu dan mendorong pendekatan konservasi yang juga inklusif dan menyeluruh.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Sheherazade

PhD student | Conservation scientist, University of California, Berkeley
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!