Cintaku Pada Matias: Love Yang Tak Pernah Mati

Aku tidak pernah bisa melupakan kenangan yang terjadi pada kemarin malam. Anakku, Matias mencoba jujur dengan pilihan hidupnya. Sejak itu, hidupku seperti roller coaster, naik turun.

Suara tukang sayur yang mendorong gerobaknya menjauh dari rumahku, diiringi dengan gumaman para tetangga yang semakin mengecil, bubar menuju dapurnya masing-masing. 

Aku masih menggenggam uang seratus ribuan dan duduk di kursi tamu, seyogyanya aku juga sudah menenteng belanjaan dan mungkin kembalian seribu dua ribu, tapi aku masih terdiam di tempat yang sama selama satu jam. 

Selepas subuh tadi aku melakukan hal seperti biasa, membasuh wajah, sikat gigi, dan membuka pintu belakang, membiarkan kucing-kucing masuk ke dalam untuk sekadar berguling-guling di ruang tengah. Seingatku aku juga sempat mencuci piring. Dan saat jam menunjukkan pukul setengah enam aku bersiap membuka pintu depan, menunggu tukang sayur. Namun, ingatan akan kejadian semalam membuat dadaku tiba-tiba nyeri, seperti ditusuk parang tajam, dan aku duduk di kursi, tidak bergerak.

“Ma,” suara Matias, anakku, menyadarkanku dari kekosongan panjang. Ia berjongkok di sebelahku dengan handuk di bahunya, bersiap untuk mandi. Aku menatap wajahnya dan rasa asing menyeruak di dalam tubuhku. Benarkah ini anakku? Benarkah ini Matias Yusuf yang aku lahirkan dua puluh tiga tahun yang lalu? Yang dengan sukacita aku sambut kehadirannya meski saat itu kami berada dalam kemiskinan luar biasa, tapi aku dan Papanya selalu menganggapnya sebagai anak penuh keberkahan bagi kami.

“Ma, kenapa?” tanyanya lagi dengan wajah khawatir. 

“Tidak, tidak apa. Mama hanya sakit sedikit.” jawabku terbata dan parau. 

“Mama tidak belanja?” tanya Matias melihat uang yang masih kugenggam dan sekarang sudah lusuh kena keringat.

“Ah, iya, Mama lupa.” 

Matias terdiam dan kemudian menunduk. Instingku refleks mengelus kepalanya. Dan saat kulitku menyentuh rambutnya aku seperti tersadarkan kembali, ini Matias anakku, anak kebanggaanku, darah dagingku, yang aku rela mati berkali-kali jika itu mampu membuatnya hidup terus. Air mataku tumpah tanpa suara. Matias memelukku dan ikut menangis, berkali-kali ia meminta maaf tapi aku tidak mampu menjawab apapun, aku tidak tahu harus mengatakan apa. Perasaanku begitu kompleks tapi hanya satu yang aku kenali, rasa sayangku pada anakku. Aku menguatkan diriku dan menyuruhnya mandi serta bersiap untuk bekerja. Tanpa menjawab panjang ia menurutiku. 

Pukul delapan ia sudah berangkat kerja. Tidak ada yang berubah, ia mencium tanganku dan mencium foto almarhum papanya dan berangkat mengendarai motor milik Papanya. Ah motor itu, berkali-kali aku menyarankan untuk membeli baru saja, tapi Matias menolak, ia ingin tetap menggunakan motor papanya karena ia merasa dengan itu ia seperti diantar dan dijemput oleh papanya setiap ia beraktifitas. Begitu cintanya anak ku pada orangtuanya, mungkin melebihi cinta kami padanya. 

Aku kembali duduk ke kursi tamu depan, mencoba menghirup oksigen yang diberikan tanaman-tanaman di kebun kecil kami dan sesekali mendengar tetangga lalu lalang. Hembusan angin hangat membuat mataku terkatup sedikit dan seketika ingatanku kembali ke malam tadi. 

Selesai makan malam adalah ritual kami untuk mengobrol, tentang apa saja, dan aku melihat wajah Matias tegang sedari beberapa minggu lalu sehingga aku menyarankan untuk nonton acara TV yang lucu saja kalau memang ia tidak nyaman untuk mengobrol tapi ia mengatakan ingin menyampaikan sesuatu yang sangat penting. Aku tidak punya bayangan apapun tentang apa yang ingin ia sampaikan. Sejujurnya aku tidak pernah khawatir dengan Matias, ya saat Ia kecil pasti aku khawatir, tapi semenjak Ia SMA, Ia selalu menunjukkan kemandirian dalam bertindak dan berpikir, ia pun anak yang disiplin dan santun, sehingga aku selalu percaya apapun masalahnya ia pasti akan bisa menyelesaikannya dengan baik sesuai caranya. 

Dan jika Ia membutuhkan orangtuanya, kami akan selalu ada untuknya. Itu saja. Namun, yang disampaikan Matias ternyata sesuatu yang sama sekali tidak aku duga dan aku tidak tahu harus bereaksi bagaimana. 

Matias mengatakan bahwa Ia akan mengganti identitasnya menjadi perempuan. Aku sangat kaget. Aku bertanya dengan hati-hati apa yang membuatnya memutuskan itu dan apakah ia sudah memikirkan matang-matang termasuk dengan tanggapan dan penerimaan orang-orang nanti. Jawabannya sungguh membuatku shock, Ia ternyata merasa dirinya adalah seorang perempuan sejak usia 9 tahun dan Ia berada dalam kebingungan yang cukup panjang mengenai perasaan aneh dalam dirinya itu. Sampai Ia akhirnya menyadari sekitar lima tahun yang lalu bahwa Ia adalah seorang transpuan. 

Selama ini Ia hidup dalam dua identitas dan ia merasa sangat tersiksa dengan itu. Ia tidak bisa menjadi dirinya sendiri dan batinnya sangat tertekan. Beberapa rekannya sudah tahu bahwa Ia seorang transpuan dan menerimanya, lainnya tidak. Ia juga berulang kali mengalami perundungan di kampus dan tempat kerjanya tapi ia mati-matian menyembunyikannya dariku atau Papanya. 

Matias menangis dan Ia meminta maaf berulang kali sudah membohongi aku dan Papanya. Aku bertanya apakah mungkin ada trauma yang ia alami atau aku dan Papanya melakukan hal yang salah dan Ia dengan tegas menjawab tidak. Ia mengatakan bahwa Ia adalah anak paling bahagia dan paling beruntung karena Ia memiliki orangtua seperti aku. Itu sebabnya Ia tidak mau menyampaikan soal ini pada kami selama bertahun-tahun karena takut orangtuanya sedih dan ia takut kehilangan orangtuanya. 

Aku tidak sanggup mengatakan apapun dan air mataku tidak berhenti mengalir. Saat itu aku tidak tahu pasti kenapa aku menangis, tapi setelah renungan panjang semalaman aku sadar kenapa aku begitu bersedih.

Suara ketukan pintu membangunkanku. Rupanya aku tertidur di kursi tamu sampai sore. Mungkin ini karena aku hanya tidur selama 10 menit tadi malam. Matias bersimpuh di depanku dengan wajah memerah karena khawatir. Aku bertanya kenapa Ia sudah pulang jam segini dan ia menjawab Ia tidak tenang bekerja karena khawatir denganku. 

Aku mengelus wajahnya dan kembali menangis. Ia memelukku dan tidak berhenti mengucapkan maaf.

“Ma, maafkan aku. Aku tarik semua ucapanku semalam, maafkan aku. Jangan menangis Ma, jangan benci aku,” katanya sesunggukan seperti anak kecil.

“Tidak, Nak, tidak.” aku melihat wajahnya yang begitu sengsara. “Mama menangis karena Mama begitu sedih dan kecewa dengan diri Mama sendiri, bagaimana Mama luput melihat bahwa anak Mama berada dalam tekanan batin dan ketidaknyamanan begitu lama. Kenapa Mama begitu abai dengan kondisimu.”

“Ma, Mama tidak salah. Aku memang sengaja menyembunyikannya, bukan salah Mama ataupun salah Papa. Tidak ada yang salah, Ma.”

“Maafkan Mama, Nak, sudah membuatmu menderita sendirian. Duh Gusti Allah ampuni aku. Maafkan Mama Nak, kalau Mama sadar lebih cepat tentu kamu tidak harus melewati sekian lama berada dalam kondisi tertekan begitu dan kamu tidak akan melewati semua itu sendirian.” aku menatap anakku dengan penuh kasih sayang dan melihat foto Papanya yang tersenyum. “Nak, sekarang kamu tidak akan pernah melewati itu sendirian. Mama mungkin belum paham tentang ini, tapi Mama berjanji akan mencoba memahaminya. Ajarkan Mama ya Nak, agar Mama bisa mendukungmu mulai sekarang dan bersabarlah selama waktu kita beradaptasi dengan perubahanmu. Bolehkah?”

Matias menangis lebih keras. Ia terus menerus memanggil namaku dan Papanya, ia meraih foto Papanya dan memeluknya sambil menciuminya. 

“Terima kasih, Ma. Aku tidak tahu apa yang aku bisa balas untuk kedua orangtuaku, tapi aku yakin semua berkah Tuhan akan turun kepada Mama dan Papa. Terima kasih sudah mendukungku, terima kasih sudah bersedia bersamaku, terima kasih karena tidak membenciku” tangisnya tiada henti. 

Ah Tuhan, bagaimana bisa aku membenci anakku sendiri? Untukku, apalah artinya Ia jadi laki-laki atau perempuan, Ia tetap anakku, yang berada dalam tubuhku selama nyaris sepuluh bulan, yang aku cintai setiap detiknya. Semua kasih tidak akan bisa terhapus hanya karena ia merubah identitasnya. Tidak akan pernah.

Tiga tahun kemudian

Aku menemani anakku, Matias datang ke sidang pengadilan. Setelah hakim mengeluarkan putusannya, sekarang Ia resmi menjadi seorang perempuan. 

Bersamaku adalah teman-teman anakku yang sekarang sudah seperti anak-anakku sendiri, mereka hampir tiap hari datang ke rumah bahkan ada yang selalu memasak di rumah dan memaksaku untuk tiduran atau jalan-jalan, biar Mama bersenang-senang saja katanya. 

Dalam tiga tahun aku mendapat tambahan sepuluh orang anak, yang semuanya dibuang oleh keluarganya karena mengubah identitasnya, anak-anak yang sangat merindukan kasih sayang seorang ibu, anak-anak yang meski sudah berusia dewasa tapi begitu membutuhkan sayap untuk bernaung atau sekadar berbagi rasa dan tangis dengan orangtua. 

“Ma, terima kasih sudah mendukungku!” kata Matias, ah tidak, sekarang namanya menjadi Tias, Tias Yosefina, sambil memelukku dengan begitu erat. 

“Hidupku makin bahagia berkat Mama.”

Aku menatap anakku, kesayanganku dan kemudian menatap anak-anakku yang lain, yang tersenyum lebar penuh bahagia. “Dan Mama semakin bahagia karena kalian semua.” 

Lalu kami berpelukan sambil tertawa, diiringi senyum dari para petugas di sana dan sejumlah mata yang keheranan.. 

Miranti Olivia

Co founder Safe Circle Community (kelompok pemberdaya), pegiat isu gender dan kelompok minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!