Jadi Jurnalis Itu Menyenangkan, Tapi Banyak Persoalan: Susah Cuti Haid

Jadi jurnalis itu menyenangkan, bisa dapat pengalaman baru dan bertemu orang-orang. Namun riset AJI membuktikan, jadi jurnalis perempuan itu punya banyak persoalan.

Saya masih ingat, kalimat ini yang saya tuangkan ke dalam poster aksi Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 2020 lalu:

“Cuti haid apa bayar pajak?”

“Cuma bisa ambil cuti haid setahun sekali” 

Aksi itu kami buat sesaat sebelum pandemi menjadi begitu genting. Saya bersama teman-teman Aliansi Jurnalis Independen (AJI) memang menyerukan tuntutan-tuntutan jurnalis perempuan di media: cuti haid menjadi masalah bersama yang kami rasakan.  

Poster itu, seperti jadi uneg-uneg kondisi yang saya alami sendiri sebagai jurnalis lapangan yang kala itu bekerja di sebuah media mainstream di Indonesia. Pernah ada dalam masa satu tahun, saya hanya mengambil satu kali cuti haid. 

Meskipun dalam aturan ketenagakerjaan, hak cuti haid bagi perempuan diatur. Namun, saat itu tak ada sosialisasi yang cukup dari pihak perusahaan media. Sebagai jurnalis baru di desk media yang meliput lapangan, saya saat itu mengikuti saja bagaimana situasi yang ada: rekan jurnalis perempuan saya sepertinya juga sangat jarang yang mengajukan cuti haid.

Pernah suatu hari, saya sedang merasa sangat nyeri dengan haid yang saya alami. Saya kemudian berinisiatif mengajukan cuti haid saya, namun redaktur menolaknya. Dia menyuruh saya tetap pergi meliput ke lapangan, hanya setengah hari katanya. Namun nyatanya, saya harus meliput sepanjang hari karena penugasan tambahan. 

“Ini menarik nih, kamu sekalian liputan ini ya,” ujar Redaktur laki-laki saya waktu itu, yang menerangkan sederet pertanyaan tambahan yang harus saya kejar ke narasumber.  

Di lain kesempatan, saya juga pernah mengajukan lagi cuti haid ke redaktur. Tapi bukannya saya mendapat libur, malah disuruh tetap bekerja dari rumah. 

“Ya udah gak usah ke lapangan, tapi tetap ngerjain tulisan ini dan ini dari rumah ya,” katanya saat itu. 

Beberapa tahun kemudian, nyatanya situasi jurnalis perempuan di media masih belum banyak berubah. 

Belum lama ini, saya mendapati cerita teman jurnalis perempuan saya yang mengaku dalam beberapa tahun dirinya bekerja, sama sekali belum pernah mengambil cuti termasuk cuti haid. 

“Gimana mau libur, tugas-tugas keredaksian aja suka kewalahan karena gak ada orang,” katanya yang mayoritas isi keredaksiannya hanya dia editor perempuan. 

Sama seperti halnya saya ketika itu, salah seorang teman saya ini, bilang bahwa masih ada ‘keengganan’ di kalangan jurnalis perempuan untuk mengajukan cuti haid di kantor medianya. 

Mulai dari stigmatisasi dianggap “manja” dan “lebay” jika mengajukan libur saat sedang cuti. Ada juga yang “nggak enak” karena teman-teman jurnalis perempuan lainnya tidak ada yang mengajukan dan alasan-alasan lainnya yang mengarah pada kebijakan redaksi tidak ramah gender. 

Apa yang pernah saya dan teman saya alami soal cuti haid ini, nyatanya terjadi pada banyak jurnalis perempuan lain di Indonesia. 

Riset AJI Indonesia dan PR2Media pada Juni 2022 ini, menemukan masih adanya diskriminasi gender di ruang redaksi. Salah satu isu krusialnya, hak cuti haid yang ‘sulit’ dan atau ‘tidak didapatkan’ oleh jurnalis perempuan. 

“Sebesar 67,9% jurnalis perempuan mengatakan bahwa tempat mereka bekerja tidak memberikan cuti haid,” ujar Koordinator Divisi Gender, Anak dan Kelompok Marginal, AJI Indonesia, Nani Afrida dalam rilis laporan Situasi Keamanan Jurnalis Indonesia 2022 yang diikuti Konde.co, Senin (16/1/2023). 

Dalam survei ini, Nani menambahkan, sebesar 11,6% jurnalis perempuan juga mengatakan tempat mereka bekerja tidak memberikan hak cuti melahirkan bagi jurnalis perempuan. 

“Riset ini melibatkan 405 jurnalis perempuan dari 34 provinsi yang dilakukan selama April 2022,” imbuhnya. 

Ia menjelaskan, riset tersebut menemukan pula sebanyak 68 jurnalis perempuan (16,8%) dari total responden mengakui adanya diskriminasi dalam pemberian remunerasi di tempat mereka bekerja. Remunerasi itu termasuk gaji pokok, bonus dan tunjangan. 

Aspek lain yang ditanyakan, tunjangan asuransi kesehatan untuk seluruh anggota keluarga. Sebanyak 58% responden menyatakan jurnalis perempuan tidak bisa mendapatkan tunjangan asuransi kesehatan untuk seluruh anggota keluarga mereka. 

“Padahal, karena kepala keluarga tidak selalu laki-laki, ada banyak jurnalis perempuan yang juga menjadi kepala keluarga atau suaminya bekerja di sektor informal,” katanya. 

Dalam hal tugas peliputan, 29,6% jurnalis perempuan mengatakan bahwa masih ada diskriminasi gender. Contohnya, jurnalis perempuan hanya mendapat tugas peliputan yang secara tradisional dianggap ranah perempuan (hiburan, isu domestik, dan lainnya). 

Meskipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan, 25,4% responden dalam penelitian ini menyampaikan bahwa masih ada diskriminasi dalam hal promosi atau kenaikan jabatan di organisasi tempat mereka bekerja. 

Dalam hal pengurangan jumlah karyawan, 14,3% responden mengatakan, masih terjadi diskriminasi gender di perusahaan tempat mereka bekerja. Perempuan masih menjadi target ‘dirumahkan’ oleh perusahaan karena dianggap sebagai beban perusahaan. Diskriminasi jenis ini seringkali dialami oleh perempuan yang telah menikah. 

“Stereotype peran perempuan yang dianggap sebagai manusia yang tidak wajib mencari nafkah juga kadang menjadi alasan jurnalis perempuan menjadi sasaran “dirumahkan” oleh perusahaan,” terang Nani. 

Perusahaan media pun masih melakukan diskriminasi kepada perempuan dalam hal kontribusi terhadap pengambilan kebijakan. Hal ini terlihat dari 11,4% responden mengatakan, ruang redaksi mereka tidak mengakomodasi ide/saran dari jurnalis perempuan terkait liputan dan 14,8% responden mengatakan bahwa ruang redaksi tidak mengakomodasi ide/ saran dari jurnalis perempuan terkait kebijakan perusahaan. 

Para responden dalam riset AJI dan PR2Media itu memberikan beberapa rekomendasi penting dalam upaya mengikis dan menghapus diskriminasi gender di tempat kerja mereka. Sebagian besar responden (29,9%) memilih rekomendasi “kebijakan perusahaan yang lebih ramah gender” untuk mengurangi atau menghapus diskriminasi gender di tempat mereka bekerja. 

Sementara rekomendasi “pimpinan yang memiliki kepekaan terhadap gender” merupakan jawaban terbanyak kedua yang dipilih responden (25,7%). Pilihan rekomendasi berikutnya adalah “transparansi dari manajemen atau HRD tentang jumlah gaji, bonus dan tunjangan yang diberikan kepada karyawan” (22,2%), kemudian “regulasi pemerintah yang lebih ramah gender” (19,8%). 

Body Shaming, Kekerasan Seksual Terbanyak Dialami Jurnalis Perempuan

Kekerasan berbasis gender dalam bentuk kekerasan seksual masih “menghantui” jurnalis perempuan yang bekerja di lapangan. Tiga kasus kekerasan seksual yang diterima AJI Indonesia misalnya:

AJI Indonesia menimpa L, seorang jurnalis perempuan di Makassar, pada 9 Desember 2022, A jurnalis di Jawa Tengah pada 7 Juli 2022 dan EH, jurnalis Cenderawasih Pos, Papua, pada 21 Februari 2022. 

L dipegang di bagian payudara oleh petugas pengawal Anies Baswedan, saat ia meliput pertemuan Anies dengan pendukungnya di Makassar. Kekerasan seksual ini terjadi setelah DPR RI dan Pemerintah telah mengesahkan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual pada 12 April 2022. Perbuatan tersebut masuk sebagai tindak pidana yang melanggar UU TPKS dan UU Pers.

Sebelum L, jurnalis A mendapat pelecehan saat meliput pertandingan PSS Sleman menghadapi Borneo FC di Stadion Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta, pada Kamis, 7 Juli 2022, pukul 20.30 WIB. Saat itu, kondisi tribun nyaris penuh. Korban hendak masuk ke tribun stadion dalam kondisi berdesak- desakan. Dalam kondisi itu, pelaku tiba-tiba memegang dada korban. Seketika, korban panik dan berusaha melawan perilaku tersebut. 

EH mendapat pelecehan seksual secara verbal saat meliput sidang dakwaan terhadap Juru Bicara KNPB Viktor Yeimo, pada Senin, 21 Februari 2022, sekitar pukul 10.00 WIT, di Pengadilan Negeri Jayapura. Saat itu EH hendak memasuki ruangan persidangan, kemudian seorang pria yang tidak ia kenal, berbicara kepadanya dengan kata-kata mengancam dan melecehkan “Nanti Sa Perkosa Ko” (Nanti saya perkosa kamu). 

“Kasus kekerasan seksual tersebut (mungkin) hanya sedikit yang terungkap ke publik karena penyintas lain enggan membukanya karena hambatan domestik, tidak ada perlindungan dari tempat bekerja, dan khawatir mendapatkan serangan balik dari pelaku,” jelas Nani. 

Riset terbaru yang dilakukan PR2Media dan AJI Indonesia terhadap 852 jurnalis perempuan dari 34 provinsi di Indonesia pada akhir tahun 2022 menunjukkan, sebanyak 82,6% (704) responden pernah mengalami kekerasan seksual sepanjang karier jurnalistik mereka. 

Sementara itu, terkait ranah daring dan luring, sebagian besar jurnalis mengalami kekerasan di ranah daring sekaligus luring (37% dari total responden), lalu daring saja (26,8%), dan luring saja (18,2%). Hanya 17,4% (148) responden yang tidak pernah mengalami kekerasan seksual apapun dalam karier jurnalistik mereka. 

Terdapat 10 jenis kekerasan seksual yang sering diterima jurnalis perempuan dari survei tersebut. Terbanyak jurnalis perempuan mendapatkan body shaming.

“Body shaming secara luring (58,9% dari total responden). Lalu, catcalling secara luring (51,4%) dan kemudian body shaming secara daring (48,6%)” lanjut Nani. 

Dari survei itu juga terungkap, jurnalis perempuan mendapatkan kekerasan seksual antara lain dari atasannya (3,4%), rekan kerja (15,7%), narasumber berita (12,8%), anonim (24,7%), serta pihak lainnya 26% yang terdiri dari orang kantor (Supir, Cleaning Service/OB) serta orang lain yang mereka temui di lapangan ketika liputan (Anggota Polisi, Jurnalis dari Media Lain, Ajudan Narasumber, dll). 

Dari lokasi, responden menyampaikan bahwa kekerasan seksual terjadi di kantor (9,7%), luar kantor (51,2%), serta kantor dan luar kantor sekaligus sebanyak 21,7%. 

“Dari situasi tersebut AJI Indonesia berpandangan, setiap jurnalis perlu meningkatkan pemahamannya terkait kekerasan berbasis gender, khususnya kekerasan seksual,” lanjutnya. 

Pemahaman ini menurutnya, melingkupi jenis, bentuk, pencegahan, langkah darurat saat menjadi korban (luring atau online) dan hak-hak sebagai korban. Berikutnya, organisasi media mulai harus memiliki SOP untuk mencegah dan mengatasi kekerasan seksual yang menimpa jurnalisnya. 

“Dalam survei tersebut diketahui, sebesar 60,9 persen responden yang pernah menjadi korban serangan seksual, tidak menerima bantuan atau dukungan dari organisasi media tempat mereka bekerja,” kata dia.  

Dia mendesak, Dewan Pers selaku regulator perlu terlibat dalam penyusunan SOP, memfasilitasi penyusunan SOP tersebut, serta mendorong perusahaan pers merumuskan SOP, terutama untuk perusahaan pers yang sumber dayanya terbatas. 

“Indonesia memang telah memiliki UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Meski UU tersebut masih memiliki kekurangan, namun diharapkan UU tersebut dapat menjadi payung hukum untuk memberi perlindungan terbaik bagi para penyintas kekerasan seksual, salah satunya dapat mengadili pelaku kekerasan seksual,” pungkasnya.  

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!