Konferensi Perempuan Pekerja 2023 Merespon Situasi Krisis Perempuan

Perempuan saat ini berada dalam situasi krisis. Apa ciri-ciri perempuan di masa krisis ini, dan apa yang harus dilakukan? Sejumlah lembaga dan media mengadakan konferensi perempuan pekerja 2023 untuk merespon krisis yang saat ini dialami perempuan.

Sejak pandemi melanda dunia, disusul perang Rusia dan Ukraina, ekonomi dunia mengalami krisis finansial. 

Saat krisis melanda, sektor kerja yang mayoritas menyerap tenaga kerja perempuan menjadi kelompok paling terdampak. Namun sayang, kebijakan penanganan krisis dengan menggunakan lensa gender justru cenderung diabaikan. Padahal, penyelesaian krisis dengan analisa gender sangat dibutuhkan untuk memahami kedalaman dan cakupan krisis, termasuk dalam mendesain respon terhadap krisis yang lebih tepat.

Di saat bersamaan, krisis yang sedang berlangsung juga memberi peluang bagi kemunculan kepemimpinan perempuan yang punya kepedulian, tentang bagaimana mempertahankan diri, keluarga dan komunitasnya dalam menghadapi krisis.

Di berbagai belahan dunia, perempuan – perempuan ini muncul di barisan terdepan menghadapi krisis, meski mereka menjadi lapisan utama yang dihajar habis – habisan. Dalam konteks Indonesia, mereka muncul di setiap ajang perlawanan langsung terhadap krisis yang merampas ruang hidup, memangkas upah, mengkorupsi dana BLT, ketiadaan pengakuan perempuan sebagai pekerja.

Sejumlah lembaga dan media mengadakan konferensi perempuan pekerja yang mengambil tema: perempuan pekerja merespon krisis dan mendesak negara mewujudkan perlindungan sosial transformatif tanpa kekerasan. Acara yang diselenggarakan oleh Konde.co bersama FSBPI, Perempuan Mahardhika, Jala PRT, PJS Indonesia, SINDIKASI, OPSI, Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS), Persatuan Buruh Grobogan (PUBG) ini diadakan selama 2 hari di Jakarta, 11-12 Maret 2023 yang salah satu tujuannya ingin merumuskan Manifesto sebagai sebuah sikap politik perempuan akar rumput.

Dian Septi dari FSBPI misalnya mengatakan bahwa perempuan Pekerja Rumah Tangga/ PRT misalnya, dengan gigih mengorganisir diri di tengah himpitan krisis yang terus meminggirkan mereka tanpa perlindungan hukum. 

“RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) diketahui mangkrak hampir 20 tahun. Sementara, perempuan pekerja seks juga harus berjibaku dengan pengusiran paksa atas nama moralitas, padahal mereka tak pernah diberi pengakuan untuk bisa mengakses BPJS yang katanya tidak mengenal kata diskriminasi.”

Vivi Widyawati dari Perempuan Mahardhika menyatakan, di balik dinding pabrik, perempuan buruh terinformalisasi atas nama fleksibilitas pasar kerja, sehingga status kerja semakin tak pasti. Demikian halnya dengan pekerja minoritas gender dan disabilitas yang masih terus bergerak menyuarakan hak di tengah ancaman diskriminasi dan kekerasan yang mengancam nyawa.

“Di sisi lain, perempuan pekerja freelance harus berkejaran dengan deadline tanpa jeda dalam sistem kerja satuan waktu satuan barang, sebagaimana yang dipromosikan oleh UU Cipta Kerja yang kini berganti baju menjadi Perppu Cipta Kerja,” ujar Vivi Widyawati.

UU Cipta Kerja merupakan penyempurna dari rangkaian penghilangan perlindungan bagi pekerja yang dilakukan pemerintah secara bertahap dimulai dari disahkannya sistem kontrak kerja. Sistem kerja kontrak singkat yang membuat pekerja perempuan dengan mudah diberhentikan yang juga dibarengi dengan sistem target yang tidak manusiawi. Dengan situasi di atas lapisan kekerasan dan pelecehan pada pekerja perempuan semakin massif, termasuk perempuan pekerja dengan ragam Disabilitas, pekerja dengan HIV dan pekerja LGBTIQ. Minimnya kesempatan kerja, perlakuan yang diskriminatif ketika bekerja hanyalah sebagian yang dialami. Sehingga, situasi yang saat ini baik di tingkat global maupun dampak nyatanya pada kehidupan perempuan perlu dianalisa dengan menggunakan perspektif gender dan kelas.

Maka dengan ini, sejumlah organisasi, individu, komunitas dan banyak pihak kemudian merasakan pentingnya merespon krisis dunia dan krisis di Indonesia ini dengan duduk bersama dan bicara dalam sebuah konferensi yang diberi tajuk “Konferensi Perempuan Pekerja (KPP)”.

Vivi Widyawati mengatakan, konferensi Perempuan Pekerja diselenggarakan untuk mengajak para perempuan menganalisa sosial masalah-masalah perempuan pekerja lintas sektor di tengah situasi krisis multidimensi dan absennya perlindungan sosial dari Negara. Lalu untuk merumuskan manifesto konferensi sebagai respon perempuan terhadap krisis multidimensi dan merumuskan strategi, resolusi, dan rekomendasi perlindungan sosial alternatif perempuan akar rumput lintas sektor.

“Merespon situasi ini sangat penting, karena jika tidak, perempuan akan berada di kubangan krisis dan menjadi pihak yang ditinggalkan atau dianggap tidak ada. Padahal perempuan adalah garda penting di saat krisis. Apa yang harus dilakukan negara dalam situasi ini?.”

Dalam konferensi akan dibahas: apa yang harus dilakukan negara untuk perempuan dalam situasi krisis seperti ini? Juga akan ada diskusi khusus tentang memetakan persoalan perempuan di masa krisis dan menganalisanya. Di akhir acara akan dikeluarkan Manifesto Perempuan Pekerja.

Hasil dari Konferensi Perempuan Pekerja ini akan digunakan sebagai pisau analisis gender untuk memetakan persoalan, dan apa yang dilakukan negara di saat krisis dari perspektif perempuan pekerja.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular