Liputan ke Desa: Pengalamanku Meliput Vaksinasi Kelompok Rentan 

Cerita ini merupakan pengalaman pertamaku dalam meliput vaksinasi inklusif Covid-19 terhadap kelompok rentan. Vaksinasi di desa-desa yang dilakukan secara door-to-door jadi salah satu strategi pendekatan untuk menjangkau keterbatasan akses. Walau begitu, pemerintah perlu lebih masif menjangkau mereka dengan komunikasi efektif yang berperspektif kelompok rentan.

“Fiona, mau nggak ke Pati untuk ngeliput vaksinasi kelompok rentan?”

Kira-kira begitulah kalimat yang kuterima lewat telepon dari Pemimpin Redaksi Konde.co, Luviana, tiga hari sebelum penerbangan. Ini kali pertama aku dapat kesempatan meliput ke daerah luar Jakarta. Suatu kesenangan sendiri bagi seorang anak kota yang tidak pernah “main” ke desa.

Tidak hanya Konde.co, ada empat media lain, baik lokal maupun nasional juga datang mengunjungi lokasi pelaksanaan program vaksinasi di Sentul, Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Save The Children membantu memfasilitasi kami.  

H-1 pelaksanaan vaksinasi Covid-19 itu, aku bersama dengan tim yang juga dari Jakarta berangkat dengan pesawat ke Kota Semarang. Begitu sampai di bandara Semarang, kami menuju Pati yang berjarak lebih dari 80 km. Kami menggunakan mobil untuk perjalanan yang butuh waktu sekitar 2 jam. 

Brand & Media Manager Save the Children Indonesia Dewi Sri Sumanah menekankan pentingnya media untuk tetap mengangkat isu COVID-19 sekarang. Melihat adanya penurunan tingkat perhatian publik terkait pandemi yang pada realitasnya masih berisiko, terlebih kepada kelompok rentan.

“Kami ingin membawa rekan-rekan [media] besok datang langsung ke lokasi dampingan kami untuk bisa melihat langsung bagaimana kami menyediakan dan mendekatkan akses vaksinasi ini kepada kelompok rentan, terutama disabilitas dan lansia,” ucap Dewi pada sesi media briefing yang diikuti Konde.co di Pati, Jawa Tengah, Minggu (19/3). 

Menuju Pelosok Utara Pati: Akses Jalan Terjal Dan Minim Fasilitas Memadai

Sepanjang jalan, kami melalui banyak jalanan miring dan terjal termasuk di kaki Gunung Muria. Permukiman penduduk berjarak 4 km dari Puskesmas Cluwak. Itu pun jika diukur dari Balai Desa Sentul di samping sentra vaksinasi kemarin. Belum lagi membahas rumah-rumah yang lebih jauh dari itu.

Untuk menuju ke puskesmas, penduduk Desa Sentul memang melewati pemandangan sawah dan lembah yang apik. Namun, itu juga berarti perlu menyusuri jalanan panjang yang menanjak dan merosot. Desa ini begitu jauh dari pembangunan infrastruktur negara yang memadai. 

Aku tak bisa membayangkan bagaimana pihak puskesmas dapat menangani kondisi gawat darurat yang dialami oleh penduduk desa ini, dengan keterbatasan akses kesehatan seperti itu. 

Sesampainya di Pati, kami menyantap makanan khasnya, yaitu nasi gandul. Makanan khas ini dulunya dijual tergantung dengan pikulan–ngegandul–sehingga lahirlah namanya. Nasi gandul biasanya disajikan di atas daun, dilengkapi dengan daging, jeroan, dan perkedel, lalu dituangi kuah santan. Rasanya seperti makan soto daging pada umumnya, tapi versi lebih wangi dan manis.

Nasi gandul. (Dok. Fiona/konde.co)

Pendekatan Vaksinasi Terpusat (Sentra Vaksinasi)

Sekitar pukul 10.00 WIB, kami sampai di sebuah lapangan voli di samping Balai Desa Sentul, Pati, Jateng. Tepat di samping lapangan ini, ada jalanan umum yang terjal. Diperkirakan kemiringannya sebesar 30 derajat. 

Cuaca kala itu terik sehingga plafon tenda dipasang. Di tengah keberlangsungan kegiatan, seorang petugas “mencuri panggung” dengan mengajak penduduk maju bernyanyi sembari menunggu gilirannya. 

Provincial Coordinator AIHSP Jawa Tengah dr. Hartanto Hardjono membuka kegiatan vaksinasi COVID-19 inklusif di Desa Sentul, Kabupaten Pati, pada 20 Maret 2023. (Dok. Fiona/Konde.co)

Petugas juga setelah itu menyetel lagu Dangdut dengan menggunakan speaker hitam besar seperti acara pernikahan di jalanan. Upaya ini menjadi menarik menurutku untuk mencairkan suasana yang mungkin menegangkan untuk sejumlah orang. Apalagi di awal pandemi sempat ada desas-desus soal vaksin yang “katanya” melumpuhkan dan mematikan sampai menghambat proses vaksinasi di Desa Sentul.

“Pak T, RT 2 RW 2.” 

Terdengar panggilan berulang oleh petugas vaksinasi kepada penduduk yang mengantre menunggu gilirannya. Saat dua tahun lalu menerima vaksin, aku lebih sering menemukan orang-orang menggunakan kaos oblong santai. Namun, penduduk di Desa Sentul lebih banyak yang menggunakan pakaian yang sangat rapi, seperti mereka memakai kebaya kutubaru atau kemeja batik.

Kebanyakan penerima vaksin kemarin adalah orang tua dan lansia. Program ini memang menyasar kelompok usia mereka, tetapi tidak ada pembatasan siapa yang dapat menerima vaksinnya. 

Jalanan di samping sentra vaksinasi COVID-19 inklusif di Desa Sentul, Pati. (Dok. Fiona/Konde.co)

Mengutip dari Kepala Desa Sentul Rubiati, jumlah orang muda memang tidak banyak di desa ini. Mereka lebih memilih untuk merantau bekerja ke luar Jawa dan ke luar negeri, seperti Thailand, Korea Selatan, atau Hongkong. 

Walau dianggap menyumbang peningkatan kesejahteraan desa, perantauan orang muda juga ‘menyumbang’ luka tersendiri. Desa ini memiliki jumlah tenaga kesehatan yang sangat terbatas karena sedikit generasi muda yang pulang setelah memperoleh pendidikan termasuk lulusan kesehatan.

Terlebih lagi, banyak lansia yang tinggal tanpa pengasuh. Salah satunya adalah Wagirah, seorang lansia yang kami datangi setelah kegiatan vaksinasi di sentra selesai. Selama vaksinasi door-to-door ini berlangsung, Wagirah terlihat masih penuh dengan senyuman dan gelak tawa.

Ngarni (kiri) datang secara sukarela untuk divaksin dan Wagirah (kanan) adalah lansia yang menjadi sasaran program vaksin. (Dok. Fiona/Konde.co)

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, penduduk Desa Sentul bekerja sebagai petani. Mereka memiliki keragaman pangan, seperti padi, ketela, kopi, pisang, atau jahe. Penduduk Desa Sentul juga menghasilkan kayu sengon. 

Pekerjaan purnawaktu ini sayangnya membuat Kepala Desa Sentul kesulitan untuk menjangkau laki-laki kepala rumah tangga dalam vaksinasi Covid-19. Berangkat dari itu, pemerintah desa menginisiasikan pelaksanaan tarling atau tarawih keliling pada bulan Ramadhan tahun lalu.

“Itu [tarling] saya jadwalkan di malam hari. Saya bawa bidan. Kan kalau tarawih banyak juga bapak-bapak tarawih. Maka itu tercapai juga,” ucap Rubiati, Senin (20/1).

Unit dinas kesehatan juga merasa mendekati penduduk secara langsung lebih efektif daripada meminta mereka datang secara sukarela. Mungkin karena faktor waktu dan wilayah sehingga muncul keterbatasan akses penduduk untuk menjangkau puskesmas. Mungkin juga karena faktor pandemi yang mulai disepelekan mereka. 

Jalanan terjal di Desa Sentul. (Dok. Fiona/Konde.co)

Dari berbagai faktor hambatan tersebut, Kepala Puskesmas Cluwak Sunarto selama ini berstrategi dengan melakukan pendekatan yang lebih personal dan sistematis ke penduduk. Entah lewat pembentukan daerah binaan wilayah (binwil), ataupun muncul dalam kegiatan penduduk, yaitu yasinan, posyandu, arisan beras, dan RT (ertenan).

“Dari data warga, dari data pemdes, kalau memang itu sasaran belum tercapai, kita jemput bola. … Mana yang mau dulu. Kita kan nggak boleh menekan,” sebut Sunarto.

Program Vaksinasi Dilanjutkan dengan Pendekatan Door-to-Door

Pada kunjungan pertama door-to-door (rumah ke rumah), kami mendatangi rumah seorang laki-laki dengan disabilitas mental, bernama Mudiono, yang tinggal bersama ibunya, Sukarti. 

Ini adalah kali ketiga Mudiono menerima vaksin COVID-19.

Nggak sakit, kok, ya. Nggak sakit, kan, ya?” celetuk Mudiono berusaha menenangkan dirinya sesaat sebelum menerima vaksinasi.

Mudiono, penduduk dengan disabilitas mental Desa Sentul yang disasar lewat kegiatan vaksinasi door-to-door. (Dok. Fiona/Konde.co)

Selama vaksinasi berlangsung, aku sekadar ‘ikut nimbrung’ untuk memperhatikan tim dan penerima vaksin saling melempar tanya. Pemahamanku sebatas saat mereka mengucapkan kata nggih, nuwun sewu, atau matur nuwun sanget. Aku memang tidak banyak berbicara dengan para kelompok rentan yang kami kunjungi. Alasannya satu: keterbatasan bahasa. Aku tidak bisa bahasa Jawa, sedangkan mereka tidak terlihat fasih bahasa Indonesia. 

Kegiatan vaksinasi door-to-door kemarin mencapai 6 orang yang terdiri dari 4 lansia perempuan, 1 laki-laki dengan disabilitas mental, dan 1 laki-laki dengan gangguan jiwa. 

Salah satu lansia, Pani, sudah menerima dosis lengkap sampai booster kedua. Pani mengaku tidak takut untuk menerima vaksinasi kendati desas-desus yang mungkin sempat berseliweran di sekitarnya. 

Pani, penduduk lansia Desa Sentul yang disasar lewat kegiatan vaksinasi door-to-door. (Dok. Fiona/Konde.co)

Tak Hanya Andalkan Intervensi Luar, Pemerintah RI Harus Aktif ‘Jemput Bola’

Secara keseluruhan program vaksinasi inklusif kemarin telah berhasil menjangkau 309 penduduk Desa Sentul dari target awalnya yaitu 200 orang. 

Intervensi AIHSP sebagai lembaga kemitraan pemerintah Australia-Indonesia untuk penguatan sistem kesehatan, dalam menggerakkan program ini tentu berdampak untuk kelompok rentan yang memiliki keterbatasan akses dalam menjangkau vaksinasi. Antusiasme vaksinasi inklusif itu salah satunya tampak pada jumlah partisipan yang melebihi target awal. Ini bisa dikatakan jadi bukti konkret bahwa kelompok rentan sangat mungkin dijangkau jika ada upaya efektif. 

Capaian ini juga tak lepas dari upaya AIHSP dengan organisasi masyarakat sipil (OMS), seperti Roro Mendut, sebagai penggerak vaksinasi yang mampu menjalankan komunikasi krisis. 

Provincial Coordinator AIHSP Jawa Tengah dr. Hartanto Hardjono menjelaskan bahwa sampai kini pemerintah belum mampu berkomunikasi dalam perspektif kelompok rentan. Hal itulah yang menjadi alasan AIHSP melakukan intervensi. 

“Maka kawan-kawan dinas kesehatan kita kenalkan bagaimana berkomunikasi dengan lansia, disabilitas, kelompok miskin ekstrem. Itu [selama ini mereka] dianggap semuanya sama. Padahal tidak,” kata Hartanto.

Jawa Tengah menjadi salah satu dari lima provinsi yang disasar oleh AIHSP dalam pelaksanaan program vaksinasi inklusif. Tidak dapat dimungkiri kenyataan bahwa masih banyak kelompok lansia dan rentan di Indonesia yang belum terjangkau oleh pemerintah. 

Per 22 Maret 2023, 3 dari 10 kelompok lansia di Jawa Tengah belum mendapatkan vaksinasi lengkap, yaitu dosis 1 dan 2. Aku tidak bisa menghitung kelompok rentan secara rinci karena data vaksinasi oleh Kementerian Kesehatan masih menyatukan kategori masyarakat umum dan rentan.

Padahal, World Health Organisation (WHO) pada akhir 2020 telah mengeluarkan rekomendasi agar vaksinasi diprioritaskan terlebih dahulu untuk kelompok yang paling berisiko. Dua kelompok di antaranya adalah lansia dan yang rentan secara sosiodemografis, termasuk mereka yang tinggal di pedesaan dan jauh dari pusat pemerintahan. 

Secara data, AIHSP sampai kini memang telah menjangkau 231 desa dalam 6 kabupaten dan satu kota di Jawa Tengah. Namun, jika dilihat dalam lensa yang lebih besar, angka itu terhitung sedikit, yaitu hanya 2,7% dari total 8.567 desa/kelurahan yang ada di Jawa Tengah.

Petugas vaksinasi di Provinsi Jawa Tengah. (Dok. Fiona/Konde.co)

Seperti halnya menurut Hartanto dari AIHSP, pemerintah RI mesti bergerak lebih aktif. Perlu adanya motivasi dan inisiasi dari pemerintah untuk bergerak mengembangkan komunikasi krisis. 

Pertama, upaya bisa dimulai dengan mendorong inisiatif dinas kesehatan atau pemerintah desa setempat. Harapannya, mereka dapat mengenal berbagai kelompok dari perspektif interseksional. Tidak sebatas sebagai “penduduk” saja, tetapi kelompok ini juga diukur dari kerentanannya dalam mengakses sarana dan menyuarakan aspirasinya ke pemerintah.

Kedua, perlu juga adanya pembaruan sistem dalam menyusun dan menyimpan data penduduk. 

Dari pengamatan Konde.co saat proses vaksinasi inklusif itu, Kepala Desa Sentul dan Kepala Puskesmas Cluwak yang ditemui tampak tidak siap saat ditanya terkait data warga. Rubiati menjelaskan bahwa data penduduk masih belum ia pegang. 

“Data masih dipegang perangkat saya, sedangkan Mas-nya masih sakit yang pegang itu,” sebut Rubiati dalam wawancara eksklusif dengan Konde.co, Jumat (24/3).

Padahal, keterbatasan akses dan ketidaksesuaian data yang dipegang pemerintah desa tidak bisa dianggap sepele, sebab bisa berpengaruh pada pemenuhan hak warga dalam mendapatkan bantuan negara. 

Rubiati juga menjelaskan bahwa proses menyusun data desa berbasis SDGs Desa sampai kini belum selesai. Namun, sudah ada upaya dari pemerintah desa untuk mengumpulkan fotokopi kartu keluarga per RT.

Salah satu penduduk kemarin sempat menghampiri kami–berkeluh kesah bahwa keluarganya sampai kini belum mendapatkan bantuan sosial Program Keluarga Harapan (bansos PKH). 

Warga itu, tentu hanya gambaran kecil dari penduduk yang mengalami kejadian serupa. September lalu, hampir 600 bansos PKH untuk Kab. Pati hangus. Kabid Penanganan Fakir Miskin pada Dinas Sosial Pati Tri Haryumi menyebutkan berbagai alasan. Salah satunya adalah masih banyak penduduk setempat yang belum memiliki Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) dan buku tabungan.

Rubiati menyatakan bahwa desanya menjadi salah satu daerah yang terdampak pada kejadian itu. Selain PKH, penduduk Desa Sentul juga kesulitan mengakses BPJS dari pemerintah pusat.

“Ada [BPJS] yang sudah tidak aktif. Tiba-tiba saat digunakan untuk memeriksa itu, tiba-tiba nggak aktif. Lumayan banyak.”

Dalam menindaklanjuti masalah itu, pemerintah desa berupaya membenahi identitas penduduk. Mereka juga melaporkannya ke pihak berwenang, yaitu dinas sosial dan pendamping PKH serta BPJS.

Sebagian ada yang bisa langsung berhasil tertangani. Namun, sebagian ada juga yang belum mampu mengakses PKH sampai sekarang walau pembaruan identitasnya sudah dibantu oleh pemerintah setempat. Walau menyadari kendala yang dialami penduduknya, Rubiati mengakui bahwa bantuan yang dapat diberikan pemerintah desa terbatas.

Ilustrasi lansia menjalani vaksinasi. (Dok. Fiona/Konde.co)

Setelah vaksinasi selesai dijalankan, kami pun bergegas pulang. Sekitar pukul 19.00 WIB, hujan mulai mengguyur mobil dalam perjalanan kami dari Pati, melewati Kudus dan Demak, sampai ke Kota Semarang. 

Di tengah perjalanan, mobil kami menerobos genangan air di Kaligawe–jalanan yang sampai kini masih rawan banjir karena luapan Sungai Tenggang. Walau terik matahari siang sempat aku rasa cukup menusuk kulit, hujan malam itu rasanya bukan sesuatu yang ditunggu oleh penduduk di daerah sekitar. Malah, jika berkaca dari kejadian itu, penginnya dihindari.

Ternyata yang mengalami kejadian serupa tidak hanya Semarang. Penduduk Kab. Pati juga masih kewalahan karena banjir awet yang sudah terjadi selama empat bulan terakhir. Penanganan soal banjir oleh pusat seharusnya lebih cepat dan sistematis. Jika tidak, banjir akan terus menimbulkan penyakit dan merugikan warga dari segi ekonomi. 

Sudah rentan, terlupakan, tertindas sistem juga. Rasanya narasi pembangunan yang katanya selama ini “Jawa-sentris” tidak ‘simetris-simetris’ amat pada realitasnya. Misalnya saja, yang terjadi di Pati.

Liputan ini mendapat dukungan dari Save the Children Indonesia dan Kemitraan Australia Indonesia untuk Ketahanan Kesehatan (AIHSP). 

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!