Live Musik di Bireuen Aceh Dilarang Dianggap Timbulkan Nafsu

Di Aceh, ada aturan soal larangan menyelenggarakan live musik karena bisa menyebabkan nafsu berahi. Sejumlah aktivis perempuan menyatakan, jika dibiarkan, ini bisa mematikan kreativitas anak muda dan menyalahkan tubuh perempuan.

Pada 24 Februari 2023 lalu, Bupati Bireuen Aceh mengeluarkan Surat Edaran (SE) soal larangan pelaksanaan live music. Edaran itu ditujukan kepada pemilik kafe, hotel, restoran dan pengelola tempat hiburan lainnya disana. 

Rujukan SE itu berdasar pada Fatwa Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh No 12 Tahun 2013 tentang Seni Budaya Hiburan Lainnya dalam Pandangan Syariat Islam. Ada 11 poin larangan soal pelaksanaan live music

Beberapa poin larangan itu seperti penyair dan penyanyi untuk tidak melakukan gerakan-gerakan yang berlebihan atau dapat menimbulkan nafsu berahi, larangan bercampur laki-laki dan perempuan bukan mahram, larangan menyalahi ‘kodrat’ sesuai jenis kelamin, hingga larangan penyair dan penyanyi ditonton langsung oleh lawan jenis bukan mahram. 

Tidak jelas, gerakan-gerakan di musik yang menimbulkan nafsu berahi ini yang seperti apa, yang jelas kondisi ini akan berpotensi menyalahkan tubuh, terutama tubuh perempuan karena dianggap menimbulkan nafsu berahi.

Aktivis perempuan muda di Aceh, Khalida Zia menilai SE itu bisa berpotensi membatasi kreativitas termasuk anak muda dalam berkesenian. Jika apa-apa dilarang, kreativitas bukan saja dikungkung tapi juga bisa hilang. 

“Lama-lama menjadi tidak kreatif karena banyak larangan daripada yang boleh. Keputusan ini tidak mendukung ruang gerak bagi pegiat karya kreatif, pemilik cafe, para seniman, dan pelaku seni lainnya,” ujar Khalida Zia kepada Konde.co, Rabu (1/ 3). 

Direktur Eksekutif The Leader, sebuah perkumpulan anak muda di Aceh itu mengatakan, edaran ini terkesan hanya mementingkan kepentingan kelompok yang jadi mayoritas.

“Apakah pekerja kreatif setuju? Apakah pemilik kafe setuju? Apakah tukang parkir yang bekerja di kafe yang sekarang setorannya dikelola Pemda setuju? Jelas tidak, karena ini akan merugikan mereka,” katanya. 

Zia juga mengkritisi implementasi edaran ini, yang seolah-olah dipaksakan. Ia menilai, pelaksanaannya cenderung ambigu dan tidak jelas. Satu sisi, SE itu dimunculkan dengan rujukan Fatwa MPU Aceh, namun dalam pelaksanaannya tidak konkret. 

Ia mencontohkan, pada sehari setelah adanya SE itu, ada cafe yang nyatanya masih ada live music tanpa adanya pembubaran. Bahkan, sampai pukul 11 malam waktu setempat, live music itu menggunakan bass, gitar, piano dan drum. 

“Apakah surat edaran tersebut siap dijalankan? Jika SE hanya dibuat dan tidak memikirkan konsekuensi dalam pelaksanaannya, maka itu akan kembali meningkatkan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah,” lanjutnya. 

Sebelumnya, Zia mengungkapkan, Pemerintah Kabupaten Bireuen juga pernah mengeluarkan imbauan untuk standarisasi warung kopi, cafe, dan restoran. Isinya sebanyak 14 poin larangan dan standarisasi warung kopi, cafe, dan restoran sesuai Syariat Islam pada 30 Agustus 2018 lalu. 

“Namun selain sosialisasi dengan menempelkan aturan itu di warung-warung kopi maupun restoran, saya tidak menemukan langkah kongkret lainnya terkait isu ini. Jadi ya hanya sekadar imbauan semata,” ujarnya. 

Ia menyampaikan, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah yang diwakili oleh Bupati Bireuen Muzakkar A Gani mendeklarasi Bireuen sebagai Kota Santri, dengan alasan tidak terlepas karena Bireuen merupakan daerah dengan pesantren terbanyak yaitu 154 pesantren dengan jumlah santri mencapai 51.980 orang.

“Pelarangan live music juga menjadi pemaksaan keinginan pemerintah untuk menjalankan Bireuen sebagai kota santri,” imbuhnya. 

Sementara itu kepada Konde.co Kepala Dinas Syariat Islam Bireuen, Anwar, mengatakan live music di kafe tidak sesuai dengan syariat Islam.

Live music di kafe sangat mengganggu kenyamanan masyarakat dan tidak sesuai dengan syariat Islam yang berlaku di Aceh,” ujar Anwar kepada Konde.co saat dikonfirmasi pada Kamis (2/3).

Ia menambahkan dasar keluarnya SE Bupati dari fatwa MPU dan pengaduan masyarakat. Karena itu live music di kafe dimungkinkan asal sesuai batasan dari fatwa MPU, seperti misalnya pengunjung adalah mahram.

“Sebenarnya jika live music itu disesuaikan dengan fatwa MPU bisa saja dibuat. Fatwa MPU itu sudah lama, tahun 2013,” tegasnya.

Dia menyebut dasar keluarnya SE Bupati dari fatwa MPU dan juga pengaduan masyarakat. “Malah ada cafe yang mengadu ke kami, merasa terganggu pelanggan mereka, karena ada live musik di cafe tetangga,” katanya.

“Boleh saja berkreativitas, asalkan tidak melanggar fatwa MPU,” imbuhnya.

Klaim Pemkab Bireuen: Upaya Turunkan Pelanggaran Syariat Islam

Sebelumnya siaran pers yang diterima Konde.co menginformasikan bahwa beberapa dinas terkait turun langsung sosialisasi usai terbitnya SE Bupati Bireuen soal larangan live music. Mereka mendatangi beberapa kafe di Jalan Elak Bireuen, Peusangan pada Minggu malam (26/2). 

Kegiatan sosialisasi ini sekaligus sidak live music yang dipimpin Kadis Syariat Islam, Anwar dan juga Kepala Satpol PP. Ikut pula Sekretaris MPU, Keuchik Gampong Cot Gapu M. Nasir dan beberapa tokoh masyarakat seputaran Bireuen. Sebanyak 30 personel itu tiba di lokasi sekitar pukul 22.15 WIB hingga 00.20 WIB. 

Beberapa penikmat kopi malam disebutkan sempat panik melihat pergerakan personel yang tidak biasa di malam hari. Para pemilik kafe ditemui dalam kegiatan dadakan itu. 

Kadis Syariat Islam Bireuen, Anwar atau Cek Wan itu, mengatakan bahwa kegiatan kolaborasi berbagai pihak seperti itu, akan terus dilaksanakan ke depan. 

“Guna menurunkan tensi pelanggaran Syariat Islam yang berlangsung di tempat terbuka seperti kafe,” ujar Anwar. 

Menurutnya, pertumbuhan kafe akhir-akhir ini di Kabupaten Bireuen semakin marak. Dalam Kota Bireuen saja, setidaknya ada 28 kafe. 

“Dilihat dari sektor pertumbuhan ekonomi, hal ini cukup positif. Tapi jangan terlalu bebas sampai melanggar Syariat Islam dan (menimbulkan–red) ketidaknyamanan masyarakat sekitar,” kata dia. 

Anwar mengklaim, akhir-akhir ini banyak sekali laporan masyarakat baik yang disampaikan kepada pihaknya. Maupun yang disampaikan langsung ke Pj. Bupati Bireuen Aulia Sofyan. 

“Laporan dimaksud ada yang melanggar Syariat Islam seperti judi online, live musik dan banyaknya pelanggan kafe yang bukan mahram sampai larut malam. Ada juga yang mengganggu kenyamanan masyarakat lingkungan karena letak kafe hampir semuanya dalam kawasan perkampungan masyarakat,” tambah Anwar. 

Keuchik Cot Gapu M.Nasir juga mengeluhkan suara musik di kafe dengan volume tinggi  sampai larut malam sangat mengganggu kenyamanan istirahat masyarakat. “Kasihan orang tua, anak sekolah, balai pengajian dan kegiatan pengajian di masjid sangat terganggu,” kata dia.  

Keuchik Cot Gapu yang datang bersama rombongan dari Pemkab Bireuen itu berharap kepada pemilik kafe agar menghentikan semua kegiatan musik di kafe. 

“Tolonglah Bapak/Ibu pemilik kafe, kami tidak melarang Bapak/Ibu untuk mencari nafkah di desa kami, tapi tolong jangan menghidupkan musik dengan volume tinggi serta jaga kearifan lokal gampong yang islami,” tambahnya. 

Menyikapi itu, Khalida Zia dari The Leader menyampaikan bahwa isu penegakan syariat di Aceh sering kali dijadikan isu politis, yang cenderung dipaksakan. Padahal, masih ada banyak isu lain soal kesejahteraan dan pembangunan masyarakat yang mestinya diperhatikan. 

“Isu pembangunan, isu pendidikan Aceh nggak pernah bagus. Semua pemerintah pas menjabat pasti bikin heboh soal fatwa-fatwa kayak begini,” pungkasnya.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!