Ramai-Ramai Ajukan Kebaya Ke UNESCO, Bagaimana Politik dan Sejarah Kebaya

Pada masa Orde Baru, kebaya diambil alih dan direbut oleh politik Orde Baru sebagai simbol kelas menengah atau keluarga pegawai. Kebaya dengan warna tertentu pernah digunakan sebagai seragam organisasi-organisasi perempuan untuk mesin politik Orde Baru

Baju kebaya punya sejarah yang panjang di Indonesia. Ini bisa kita lihat bagaimana kebaya mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh budaya dan politik.

Di masa sekarang, Indonesia memutuskan bergabung dengan Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Thailand dalam mengajukan kebaya sebagai warisan budaya UNESCO. Keputusan ini dinyatakan oleh Itje Chodidjah, Ketua Harian Komisi Nasional Indonesia untuk UNESCO (KNIU). 

“Kalau kebaya sudah diputuskan untuk join nomination. Sudah fixed,” kata Itje, mengutip detik.com dalam acara FGD Pendampingan Usulan Nominasi Jejaring Kota Kreatif UNESCO 2023 bersama Kemenparekraf di Jakarta, Selasa (14/2/2023).

Awalnya, Indonesia bersikeras untuk tidak melibatkan negara lain dalam nominasi ini, tetapi Itje menjelaskan bahwa jika mereka melakukannya sendiri, mereka harus menunggu tujuh tahun lagi. Dengan bergabung dengan negara-negara lain, mereka dapat segera mengajukan nominasi.

Kebaya didaftarkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) yang pengertiannya menurut UNESCO sebagai warisan budaya tak benda adalah praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan serta instrumen, benda, artefak, dan ruang budaya yang terkait dengannya yang diakui oleh komunitas, kelompok, dan/atau individu sebagai bagian dari warisan budaya mereka. Warisan budaya tak benda ini, yang diturunkan dari generasi ke generasi, secara terus-menerus diciptakan kembali oleh komunitas dan kelompok sebagai respon terhadap lingkungan hidup mereka, sebagai interaksi dengan alam dan sejarah mereka, dan menciptakan kebanggaan identitas dengan upaya keberlanjutan, sehingga mendorong penghormatan terhadap keragaman budaya dan kreativitas manusia.

Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya praktik dan ekspresi tersebut, mendorong dialog yang menghormati keragaman budaya, serta memberikan pengakuan yang semestinya terhadap praktik dan ekspresi komunitas di seluruh dunia.

Kebaya adalah pakaian yang dibuat oleh perempuan nenek moyang penjahit di Indonesia, dan juga ditemukan di Brunei, Malaysia, Singapura, dan selatan Thailand. Setiap wilayah telah menjadikan kebaya sebagai milik mereka sendiri, dan setiap jahitan menceritakan kisah sejarah mereka sendiri. Sangat dicintai oleh kelima negara ini sehingga mereka bergabung untuk mencalonkan kebaya ke dalam daftar Warisan Budaya Tak benda Unesco pada Maret 2023.

Asal Usul Kebaya

“Kebaya melintasi negara dan etnis,” kata Cedric Tan, mantan presiden Persatuan Peranakan Baba Nyonya Kuala Lumpur dan Selangor, sebuah masyarakat di Malaysia untuk orang Peranakan, yang terlibat dalam pengajuan kebaya ke UNESCO, mengutip dari bbc.com

Kebaya diyakini berasal dari Timur Tengah. Qaba, sebuah jaket yang dikatakan berasal dari Turkic, mengambil namanya dari kata Persia untuk “jubah kehormatan.” 

Masyarakat jaman kerajaan Jawa ditemukan mengenakan pakaian kebaya ketika orang Portugis tiba di Jawa pada tahun 1512. Hal ini dituliskan profesor sejarah fashion Amerika Linda Welters dan Abby Lillethun dalam buku Fashion History: A Global View. Pakaian tersebut akhirnya diambil namanya dari kata Portugis “caba” atau “cabaya”, yang berarti “tunik”.

Kebaya menjadi kata yang digunakan untuk merujuk pada jubah atau blus baik untuk laki-laki maupun perempuan, tetapi mulai abad ke-19, istilah ini menjadi sinonim di Asia Tenggara dengan blus perempuan yang dipadukan dengan sarung batik. Gaya ini menjadi populer di kalangan perempuan Belanda selama masa Hindia Belanda (sekarang Indonesia), dan juga diadopsi oleh perempuan di Asia Tenggara yang mengikuti agama Islam dan ingin berpakaian lebih sopan.

Indah dan praktis, kebaya cocok untuk iklim tropis. Selama bertahun-tahun, kebaya telah mengambil banyak bentuk. Pakaian awal termasuk kebaya panjang, blus terbuka dengan panjang hingga lutut yang diikat dengan bros dan memiliki lengan panjang. Saat ini, ada versi yang paling terkenal, termasuk kebaya Kartini, yang populer di kalangan bangsawan Jawa; kebaya kutu baru, yang memiliki selembar bahan di bawahnya untuk terlihat seperti kain di dada (kemben); dan kebaya nyonya, yang dibuat dari sutra atau voile berwarna-warni dan dihiasi dengan bordir.

Kebaya Era Kolonialisme

Elsbeth Locher-Scholten dalam bukunya Women And the Colonial State (2000) menunjukkan bagaimana pergantian pakaian Jawa dengan baju ala Belanda pada tahun 1920-an dan 30-an oleh perempuan Belanda mempromosikan “modernisasi” yang palsu di antara penduduk asli setempat, yang menguatkan kekuasaan kolonial dengan mempertegas kategori penduduk asli dan penguasa berdasarkan garis rasial, yang kemudian memicu reaksi nasionalis terhadapnya.

Sarung dan kebaya benar-benar menghilang. Bahkan sebelum tahun 1920, pakaian khas Indonesia ini, yang terdiri dari kain katun batik panjang yang dilipat di sekitar tubuh sebagai rok, dan sebuah jaket berlengan panjang berenda di atasnya, sudah kehilangan daya tariknya bagi orang Eropa. 

“Pada awal 1900-an, Catenius-vander Meijdenn sudah memperingatkan agar tidak mengenakan sarung dan kebaya di kapal. Perempuan yang sudah menikah hanya diizinkan mengenakannya di rumah pada pagi hari. 

Pada tahun 1914, perjuangan sarung dan kebaya masih dalam masa sengit. Penulis Eurasia J. Kloppenburg-Versteegh (1862-1942), yang lahir dan dibesarkan di Hindia sebagai putri seorang petani kopi, mengagumi sarung dan kebaya sebagai ‘pakaian yang paling sesuai untuk kaum kami di Hindia pakaian yang elegan, asalkan seseorang tahu cara mengenakannya’. 

Dia mencoba mempopulerkan kostum ini dengan menyediakan pola jahit dalam bukunya. Namun, Beata van Hesdingen-Schoevers (1886-1920), yang juga Eurasia tetapi generasi lebih muda, membenci pakaian ini. Dia menganggapnya sebagai ‘kebiasaan buruk untuk tidak berdandan, berjalan-jalan dengan baju tidur, atau bahkan dalam keadaan acak-acakan.

Reduksi Perjuangan Kartini Era Orde Baru

Lies Marcoes Natsir menulis Politik Kebaya untuk rumahkitab.com, pada era Orde Baru, kebaya diambil alih dan direbut oleh politik Orde Baru sebagai simbol kelas menengah atau keluarga pegawai. 

Kebaya dengan warna tertentu digunakan sebagai seragam organisasi-organisasi perempuan mesin politik Orde Baru, seperti PKK dan Dharma Wanita. Saat itulah perjuangan Kartini dalam emansipasi perempuan Indonesia mengalami reduksi hingga tingkat paling rendah. Perjuangan dahsyat Kartini dalam melawan patriarki dan sistem feodal Jawa yang menindas kaum perempuan disederhanakan menjadi Kebaya Kartini. 

Perayaan Kartini dimeriahkan berbagai lomba yang menegaskan peran domestik perempuan tidak jauh dari masak macak manak. Kelompok-kelompok perempuan progresif atau dari kalangan feminis saat itu menolak kebaya dengan seluruh tafsir negara. Dengan sendirinya, kebaya pun ditolak dan dianggap sebagai bentuk pembodohan perempuan dan penindasan.

Dari sejarah kebaya yang panjang, dapat kita lihat bagaimana pakaian ini mengalami perubahan yang dipengaruhi oleh pengaruh budaya dan politik.

Sumber Foto: bbc.com

Ika Ariyani

Staf redaksi Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!