Suksesnya Film Lokal Indonesia dan Malaysia, Gimana Nasib Streaming, Netflix dan HBO?

Kesuksesan film baru-baru ini seperti KKN di Desa Penari¬ dan Mat Kilau menunjukkan bahwa penonton lokal tertarik dengan cerita lokal, yang tidak banyak tersedia di layanan streaming global. Layanan streaming yang ingin berhasil di Indonesia atau Malaysia perlu mencari dan membuat film dengan cerita yang menarik bagi penonton di dua negara ini.

Setelah tayang perdana di Venice, dan memenangkan beberapa penghargaan di beberapa festival film di seluruh dunia, film thriller tentang politik Indonesia Autobiography mulai diputar di negara asalnya.

Film ini mengeksplorasi dampak hidup di bawah pemerintahan militer. Topik ini tepat waktu, saat kekhawatiran masyarakat tumbuh akan kemungkinan Indonesia tampaknya mundur ke masa lalu pemerintahan diktator. https://www.youtube.com/embed/V2R9LtCNoSE?wmode=transparent&start=0

Sementara itu, film drama Malaysia Maryam Dari Pagi Ke Malam memulai debut internasionalnya di Festival Film Rotterdam 2023.

Film ini menggambarkan masalah sosial dan birokrasi yang dihadapi oleh seorang perempuan Muslim berusia 50-an yang ingin menikahi pasangan mudanya dari negara Afrika.

Rekor jumlah penonton film lokal di dua negara Asia Tenggara dipecahkan tahun lalu.

Namun ketika penggemar film kembali ke bioskop, bagaimana masa depan layanan streaming di negara-negara tersebut?

Naik turunnya box office lokal

Film lokal tidak selalu sukses secara komersial dan mendapat pujian dari kritikus film.

Film lokal di Indonesia dan Malaysia disukai oleh penonton dan menguntungkan pada 1950-an dan awal 1960-an. Film yang paling sukses saat itu Tiga Dara di Indonesia dan Do Re Mi di Malaysia. https://www.youtube.com/embed/a5fXiVl0Zq4?wmode=transparent&start=0

Kesuksesan film lokal mulai menurun sejak 1970-an karena pembuat film menghadapi persaingan dari film dan televisi asing, bantuan pemerintah yang minim, dan krisis keuangan Asia pada 1997.

Industri film Indonesia mulai bangkit pada awal abad ke-21 berkat adanya kebebasan media yang lebih besar setelah jatuhnya Orde Baru pada 1998.

Produser, penulis, dan sutradara film mulai membuat film terkenal setelah lulus dari sekolah film dalam negeri seperti Institut Kesenian Jakarta, atau setelah kembali bersekolah dari luar negeri.

Ada Apa Dengan Cinta (AADC) – film remaja berbau politik yang dibuat pada 2002 oleh Mira Lesmana dan Riri Riza – sukses secara komersial dan mendapat pujian, dan disebut sebagai film yang telah mengubah industri film lokal.

Mira menandai peringatan 20 tahun AADC di Instagramnya, dan menyebutnya sebagai fenomena budaya. https://www.youtube.com/embed/mSZ-ySRW29k?wmode=transparent&start=0

Saat ini, film-film yang dibuat di negara-negara Asia Tenggara mulai dari film-film terkenal yang diputar di berbagai festival internasional, hingga film-film sukses yang diputar di bioskop-bioskop untuk memenuhi selera pasar lokal.

Tantangan lokal

Industri film Malaysia mendapat bantuan dari pemerintah – berbeda dengan Indonesia.

Namun ukuran pasar Indonesia, dengan perkiraan jumlah penonton film Indonesia yang mencapai lebih dari 40 juta orang – jauh lebih besar daripada Malaysia. Hal ini menyebabkan perbedaan dalam masalah pendanaan dan juga peluang distribusi di kedua negara.

Produser Maryam Pagi Ke Malam Lutfi Hakim Ariff sedang mencoba untuk mendapatkan izin tayang di bioskop lokal, setelah debut internasionalnya yang terjual laris di Rotterdam.

Berbicara dari Belanda, Ariff mengatakan topik filmnya tentang hak-hak perempuan dan xenofobia di Malaysia “membuatnya sulit untuk mendapatkan tawaran dari distributor”. Dia yakin film tersebut tidak mungkin diberikan izin untuk untuk dirilis “dalam bentuknya saat ini”.

Dia berharap aktor utama film tersebut (ikon sinema Malaysia Datin Sofia Jane) akan menarik penonton, mengingat penonton film lokal meningkat setelah bioskop ditutup di seluruh wilayah selama pandemi.

Popularitas film lokal pasca pandemi

Jumlah penonton film di kedua negara kini naik secara signifikan karena penonton mendukung film lokal, daripada film Hollywood.

Kurang dari sebulan setelah ditayang di bioskop pada September 2022, KKN di Desa Penari – sebuah film horor lokal – menjadi film Indonesia terlaris. https://www.youtube.com/embed/_ykK5YsWes0?wmode=transparent&start=0

Pada waktu yang sama, film biopik Mat Kilau menjadi film Malaysia terlaris sepanjang masa.

Film ini bercerita tentang seorang kepala pejuang Melayu yang berperang melawan Kerajaan Inggris pada akhir abad ke-19, dan meningkatkan popularitas perhatian lokal terhadap pencak silat – seni bela diri Asia Tenggara yang menarik perhatian Barat melalui The Raid, film aksi Indonesia tahun 2011. https://www.youtube.com/embed/h1vfzjY5LXs?wmode=transparent&start=0

Kesuksesan Mat Kilau membuktikan bahwa di wilayah Asia Tenggara, penonton lebih suka menghabiskan uang untuk melihat budaya dan sejarah mereka sendiri di layar film, ketimbang cerita dari negeri asing.

Tantangan layanan streaming

Jadi saat industri bioskop maju, bagaimana kondisi layanan streaming?

Meskipun Asia Tenggara adalah pusat pertumbuhan layanan streaming, ada dua faktor yang dapat membatasi keberhasilan layanan ini.

Layanan streaming global seperti Netflix, Disney Plus, dan Amazon tidak hanya bersaing di antara mereka, tapi juga bersaing dengan penonton bioskop di wilayah tersebut, dan juga layanan streaming Cina.

Ada pesaing besar lainnya: pembajakan film.

Negara-negara seperti Indonesia memiliki sejarah penegakan hukum yang lemah terkait undang-undang kekayaan intelektual dan pembajakan film.

Saat konten dapat ditonton di situs streaming sosial atau video secara gratis, membayar untuk layanan streaming adalah hal yang berbeda dibanding nonton bioskop sebagai bagian dari kegiatan sosial.

Kesuksesan film baru-baru ini seperti KKN di Desa Penari¬ dan Mat Kilau menunjukkan bahwa penonton lokal tertarik dengan cerita lokal, yang tidak banyak tersedia di layanan streaming global.

Layanan streaming yang ingin berhasil di Indonesia atau Malaysia perlu mencari dan membuat film dengan cerita yang menarik bagi penonton di dua negara ini.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

(Sumber Gambar: IG @kknmovie)

Nasya Bahren

Senior Lecturer, Department of Media and Communication, La Trobe University
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!