‘Tempat Kerja Adalah Keluarga?’: Kamu Harus Waspada Dengan Kalimat Ini

Konsep yang menyatakan bahwa pekerjaan atau tempat kerja adalah keluarga perlu dicermati secara kritis, karena ada sistem kapitalisme disana.

Sebagai pekerja, kamu mungkin pernah mendengar ungkapan yang menyatakan bahwa tempat kerja diibaratkan sebagai sebuah keluarga.

“Kita di sini adalah keluarga.”

“Selamat bergabung di keluarga Maju Jaya Korporasi.”

“Kita adalah keluarga dan bersama-sama kita wujudkan misi perusahaan.” 

Atau ungkapan lain yang sejenis. Seperti konten sebuah akun media sosial yang beberapa waktu lalu yang sempat jadi pembicaraan, misalnya. Seorang pemilik perusahaan terekam sedang memberikan arahan kepada anak buahnya. Dalam video berdurasi sekitar 80 detik tersebut ia mengatakan pada para stafnya bahwa tempat kerja tersebut adalah keluarga mereka. Video itu dibagikan lewat akun media sosial pribadinya lalu oleh warganet disebar ke platform lain.

“Keluargamu bukan di rumah, (tapi, red) di sini. Lu dari pagi sampai malam ada di kantor. Ketemu mamakmu paling sebentar aja, satu jam dua jam. Ketemu istrimu, suamimu cuma satu jam paling, abis itu tidur, besok kerja lagi,” ujarnya.

Tidak mengherankan memang karena kita menghabiskan sebagian besar waktu dan aktivitas kita di tempat kerja. Tak jarang kita juga melewatkan momen-momen berharga dalam hidup bersama rekan-rekan kerja di kantor.

Tuntutan untuk menganggap pekerjaan atau tempat kerja sebagai keluarga biasanya dihubungkan dengan kebaikan bersama atau keharmonisan perusahaan. Dengan begitu terlihat seolah-olah demi kepentingan para pekerja.

“Ini keluarga lu jadi kalau lu nggak nyaman lu tolong lapor ke saya khususnya anak-anak baru. Kalau sampai ada dibuat nggak nyaman sama senior, laporin ke saya. Seniornya saya pecat. Senior harus dukung anak baru.”

Hubungan kita dengan rekan kerja memiliki banyak fungsi. Rekan kerja bisa membantu kita tumbuh dalam karier kita dan memberi kita dukungan emosional dan persahabatan. Jadi masuk akal jika hubungan yang kita bangun di tempat kerja dapat mencerminkan hubungan yang kita temukan dalam konteks keluarga.

Tapi bagaimana kondisi ini bisa berjalan tergantung pada budaya organisasi tempat kamu bekerja.

Prinsip Dasar Kerja dalam Sistem Kapitalis

Konsep bahwa pekerjaan atau tempat kerja adalah keluarga perlu dicermati dengan kritis. Tapi sebelum pembahasan kita masuk ke sana, ada hal-hal mendasar yang perlu jadi titik pijak dalam pembicaraan tentang kerja.

Kita hidup dalam dunia yang berjalan dengan sistem kapitalis. Dalam sistem ini keberadaan perusahaan bertujuan untuk mendapatkan keuntungan atau menghimpun akumulasi modal/kapital. Secara garis besar ada dua kelompok dalam sistem ini yaitu pertama, mereka yang mempunyai modal dan alat-alat produksi. Kelompok kedua adalah mereka yang hanya memiliki tenaga untuk dijual. Kelompok pertama atau kaum borjuis/kelas atas ini terdiri dari segelintir orang. Sedang kelompok kedua atau kaum proletar/kelas bawah meliputi sebagian besar masyarakat sehingga sering juga disebut kaum 99%.

Dengan posisi yang timpang seperti ini maka rentan terjadi eksploitasi dan penghisapan. Karena itu dalam sistem ekonomi kontemporer diberlakukan aturan-aturan yang bertujuan untuk melindungi dan menjamin hak-hak para pekerja. Pengaturan soal jam kerja, upah, cuti, hari libur, jaminan sosial dan hak-hak pekerja lainnya menjadi sebuah keharusan. Pelanggaran atas aturan ini juga punya konsekuensi hukum.  

Pemilik modal atau pemberi kerja biasanya menginginkan pekerja yang produktif dan punya kinerja tinggi. Ini sering kali merupakan hasil dari individu yang bekerja dengan baik satu sama lain dan membuahkan hasil. Menggunakan metafora keluarga dan rasa memiliki mungkin tidak terdengar jahat pada awalnya. Tapi jika digunakan untuk membangun hubungan dengan ekspektasi kinerja yang tinggi, cenderung jarang berhasil.

Penggunaan metafora keluarga dalam urusan pekerjaan perlu diwaspadai, antara lain karena:

1. Keluarga dan Pekerjaan Punya Karakter dan Tujuan yang Berbeda

Dengan memahami natur atau watak kerja dalam konteks masyarakat kapitalis, maka menyamakan tempat kerja atau pekerjaan dengan keluarga menjadi tidak tepat. Keluarga tidak berorientasi untuk mendapatkan profit seperti halnya perusahaan.

Karena itu penggunaan metafora keluarga dalam dunia kerja memungkinkan terjadinya manipulasi. Ibaratnya sebuah perusahaan tidak dapat mencintai atau menghibur saat kita mengalami kesedihan atau melewati hari yang buruk. Perusahaan juga tidak terikat dengan kita seumur hidup. Berbeda dengan posisi keluarga yang tidak bersyarat (unconditional).

Bisa dibilang kita tidak akan memecat anggota keluarga. Setidaknya seperti itu situasi yang secara umum ada di masyarakat. Berbeda dengan hubungan antara pekerja dan majikan atau pemberi kerja yang bersifat sementara, dan pada titik tertentu harus diakhiri. Jadi menyamakan hubungan kerja dengan keluarga membawa impresi seakan-akan ikatan itu akan bertahan selamanya.

Karakteristik dan orientasi yang berbeda ini membuat kedua entitas tidak dapat disandingkan. Menyamakan keduanya menjadi tidak sepadan dan tidak relevan.

2. Memperparah Kerentanan Atas Terjadinya Eksploitasi

Menggunakan konsep keluarga dalam pekerjaan dapat mengarah pada situasi kerja yang buruk dan tidak layak. Nilai-nilai dalam keluarga yang cenderung mengedepankan cinta tanpa syarat (unconditional love) menjadi tidak tepat diterapkan dalam situasi kerja. 

Contoh paling jelas terkait situasi ini adalah kondisi yang dialami oleh para pekerja rumah tangga (PRT). Kita bisa kilas balik ke belakang melihat keberadaan PRT yang di masyarakat lebih dikenal dengan sebutan babu, batur, abdi dalem, pembantu atau asisten rumah tangga. Sebutan ini dipandang mengandung bias.

Para PRT ini biasanya dianggap sebagai bagian dari “keluarga”. Dalam sejarahnya mereka ada yang memang memiliki ikatan keluarga entah dekat maupun jauh, tapi ada juga yang tidak. Mereka biasanya tinggal bersama majikan atau pemberi kerjanya. Waktu kerja mereka tidak terbatas, sewaktu-waktu majikan membutuhkan, mereka harus siap sedia. Tidak ada hari libur apalagi cuti. Tunjangan tergantung pada kebaikan hati majikan.

Situasi kerja yang tidak layak ini bisa bertahan puluhan tahun karena memakai bungkus “keluarga”. Kultur feodalisme yang masih hidup di masyarakat dan ketiadaan payung hukum yang menjamin perlindungan PRT membuat kondisi mereka makin buruk. Bahkan banyak dari PRT yang mengalami kekerasan. Dengan lokasi kerja di area domestik yang tertutup membuat kekerasan yang mereka alami biasanya baru ketahuan setelah berlangsung lama.

Padahal yang dilakukan oleh PRT jelas-jelas memenuhi unsur hubungan pekerjaan. Ada unsur pekerjaan, perintah kerja, dan upah. Pekerjaan yang dilakukan PRT termasuk kategori kerja perawatan (care work). Kerja perawatan dalam konteks masyarakat patriarki-kapitalis biasanya dilekatkan pada peran gender perempuan sehingga dianggap sebagai kerja tak berbayar. Kalaupun ada upahnya maka nilainya sangat kecil. 

Karena itu para PRT dan jaringan masyarakat sipil hingga hari ini masih mendorong pengesahan RUU Perlindungan PRT. Termasuk menyosialisasikan penggunaan istilah pekerja rumah tangga atau PRT untuk menegaskan bahwa mereka adalah pekerja.

Jadi jelas bahwa penggunaan metafora keluarga dalam dunia kerja justru membuat pekerja berada dalam situasi kerja yang tidak layak. Kerentanan atas eksploitasi dan penghisapan yang melekat pada konsep kerja dalam sistem kapitalis menjadi makin parah dengan masuknya metafora keluarga.

3. Memperlebar Relasi Kuasa

Posisi pemilik modal dan pekerja yang menunjukkan adanya relasi kuasa menjadi makin kentara dengan dipakainya metafora keluarga dalam dunia kerja. Konsep keluarga inti dalam konteks masyarakat patriarki secara umum terdiri dari ayah-ibu atau orang tua dan anak.

Jika konsep keluarga dipakai dalam dunia kerja apakah lantas menjadikan majikan sebagai orang tua dan pekerja sebagai anak? Hubungan antara orang tua dan anak pada dasarnya menunjukkan relasi kuasa. Dengan melekatkan label keluarga maka akan memperkuat relasi kuasa yang sudah ada.

Situasi ini bisa membuat pekerja merasa tidak berdaya. Pasalnya dalam konsep keluarga secara umum orang tua biasanya yang mengambil keputusan sedang anak-anak mengikuti perintah. Selain melemahkan pekerja, situasi ini juga membuat tempat kerja menjadi tidak sehat karena pekerja membawa nilai yang akan berpengaruh pada pekerjaan dan perusahaan.

Sementara itu tidak semua orang memiliki hubungan yang baik dengan orang tua mereka. Emosi dari dinamika keluarga dapat dengan mudah mengalir ke dalam hubungan di tempat kerja, jika dibiarkan. 

Keberadaan aturan-aturan yang memastikan posisi yang lebih setara antara pekerja dan pemilik modal bisa menjadi kabur ketika metafora keluarga diterapkan. Dalam situasi semacam ini yang mendapat manfaat jelas bukan pekerja.

(Tulisan Ini Merupakan Bagian dari Program “Suara Pekerja: Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja” yang Mendapat Dukungan dari VOICE”)

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular