Uji Coba 4 Hari Kerja di Inggris Berhasil Kurangi Stres dan Kelelahan Kerja

Uji coba “empat hari kerja seminggu” terbesar di dunia yang dilakukan di Inggris baru saja usai. Hampir semua perusahaan yang berpartisipasi memutuskan untuk melanjutkan model pengurangan jam kerja.

Dalam uji coba ini, peserta sepakat untuk menghasilkan kinerja yang sama dengan bayaran yang sama pula, sementara waktu kerja mereka dikurangi menjadi hanya empat hari dalam seminggu.

Berdasarkan laporan terkait uji coba tersebut, pendapatan perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam proyek percontohan di Inggris ini – mencakup 61 organisasi dengan 2.900 karyawan – tak berubah. Sementara, kesejahteraan pekerja justru naik signifikan.

Hasilnya menunjukkan bahwa pekerja mengalami lebih sedikit stres dan kelelahan akibat berkurangnya kecemasan. Mereka juga menjadi lebih mudah menyeimbangkan antara pekerjaan, tanggung jawab mereka di rumah, dan komitmen sosialnya. Selama masa percobaan dari Juni hingga Desember 2022, angka pegawai yang bertahan dalam pekerjaan mereka (job retention) pun lebih baik dan terdapat penurunan penggunaan cuti sakit secara signifikan.

Baik hasil di atas maupun keputusan partisipan untuk melanjutkan model kerja tersebut menunjukkan hal yang cukup jelas. Ini merupakan bukti besarnya dukungan terhadap sistem empat hari kerja – setidaknya bagi perusahaan-perusahaan yang terlibat. Namun, berakhirnya proyek percontohan ini tak sebaiknya menjadi akhir uji coba dan upaya untuk menyempurnakan model kerja tersebut.

Sebuah laporan kebijakan tahun 2019 soal kerja empat hari seminggu, yang diterbitkan oleh tim yang dipimpin oleh akademisi Henley Business School di University of Reading, Inggris, yakni James Walker dan Rita Fontinha, menemukan hasil serupa.

Setelah menyurvei lebih dari 500 pemimpin bisnis dan 2.000 karyawan, termasuk bisnis yang telah menerapkan skema empat hari kerja, kami menemukan bahwa tidak ada “satu solusi untuk semua” (one-size-fits-all) untuk kerja fleksibel. Pergeseran ke minggu kerja yang lebih pendek perlu direncanakan secara menyeluruh oleh perusahaan dan karyawan mereka.

Masing-masing perusahaan yang terlibat dalam program percontohan Inggris tersebut baru-baru ini merancang kebijakan yang disesuaikan dengan industri, organisasi, struktur, dan budaya kerja khas mereka.

Selain itu, ada berbagai model empat hari kerja yang berbeda untuk dipertimbangkan, misalnya berdasarkan cara memilih hari libur atau seberapa cepat model diterapkan. Ada juga banyak cara untuk mengukur perubahan tingkat produktivitas – mulai dari perputaran penjualan, kecepatan layanan, penyelesaian proyek berdasarkan target waktu, hingga berbagai penilaian kepuasan pelanggan dan staf.

Merencanakan peralihan ke empat hari kerja dengan hati-hati, dan memberikan pelatihan khusus untuk manajer dan karyawan sebelum pelaksanaannya, sangat penting untuk memastikan kesuksesan model ini. Implementasi yang buruk dapat menimbulkan masalah termasuk stres, ketidakadilan (secara negatif mempengaruhi pekerja paruh waktu, misalnya), dan pada akhirnya, kurangnya keterlibatan dalam menjaga produktivitas. Untuk memastikan keberhasilan skema empat hari kerja, masukan, umpan balik, dan komitmen dari karyawan di setiap level perusahaan sangat krusial.

Bisnis lain yang ingin memanfaatkan keuntungan model empat hari kerja harus mengingat tiga pertimbangan jangka panjang.

1. Menjaga perolehan produktivitas

Skema kerja empat hari seminggu harus dapat menjamin bahwa level produktivitas akan terjaga secara jangka panjang ketika nantinya telah diterapkan sebagai kebijakan permanen.

Ada bahaya bahwa jika unsur kebaruan skema ini memudar, dan pekerja telah mengubah dan menyesuaikan pola kerja dalam kontrak mereka, mereka bisa jadi kurang termotivasi lagi untuk menghasilkan “peningkatan produktivitas 25%” dalam empat hari kerja – sebagai kompensasi satu hari kerja yang dihilangkan.

Setelah kesuksesan proyek uji coba perdana ini, peneliti dan akademisi harus memulai penilaian jangka panjang terhadap perubahan produktivitas yang terjadi. Semoga para bisnis baru, dan mereka yang terlibat dalam uji coba pertama, akan sepakat untuk terus mendukung penelitian ini.

2. Berkomitmen terhadap minggu kerja yang lebih singkat

Penting untuk mempertimbangkan dampak situasi ekonomi saat ini terhadap praktik kerja. Inflasi yang tinggi membuat biaya produksi untuk bisnis dan biaya hidup bagi pekerja meningkat.

Di satu sisi, situasi ini dapat mengurangi fokus pemberi kerja untuk meningkatkan kesejahteraan karyawan. Ini juga bisa mendorong karyawan untuk mencoba mendapatkan penghasilan tambahan di tempat lain pada hari kelima ketika mereka tak bekerja.

Tentu, hal ini bisa bertentangan dengan tujuan kerja empat hari seminggu, yakni meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan karyawan.

Lebih luas lagi, dalam kondisi ekonomi seperti ini, fokus pekerja dan pemberi kerja bisa saja bergeser dari “meningkatkan kinerja” menjadi “mempertahankan (atau bahkan menggandakan) pekerjaan”. Peneliti dan pembuat kebijakan perlu mengembangkan cara untuk mendukung bisnis yang berani menghindari pemutusan hubungan kerja di saat sulit ini, dan mendukung kebijakan kerja yang lebih fleksibel. Situasi ekonomi makro akan berubah dan model kerja baru harus direncanakan dengan perspektif jangka panjang.

3. Menimbang semua opsi kerja yang fleksibel

Kebijakan lockdown COVID memantik minat terhadap berbagai praktik kerja yang fleksibel, serta memberikan kesempatan untuk menguji beberapa model kerja dalam skala yang luas.

Tim peneliti kami ingin memahami apakah pendapat tentang kerja empat hari berubah karena pandemi menghadirkan model fleksibel lainnya, seperti kerja jarak jauh. Pada November 2021, misalnya, kami meluncurkan survei putaran kedua untuk mengetahui apakah ide model empat hari kerja tenggelam akibat munculnya skema-skema lain.

Hasilnya menunjukkan bahwa empat hari kerja masih menjadi pilihan yang lebih unggul dibandingkan berbagai model kerja lainnya. Sebagian responden memilih untuk bisa mengambil libur di hari kelima (sekitar 70%), atau untuk libur pada hari Jumat atau Senin (61%).

Setelah model empat hari kerja dalam seminggu, bekerja penuh waktu tapi memiliki kebebasan untuk memilih jadwalnya, serta kebebasan untuk bisa bekerja dari rumah ketika perlu, adalah pilihan populer berikutnya (masing-masing 65% dan 66%). Model kerja dari rumah sepanjang waktu menjadi pilihan yang paling tak diminati, namun skema ini memperoleh tambahan dukungan secara signifikan setelah pandemi, naik menjadi 51% dibanding 43% sebelum COVID.

Penelitian kami juga menunjukkan bahwa preferensi berubah berdasarkan demografi pekerja. Perempuan, misalnya, secara signifikan lebih mungkin menginginkan pilihan model kerja alternatif dibandingkan dengan laki-laki. Aspek wilayah juga turut berperan.

Para pebisnis harus memahami gambaran lengkap kebutuhan dalam bisnis mereka masing-masing untuk menyukseskan model kerja fleksibel. Harus ada keseimbangan antara preferensi individual dengan kebijakan sumber daya manusia perusahaan dan proses kerja.

Hal ini akan membantu menjaga produktivitas – sekaligus kesejahteraan karyawan – walaupun orang-orang bekerja dalam jam yang kerja yang lebih pendek (dengan upah tetap).

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Miriam Marra

Associate Professor of Finance and co-Director of Equity, Diversity, and Inclusion at Henley Business School, University of Reading
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!