Akun Agama Garis Lucu Bangun Toleransi Lewat Komedi 

Banyak orang yang kalau bicara soal agama selalu serius, bahkan tegang, habis itu malah musuhan. Sejumlah akun Garis Lucu di media sosial kemudian lahir untuk membangun toleransi lewat komedi dan mengajak orang untuk bicara: kalau membicarakan agama, nggak usah tegang.

Sepulang kerja, niat hati pengin menenangkan jiwa dengan mengeksplorasi postingan lucu di media sosial. Eh, yang terbaca malah yang nggak sesuai harapan. Lagi-lagi ribut politik. Lagi-lagi keresahan. Lagi-lagi ujaran kebencian. Lagi-lagi provokasi agama.

Entah terlalu menggeneralisasi atau tidak, data bahwa Indonesia adalah negara dengan netizen yang tidak sopan cukup relevan sepertinya. Aku tidak ingin memvalidasi bahwa negara kita ini yang “paling”, sih. Sekadar bagian masuk kategori “tidak sopan” saja yang aku setuju. 

Untuk memvalidasi ini, kamu juga bisa baca riset Microsoft terhadap pengguna internet atau netizen di Indonesia sepanjang tahun 2020 yang menunjukkan hasil memprihatinkan. Riset itu menunjukkan tingkat keberadaban (civility) atau tingkat “kesopanan” netizen Indonesia yang sangat rendah. Ini mengisyaratkan pada kita semua tentang pentingnya pendidikan literasi digital.

Di luar itu, tentu ini disebabkan karena lingkungan kita, juga kebijakan yang telah membentuk sedemikian rupa sehingga lingkungan kita selalu memperdebatkan agama secara serius dan bahkan memunculkan ketegangan.

Soal pilihan pasangan yang memutuskan untuk tidak punya anak, diurusin. Pilihan melela dan menerima identitas gender sendiri, diurusin. Pilihan seseorang untuk beragama apa, diurusin. Apa urusan personalnya di luar dunia maya kurang banyak? Sampai meluangkan waktu jadi polisi moral yang tidak dibayar.

Atau mungkin, “ngurusin” hidup orang dengan dalih agama ini tidak sepenuhnya diproses secara religius dan dengan pendekatan “menempatkan kaki di sepatu” orang tersebut. Mungkin sekadar kebiasaan ngomong ngalor ngidul. Mencerna seadanya lalu merespons sesuai dengan isi kepala tentang apa yang dipercaya saja.

Terlebih lagi, ada juga netizen yang menganggap agamanya superior di atas agama lain. Alhasil, melihat orang yang berbeda agama lebih rendah darinya. Menambah kabut intoleransi antar agama di Indonesia. Memangnya tidak capai, ya, ribut terus? Sepulang kerja, tenaganya sudah terkuras, masak masih harus meributkan pilihan hidup orang lain.

Beberapa tahun terakhir, muncullah akun Garis Lucu di media sosial. Seperti Nahdlatul Ulama (NU) Garis Lucu yang sekarang memiliki pengikut di Twitter lebih dari 944 ribu. Dalam sebuah diskusi di Twitter Space yang diadakan pada 10 April 2023, adminnya bercerita bahwa @NUgarislucu mulai dikenal banyak orang sejak mereka membahas isu santri dengan guyonan.

Lalu muncul juga Muhammadiyin dan komunitas agama lain, Protestan, Katolik, Buddha, Konghucu, dan Hindu. Ada juga yang berbasis ekspresi beragama, yaitu Cadar Garis Lucu. 

Pada 10 April itu, akun Twitter @GUSDURian menggelar “Pojok Ramadan GUSDURian: Melawan dengan Lelucon” via Twitter Space. Mereka mengajak berbagai akun Garis Lucu. Beberapa sekadar saling tahu, beberapa sudah kenal dekat. 

BACA JUGA:

Riset: Anak Muda di Indonesia Memiliki Toleransi Beragama yang Tinggi

Riset INFID: Mayoritas Orang Muda Indonesia Toleran, Tapi Tolak Presiden dari Agama Minoritas

Saling Gelitik, Kritik, dan Bikin Gimmick

Dalam kegiatan itu, guyonan yang dilemparkan beragam. Ada yang nge-roast budaya agama lain, seperti salah satu admin perwakilan akun Twitter @KatolikG atau @MuhammadiyinGL. Mereka sama-sama bersombong ria di depan NU Garis Lucu yang selesai puasanya terakhir.

Ada juga @GlHindu yang sekali serang langsung dua agama. 

“Kalau secara agama kita paling tua lah, ya. Tapi di Twitter ini, NU yang paling tua kelihatannya. Follower-nya juga paling banyak. Jadi kalau buzzeRp, itu dia paling kaya dan mahal bayarannya,” lontar admin Hindu Garis Lucu yang dipanggil Bli.

Sedikit konteks, sebelumnya mereka membahas sepintas bahwa mereka sering kali dituduh menjadi buzzeRp–istilah untuk buzzer yang dibayar untuk mempublikasi sesuatu sesuai “agenda” pemerintah.

“Kalau bayarannya berdasarkan follower, dia yang paling banyak, tapi yang paling banyak punya ruko kelihatannya si Konghucu Garis Lucu itu,” lanjutnya.

Atau, malahan ada juga yang datang-datang  malah nge-roast diri sendiri, seperti perwakilan admin @BuddhisGL (Ombud) dalam sesi berkenalan.

“Oke, selamat malam. Jadi sebelum mulai, izinkan Ombud berjualan. Yang perlu air mineral, susu kotak, kue, silakan itu ada Akong yang biasa buka lapak. Ya, kami sebagai warga turunan ya memang garisnya sudah harus berjualan di mana pun kami berada,” buka Ombud.

Aku sebelumnya tidak pernah mengetahui tentang berbagai akun Garis Lucu ini. Baru menemuinya saat dikenalkan orang lain beberapa waktu terakhir. Jadi, pas mendengarkan, belum terbiasa dengan candaannya. 

Lagi-lagi, karena orang Indonesia di sekitarku tidak banyak yang menjadikan agama sebagai guyonan dan umumnya membahas agama secara sangat serius dan cenderung tegang. Berbeda dengan negara lain seperti Amerika Serikat yang sepertinya terlebih dahulu melunakkan pembahasan agama. Aku sering menjumpai agama yang diparodikan atau meme tentang agama.

Oleh karenanya, selama percakapan berlangsung, aku sempat beberapa kali tersentak dan berpikir, “Waduh, aman nggak, tuh?”.

Acara daring ini diadakan pukul 21.00 WIB. Seharusnya orang sedang beristirahat. Senin pula. Tidak disangka, lebih dari 400 akun ikut mendengarkan, berkomentar, dan melempar pertanyaan. Hebat, ya, bagaimana GUSDURian dan berbagai komunitas Garis Lucu ini artinya berhasil menggaet audiens untuk turut menikmati guyonnya. 

Sehari-hari, akun Garis Lucu menyajikan beragam konten. Ada yang berwujud satir terhadap apa yang baru-baru ini terjadi–riding the wave istilah gaulnya. Ada juga yang saling adu cuitan dengan akun Garis Lucu lain walau ternyata berantemnya hanya gimmick saja.

Walau terlihat mudah, sebenarnya aktivitas ini diakui admin Katolik Garis Lucu (Katomin) sebagai upaya “penguasaan diri” agar terhindar dari egoisme. Penguasaan untuk melawan ego yang senang dengan kebencian dan permusuhan. 

Katomin ingin menunjukkan bahwa implementasi agama apa pun seharusnya didasari kasih dan rasa hormat sesama manusia. Itu yang seharusnya terwujud dalam lingkungan dengan keberagaman agama. Manusia pun perlu menginterpretasi agama yang dipeluknya dengan bijaksana.

Kebanyakan dari mereka mengaku permulaan dibuatnya akun Garis Lucu adalah karena keresahan. Keresahan NU Garis Lucu, misalnya, bahwa netizen terlalu candu dengan media sosial. Sampai-sampai membahas berbagai isu terlalu intens walau seharusnya “tidak perlu diseriusin banget”.

Di satu sisi, aku setuju dengan ucapan admin NU Garis Lucu. Ya, benar. Tidak semua postingan buruk harus kita viralkan. Intinya, stop making stupid people famous.

Di sisi lain, aku merasa isu di media sosial juga ada yang perlu dibawa serius, tergantung besar dampaknya. Jika seorang figur publik menyebarkan kebencian, itu akan berbahaya, terlebih jika ia punya banyak pengikut. Jadi, ada yang perlu dijustifikasi juga. 

Terlepas dari itu, di tengah isi Twitter yang chaotic dan dramatic, tentu kita perlu rehat juga. Jangan sampai isi lini masa media sosial kita isinya perhelatan saja. “We are what we eat consume”. Itulah mengapa akun Garis Lucu hadir di berbagai platform.

BACA JUGA:

Sista, Bagaimana Kamu Menyikapi Intoleransi?

Tak Mau Jadi Korban Intoleran, Para Perempuan Jadi Pelopor Perdamaian

Selain menyegarkan suasana, salah satu akun Garis Lucu memiliki agenda yang khusus. Adalah Cadar Garis Lucu yang berusaha menggunakan guyonan untuk melawan kekerasan dan mematahkan stigma tentang perempuan bercadar. 

“Kami ingin meramaikan [bahwa perempuan] cadar ada juga, loh, yang asik-asik, gitu. Bisa denger lagu, gitu. Bisa ketawa-ketawa. Jadi, gitu saja, ini memang grup lucu-lucuan saja untuk sebagian teman-teman bercadar yang mau,” jelas admin Cadar Garis Lucu yang kemarin disebut sebagai Mbak Cadar.

Stereotip yang sering kali diterima perempuan bercadar adalah pasti beragama Islam, konservatif, dan tidak toleran. Mba Cadar menjelaskan bahwa mereka sering kali dianggap tidak mau bergaul dengan orang yg berbeda pakaian, apalagi agama. Cadar Garis Lucu lalu membuktikan dengan membangun tim dengan sembilan perempuan yang agamanya beragam. 

Selain itu, akun Garis Lucu juga sering menerima tantangan. Misalnya, seperti yang tadi sudah dibahas, mereka dituduh sebagai buzzeRp. Lainnya, Ombud mengakui pernah dituduh fobia dengan agama Islam.

Mereka juga kerap menerima kritik dari netizen yang satu agama. Misalnya, Muhammadiyin Garis Lucu (MGL) pernah dianggap tidak menghargai sehingga mereka memutuskan untuk ganti nama jadi yang sekarang.

“MGL ini memang sempat ada beberapa sahabat dan kawan yang protes, ‘Muhammadiyah, kok, dibuat lucu-lucuan?’ sehingga [kami ganti] akhirnya karena kami kan orangnya low profile–bukan seseorang yang suka meladeni hal seperti itu, seperti teman-teman yang lain. Kita kan memang karakternya agak berbeda ya, dibanding NU, Hindu, dan Katolik yang suka bikin ricuh di timeline.”

Pembahasan lagi serius begini pun masih bisa bercanda, ya, admin satu ini.

Atau Protestan Garis Lucu yang diceritakan sempat menerima komentar “Jangan ngomongin Kristen kalau kamu bukan Kristen” dari netizen.

Admin Katolik Garis Lucu (Katomin) menyayangi kejadian yang dialami berbagai akun lainnya. Mereka pun kerap menerima protes yang sama. Beberapa netizen datang ke mereka dan menjelaskan bahwa agama itu sakral sehingga tidak bisa untuk guyonan.

“Membawa nama agama dituntut untuk membawa pengajaran-pengajarannya juga. Itu yang sering kali orang salah kaprah. Pengajaran itu kan tidak harus tentang ajaran itu sendiri, tetapi nilai yang mendasari kita melakukan sesuatu juga. Jadi, kalau kita menyampaikan sesuatu dengan santai dan penuh kasih, orang akan melihat itu sebagai pengajaran juga. Bahwa agamanya membawa sesuatu yang baik,” ucak Katomin.

Saat mendengar ini, terlintas di kepalaku juga bahwa pengajaran tentang agama tidak melulu tekstual, tetapi bisa implisit dengan menerapkan nilai-nilai dalam keseharian kita. Tentu membenci dan berbuat kasar dengan pemeluk agama lain bukan nilai ajaran agama, kan?

Di akhir, Heru Prasetia yang menjadi host menanyakan bagaimana strategi yang dilakukan para akun Garis Lucu dalam menghadapi netizen yang kontra. Beberapa menyebut memanggil tim khusus atau membuka diskusi internal agar dapat menyampaikan jawaban yang tepat.

Namun, ada-ada saja jawaban Katomin dan Muhammadiyin. Dari segi menahan emosi, Katomin menyebutkan bahwa respons mereka tergantung “tanggal”.

“Kalau tanggal tua, kita cenderung emosi memang.”

Tidak kalah “belok”, Muhammadiyin mencurahkan isi hatinya bahwa mereka juga sering kali bingung bagaimana membagi tugas dalam tim.

“Kadang kita bingung, dari dulu transferannya buzzeRp nggak pernah masuk, kok disuruh ngurusin sama tim. Kadang kita susah juga, nanti yang dibagi sama tim apa? Bagi beban penderitaan?”

Harapannya, sih, akun Garis Lucu ini semakin dapat diterima oleh masyarakat luas. Bahwa pengajaran agama tidak melulu harus serius, bisa juga dibawa dalam suasana yang santai. Tidak usah tegang-tegang amat, gitu.

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!