Dunia Harus Dipimpin Perempuan Ketika Diplomasi Negara Gagal Dilakukan Laki-laki 

Jika dunia saat ini dipimpin oleh para pemimpin perempuan, apakah perang akan terus terjadi? Yang dibutuhkan saat ini adalah diplomasi gender yang seimbang.

Apakah pemimpin Rusia harus dipimpin oleh seorang perempuan? Setelah bertahun-tahun terjadi machismo hipermaskulin dilakukan oleh Vladimir Putin, baik sebagai presiden maupun perdana menteri, mungkin sulit dibayangkan. 

Tapi sebenarnya hal itu bukan sesuatu yang mengada-ada, karena ada sembilan ratu yang sebenarnya pernah memerintah di Rusia dari abad ke-10 hingga ke-18. Posisi mereka sebagai kepala negara. Tetapi setelah itu, mereka “hanya” sebagai permaisuri.

Bagaimana dengan di Ukraina? Siapa yang bisa melupakan primadona politik Ukraina Yulia Tymoshenko yang memesona, dengan tatanan rambut kepang khasnya, menjabat sebagai perdana menteri pada 2005 (Februari hingga September) dan dari Desember 2007 hingga Maret 2010? Sejak Mei 2019, kita memiliki Volodymyr Zelensky, komedian yang menjadi politikus dan presiden Ukraina saat ini. Dari komedi menjadi tragedi.

Jika para pemimpin Rusia dan Ukraina adalah perempuan, apakah perang saat ini akan berlarut-larut hingga setahun lebih, bahkan, apakah perang itu akan pernah terjadi? Apakah mereka akan menggunakan diplomasi di meja perundingan, untuk menghindari katastrofi bagi Ukraina, bencana bagi Rusia sendiri dan bahaya krisis berkepanjangan di Eropa dan bahkan dunia, termasuk risiko perang nuklir?

Saya tidak mengatakan bahwa pemimpin perempuan tidak cenderung berperang. Namun kita hanya perlu mengingat ada Indira Gandhi (1917-1984) dan Pakistan, Golda Meir (1898-1978) dan Perang Yom Kippur dan Margaret Thatcher (1925-2013) dan Falklands.

Namun tentu saja ada kebutuhan yang lebih besar akan diplomasi di dunia saat ini, untuk mengkomunikasikan realitas secara verbal, ketimbang perang atau aksi militer yang “secara fisik mengkomunikasikan keinginan pemerintah dengan upaya menghapus perlawanan terhadap mereka”.

Mengingat bahwa diplomasi diasosiasikan dengan sifat-sifat feminin seperti kolaborasi, akomodasi, kompromi, dan empati, yaitu memahami posisi, emosi, dan kebutuhan pihak lain, mengapa tidak lebih banyak perempuan dalam debut diplomasi ini?

Karena seperti politik, diplomasi didominasi laki-laki.

Di seluruh dunia, ada 15 persen perempuan bekerja sebagai diplomat, dengan variasi regional. Di negara-negara Nordik, mereka mencapai 35 persen, Amerika Serikat 25 persen, di Asia dan Timur Tengah masing-masing 10 dan 6 persen; di Amerika Selatan, Afrika, dan Eropa (tidak termasuk negara-negara Nordik), jumlahnya sekitar 15 persen.

Untuk mendalami lebih dalam soal kesetaraan gender dalam diplomasi, Pusat Keadilan Gender, Disabilitas, dan Inklusi Sosial (GEDSI) mengundang dua pembicara dalam webinar bertajuk “Evolusi Gender Perempuan dalam Diplomasi”.

Pembicara pertama adalah Siti Nugraha Mauludiah alias Ibu Nining, diplomat karir, mantan Dubes RI untuk Polandia (2019-2021) dan saat ini menjadi koordinator pengarusutamaan gender (PUG) di Kementerian Luar Negeri (Kemlu).

Yang kedua adalah Francisco Aguilera, duta besar Spanyol untuk Indonesia, yang berbicara tentang topik terkait: Kebijakan Luar Negeri Feminis Spanyol yang telah diadopsi negara tersebut sejak 2021.

Webinar tersebut dimoderatori oleh Fitriani Bintang Timur, peneliti senior di Center for Strategic and International Studies (CSIS), yang spesialisasinya mengenai partisipasi perempuan dalam operasi pemeliharaan perdamaian internasional. Orang yang tepat sekali untuk memoderasi webinar ini, bukan? Lain kali saya akan memintanya untuk menjadi nara sumber, untuk berbicara tentang spesialisasinya – yang sangat penting, dan yang belum cukup kita ketahui.

Saya sangat terkesan dengan pemaparan Ibu Nining yang menunjukkan betapa canggihnya program PUG di Kemlu ini. Berdasarkan Peraturan Kementerian Luar Negeri No. 21 Tahun 2020, program ini bertujuan untuk mengarusutamakan kebijakan gender dalam hubungan internasional di lingkungan kementerian di Jakarta dan juga di perwakilan di luar negeri.

Kemlu juga memfasilitasi pasangan diplomat Indonesia, baik istri maupun suami dalam dinas luar negeri, termasuk duta besar, untuk ditempatkan di negara atau kota tetangga, untuk memudahkan mereka saling mengunjungi.

Nah, mengingat Retno Marsudi, menteri luar negeri sejak 2014 adalah perempuan, akan mengherankan jika kementeriannya tidak sadar gender. Memang Inpres No. 9 telah disahkan pada tahun 2000 untuk mengarusutamakan gender dalam seluruh tahapan pembangunan nasional, baik di tingkat pusat hingga daerah. Semoga siapapun yang menggantikan Ibu Retno, program pengarusutamaan gender di Kemlu tetap kuat.

Sebagai bagian dari program ini, anggaran pengarusutamaan gender yang berperspektif gender diadopsi juga di Kemlu. Mereka juga memiliki infrastruktur yang responsif gender seperti fasilitas penitipan anak, ruang laktasi, musala perempuan dan tentu saja, lingkungan ramah disabilitas untuk kedua gender.

Namun, seperti yang juga ditekankan oleh Ibu Nining, tantangannya masih berat: untuk meningkatkan pemahaman dan mengatasi kesalahpahaman umum tentang kesetaraan gender, untuk melibatkan lebih banyak laki-laki dalam prosesnya dan tentu saja, untuk bekerja dalam masyarakat yang sangat patriarkal di Indonesia, di mana seksisme, bahkan pola pikir misoginis dianggap normal.

Presentasi Duta Besar Aguilera dalam banyak hal sejajar dengan pemaparan Ibu Nining. Diadopsi pada tahun 2021, Kebijakan Luar Negeri Feminis Spanyol (Spain’s Feminist Foreign Policy, SFFP) adalah tentang “pelibatan perempuan dalam pengambilan keputusan di tingkat internasional, mempromosikan keterwakilan dan partisipasi mereka [dan] integrasi perempuan di semua bidang diplomasi Spanyol”.

Tujuan dan sasaran SFFP adalah untuk mengatasi tantangan saat ini terhadap kesetaraan gender dalam masyarakat, untuk memperkuat kerja sama internasional dan untuk mempromosikan perempuan dalam dinas luar negeri Spanyol.

SFFP memiliki lima jalur tindakan: 1. Perempuan, perdamaian dan keamanan, 2. Kekerasan terhadap perempuan dan anak; 3. Hak asasi manusia, 4. Partisipasi perempuan dalam ruang pengambilan keputusan dan 5. Keadilan ekonomi dan pemberdayaan. Secara khusus, salah satu tujuannya adalah untuk mencegah dan menuntut kejahatan terhadap perempuan, misalnya perdagangan manusia dan kekerasan seksual dalam konteks konflik dan kemanusiaan.

Melihat angka-angka tersebut, terlihat jelas korelasi antara jumlah perempuan dalam diplomasi dengan kesetaraan gender dan indikator pembangunan di suatu negara atau wilayah tertentu (lihat Global Gender Gap Report 2022).

Jelas, pasal 5 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) untuk mengeliminasi segala bentuk stereotip yang disebabkan oleh budaya, termasuk ajaran dan interpretasi agama yang misoginis, masih jauh dari implementasi negara, termasuk negara Indonesia. .

Dunia saat ini dilanda krisis yang bersifat global, yang menuntut negara-negara berkolaborasi dan menghadapi tantangan bersama. Diplomat diperlukan untuk perdamaian dan keamanan, perdagangan internasional, kerja sama pembangunan internasional, untuk menjaga hubungan, perdamaian dan untuk memperkuat ikatan, dan untuk saling mendukung.

Semoga keterwakilan perempuan yang lebih banyak dalam posisi kekuasaan dan pengambilan keputusan dalam diplomasi dan politik dapat menghasilkan fokus dan penekanan yang lebih besar pada keamanan manusia (human security) yang merangkul kemanusiaan, daripada keamanan negara (state security) yang melihat tetangga sendiri sebagai ancaman.

(Artikel ini telah diterbitkan di The Jakarta Post dalam Bahasa Inggris pada 1 Maret 2023, dimuat kembali dengan seizin penulis)

Julia Suryakusuma

Penulis buku "Ibuisme Negara" dan "Jihad Julia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!