Dicap ‘Perempuan Tidak Benar’: Stop Stigmatisasi Perempuan Positif HIV 

Perempuan positif HIV lagi-lagi jadi pihak yang seringkali disalahkan. Dia tak jarang mendapat stigma negatif sebagai “perempuan tidak benar”, disamping juga acapkali jadi satu-satunya yang disalahkan saat anak tertular HIV positif. Namun, persoalan dari mana perempuan bisa tertular HIV positif dan bagaimana upaya pencegahannya malah tak benar-benar dipedulikan.

P adalah perempuan yang hidup dengan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) sejak 2007. Saat itu, suaminya sedang dirawat karena menunjukkan gejala AIDS wasting. Suami P buang air secara berlebihan dan tubuhnya ditumbuhi jamur.

Rumah sakit yang dikunjunginya saat itu tidak dapat menangani HIV/AIDS. Dokter hanya dapat menginformasikan P bahwa suaminya terkena penyakit yang menyerang kekebalan tubuh. Atas rekomendasi dokter, P melakukan tes bersama anaknya di fasilitas kesehatan lain untuk memastikan bahwa mereka tidak tertular. Ternyata hanya dia yang positif.

Penularan human immunodeficiency virus (HIV) dapat terjadi lewat empat jalur utama, yaitu hubungan seksual penetrasi/anal tanpa proteksi, transfusi darah, atau penggunaan jarum suntik/peralatan medis yang tidak steril. Penularan juga dapat terjadi lewat kontak ibu ke anaknya di kandungan, dalam proses melahirkan, atau saat menyusui.

Perjalanan satu tahun awal berstatus sebagai orang yang hidup dengan AIDS (ODHA) diakui P terasa sulit. Ia sempat cemas bahwa menjadi seorang ODHA akan membatasinya dalam beraktivitas sehari-hari. 

Walau belum mengetahui secara pasti bagaimana bisa tertular, P memutuskan untuk berdamai dengan hidupnya yang baru. Seiring waktu, P meninggalkan segala rasa takut dan internalisasi stigma negatif dalam dirinya tentang ODHA.

“Stigma diri sendiri itu memang lebih berbahaya dari lingkungan sekitar. Itu pernah saya rasakan waktu itu. Saya ngerasa, ‘Oh, hidup gua ngga akan lama. Gua ngga ada apa-apanya.’ Sampai saya menyalahkan suami saya yang sedang sakit parah waktu itu,” ujar P saat berbincang dengan Konde.co beberapa waktu lalu.

Kisah P hanyalah satu gambaran kecil dari ODHA khususnya perempuan yang berada di Indonesia. Bukan saja mesti berjuang melawan penyakit dan penerimaan diri, mereka juga harus melawan  stigmatisasi atas kondisinya. 

Per Desember lalu, Laporan Kerja 2022 Kementerian Kesehatan mencatat jumlah ODHIV yang telah mengetahui status dirinya sebesar 429.215. Namun, hanya 179.659 orang (42%) yang sedang menerima pengobatan antiretroviral (ARV). 

Pencapaian Indonesia untuk program 95-95-95 masih jauh: 81-42-19. (Kementerian Kesehatan, 2022)

Mengapa hal itu terjadi? Selain keterbatasan akses untuk mendapatkan obat, ODHIV/ODHA dikatakan Legal Expert JIP I Made Adi Mantara masih takut mengakui bahwa dirinya positif.

“Dari yang sudah testing, ternyata yang berani buka hasil dan tahu hasilnya positif itu nggak banyak karena mereka takut,” ucap Adi pada acara media briefing JIP yang diselenggarakan di Hotel ibis Styles Tanah Abang pada Rabu, (15/3).

Jaringan Indonesia Positif (JIP) menganggap bahwa stigma terkait ODHIV/ODHA menjadi salah satu tantangan JIP untuk menjangkau masyarakat. Salah satunya adalah prasangka bahwa penularan HIV hanya terjadi kepada populasi kunci. Mereka adalah pekerja seks, lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL), dan pengguna narkotika suntik. Populasi kunci adalah kelompok yang berisiko dan rentan, tetapi bukan berarti orang di luar populasi kunci tidak dapat tertular.

Selain itu, ada juga asumsi bahwa HIV/AIDS dialami oleh orang yang pernah berhubungan seksual dengan lebih dari satu pasangan. Ini dialami Adi saat mengajak orang di sekitarnya untuk melakukan tes HIV. Salah satu kawannya percaya bahwa dirinya jauh dari HIV karena “kenal sama pasangannya” dan tidak “suka jajan cewek”.

Stigma tersebut juga memunculkan tantangan tersendiri bagi JIP. Program Division Manager JIP Timotius Hadi mengungkapkan bahwa mereka belum dapat secara efektif menjangkau kelompok yang jauh dari hot spot (tempat populasi kunci biasanya berada). 

“Ada tim yang turun ke pengguna NAPZA. Sekarang ada penjangkauan female sex worker. Ada penjangkauan teman-teman transpuan. Tapi kami yakin bahwa ada orang-orang yang tidak tersentuh. Misalnya, sisi ekonominya tinggi sekali. Itu kan pasti nggak akan ketemu di jalan, toh.”

Padahal, pemerintah Indonesia selama ini berkeinginan mencapai target 95-95-95 dalam penanganan kelompok ODHIV/ODHA. Namun, sayangnya, strategi pemerintah masih terhambat oleh stigma HIV yang ada di masyarakat. Padahal, kasusnya tinggi.  

Pada 2021, Joint United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) sempat menyatakan bahwa Indonesia adalah negara dengan estimasi jumlah ODHIV tertinggi se-Asia Tenggara. Walau ada penurunan estimasi dalam beberapa tahun terakhir, Kemenkes menilai bahwa ada peningkatan kasus pada populasi kunci tertentu, yaitu LSL dan transpuan. 

Pemerintah lalu memberlakukan community-based screening (CBS) sebagai tahap tambahan sebelum testing. CBS dianggap menjadi strategi serupa dengan Mobile VCT yang lebih efektif untuk menjangkau kelompok berisiko

Namun, upaya ini mungkin dapat menjadi pedang bermata dua. Seharusnya program CBS juga diberlakukan secara umum sehingga berangkat dengan pandangan bahwa setiap orang bisa tertular HIV. Sebab, heteroseksual menjadi faktor penularan lewat hubungan seksual tertinggi (69,3%), jauh di atas homoseksual (9,6%) yang dianggap lebih berisiko.

Lebih lanjut, penularan HIV oleh ibu ke anaknya dalam kandungan atau selama menyusui (vertical transmission) masih tinggi di Indonesia. Kemenkes melaporkan bahwa sampai Juni 2022, sebanyak 19.826 ibu rumah tangga (IRT) dan sekitar 4.743 anak berumur sampai 14 tahun hidup dengan AIDS. 

Ikatan Dokter Anak Indonesia mencatat bahwa 90% penularan HIV ke anak adalah dari ibunya.  Penularan ini dapat dicegah jika ibu yang sedang mengandung dengan HIV/AIDS melakukan pemeriksaan dan penanganan, salah satunya lewat program pemerintah yaitu prevention of mother-to-child transmission (PMTCT). 

Ada 4 prompts pencegahan HIV dalam program PMTCT. Yang pertama pada perempuan di usia produktif. Yang kedua, kehamilan tidak direncanakan pada perempuan yang hidup dengan HIV. Yang ketiga, transmisi HIV pada ibu ke anaknya di dalam kandung. Yang terakhir adalah perawatan, pelayanan, dan dukungan untuk keluarga yang hidup dengan atau dekat dengan HIV.

Stigma Perempuan Positif HIV 

Deteksi dini dan rutin perlu dilakukan ibu yang mengandung. Namun, stigma yang sebelumnya dijabarkan tersebut memunculkan suatu dikotomi tentang “perempuan baik” dan “perempuan tidak baik”, sebut Aditya Wardhana, aktivis ODHA yang saat ini menjadi Executive Director dari Indonesia AIDS Coalition (IAC).

Aditya menilai bahwa stereotip represif di Indonesia masih menghambat perempuan untuk mengekspresikan seksualitas dan hasrat seksualnya. Perempuan masih ditekan menjadi sosok atau figur yang “suci”. 

“Jadi ketika seorang perempuan terkena HIV positif, imej yang tertanam di lingkungan keluarga dan terdekat ‘Wah ini perempuan nggak bener, nih’,” jelas Aditya kepada Konde.co melalui sambungan telepon pada Jumat, (7/4).

Selanjutnya, kasus anak yang hidup dengan HIV pasti ditularkan oleh oleh ibunya, baik di dalam kandungan maupun ASI. Jadi, lagi-lagi perempuan yang disalahkan. 

“Begitu ada seorang anak dengan HIV, stigma bahwa ibunya ‘tidak benar’ itu pasti sangat melekat, tanpa mau melihat bagaimana perempuan itu ditularkan dari mana,” nilai Aditya.

Pencegahan penularan dari ibu ke anak ini dapat dicegah secara maksimal jika ibu hamil mengetahui kondisinya sebagai ODHIV dan menerima pengobatan ARV. 

Prof. dr. Zubairi Djoerban menjelaskan bahwa jika tidak meminum ARV, ibu hamil dapat menularkan ke bayi yang dikandungnya dengan risiko 15–30%. Sebaliknya, meminum ARV sejak trimester satu atau dua dapat menurunkan risiko bayi tertular sampai 0%.

“Pasien pasien saya sendiri yang ibu hamil yang minum ARV, maka bayinya tidak ada satu pun yang tertular. Masalahnya banyak ibu hamil yang tidak periksa HIV,” ujar Zubairi dihubungi Konde.co pada Jumat (7/4).

Selain itu, penamaan program PMTCT yang masih menekankan bahwa hanya “ibu” masih bias. Seakan yang bertanggung jawab pada penularan terhadap anak hanyalah pihak ibu, tanpa keterlibatan suaminya. Kemenkes masih menggunakan istilah PMTCT walau sekarang sudah terdapat alternatif penyebutannya menjadi “parent-to-child” (PPTCT).

“Sebenarnya kita lebih condong pakai PPTCT sih. Artinya parent-to-children karena kan sebenarnya untuk mencegah HIV itu adalah peran kedua pasangan laki-laki dan perempuan, baik menikah maupun tidak menikah. Bukan hanya dibebankan kepada si perempuan saja,” ucap Aditya.

Sudah menerima stigma negatif, perempuan ODHIV/ODHA juga kerap menerima kekerasan. Diskriminasi masih kerap terjadi pada kelompok ODHIV/ODHA bahkan di tempat yang seharusnya menjadi ruang aman untuknya. Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) mengumpulkan laporan data kekerasan terhadap perempuan positif pada 2022. Kasus kekerasan yang kerap dialami adalah fisik dan psikis. Beberapa di antaranya dilarang untuk melanjutkan pengobatan atau menebus obat ARV oleh keluarga mereka sendiri.)

Let’s Break the taboo!

Miskonsepsi terkait seksualitas dan minimnya pemahaman soal penyakit menular masih banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Terlebih lagi, edukasi kesehatan seksual dan reproduksi (kespro) dalam sektor pendidikan formal dan informal masih absen, atau bahkan menggunakan pendekatan yang menakut-nakuti. Sementara, konten-konten pornografi yang menayangkan aktivitas seks berisiko justru marak di sosial media atau platform daring. 

“Kita harus menyadari bahwa laki-laki dan perempuan memang memiliki gairah seksual ketika dia berumur dini, artinya ketika dia di masa sekolah. Seharusnya program pencegahan HIV itu sudah masuk di tingkat sekolah-sekolah, bukan malah mengajarkan hal yang menimbulkan stigma dan diskriminasi, atau menakut-nakuti,” kata Zubairi. 

Misalnya, dengan menerapkan International Technical Guidance on Sexuality Education (ITGSE) yang dikeluarkan oleh UNESCO. Secara rinci, mereka menjelaskan kunci pokok pelajaran terkait kespro berdasarkan kategori umur, dari anak sampai dewasa. Buku ini dapat dijadikan sebagai panduan untuk sektor pendidikan, baik formal maupun informal.

Zubairi menekankan bahwa pendidikan formal terkait kespro harus disesuaikan dengan umur penerimanya.

“Misalnya, kalau mahasiswa, ya, harus tahu sampai rinci. SMA perlu tau dengan rinci juga, tapi dengan bahasa yg mudah dipahami. Kalau SD-SMP agak beda, sekadar pengantar mengenai kespro saja. Pendidikan nonformal oleh peers atau teman sebaya dalam bentuk dialog atau diskusi juga penting.”

Sayangnya pengetahuan tentang PMS bahkan masih minim dimiliki beberapa orang dewasa. Itu bisa dilihat misalnya saat aku sendiri menyaksikan bagaimana para media menanyakan informasi soal HIV/AIDS, yang sebenarnya begitu umum. Misalnya soal “Apa beda HIV dan AIDS?”, lalu “Bagaimana bentuk penularannya?” 

Ini sangat disayangkan bahwa media sebenarnya memiliki peran penting dalam mengedukasi publik dan merepresentasikan kelompok rentan. Namun, kenyataannya, pemahaman media terkait itu juga masih jauh. Bagaimana jika minimnya pengetahuan ini malah menyebabkan pemberitaan kemudian menjadi condong ke stigmatisasi kelompok ODHIV/ODHA?

Selain pada kelompok ODHIV/ODHA Aditya merekomendasikan pemerintah juga untuk  lebih gencar dalam memberikan edukasi kepada staf di dalam pelayanan kesehatan. Misalnya, kepada dokter obstetri dan ginekologi (obgin), perawat bagian obgin, puskesmas, bidan kampung, dan seluruh rumah sakit yang ada di Indonesia, baik swasta maupun pemerintah. 

Pemerintah juga harus tetap mengedukasi rumah sakit sekalipun tergolong elit, lagi-lagi dengan perspektif bahwa semua orang berisiko tertular.

Menurutnya, tokoh agama juga berperan penting dalam mengedukasi soal seksualitas dan bagaimana publik bisa menghapus stigma terhadap kelompok ODHIV/ODHA. Menurutnya, stigmatisasi yang diucapkan oleh tokoh agama jauh lebih berat untuk ODHIV karena agama adalah apa yang kita pegang sejak lahir.

“Sekali mendapatkan pemahaman yang keliru mengenai HIV, dia [tokoh agama] bisa men-judge orang dengan HIV bahwa mereka nggak akan selamat di dunia dan akhirat [sehingga memunculkan pemikiran] ‘Gila, di dunia aja nggak selamat, di akhirat juga. Kasian banget, ini orang’.”

P juga merasakan program pencegahan yang dilakukan IPPI masih terhambat karena seksualitas masih dianggap tabu oleh pemerintah. Program membagikan kondom kepada pekerja seks dianggap berusaha melegalkan prostitusi. Padahal, kontrasepsi KB Kondom dapat efektif mengurangi risiko penularan PMS hingga 98%.

“Setiap ada razia dari BNN yang kita temui di tempat hiburan, mereka nge-razia ke loker. Ditemukan kondom, jadi barang bukti,” cerita P, Rabu (15/3).

Tidak hanya P, JIP juga mengalami kendala yang sama. Program pembagian jarum suntik steril sempat ditentang karena dianggap mengizinkan orang menggunakan narkotika. Tentangan ini berdalih pada asumsi bahwa semakin diperbolehkan, semakin banyak orang akan pakai narkotika.

“Tetapi ternyata itu tidak terjadi. Ada tidak ada jarum, orang tetap pakai narkoba. Sama dengan ini–ada tidak adanya skema testing [HIV] ini, orang akan tetap berhubungan seks,” sebut Adi.

Zubairi menambahkan bahwa banyak aspek yang dapat dikerjakan pemerintah, yang tidak terbatas pada Kemenkes saja.

“Pemerintah ini tidak hanya Kemenkes, tapi juga Kementerian Sosial atau Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Usaha dimulai dengan turun lapangan, sesuai dengan sektor terkait sehingga tahu data dari lapangan.” 

IPPI, melalui laporan penelitian terkait PMTCT, merekomendasikan pemerintah untuk melakukan berbagai pengembangan programnya agar mendukung keadilan untuk perempuan, antara lain melakukan pengubahan nama program dari PMTCT menjadi PPTCT, sehingga peran pencegahan bisa dilakukan kedua orang tua. 

Tak kalah penting, perlu pula upaya peningkatan mutu pelayanan konseling agar mengakomodasi isu perawatan, penanganan, dukungan oleh keluarga terhadap perempuan dengan HIV, termasuk nutrisi dan pemberian makan bayi. 

Di samping, meningkatkan perhatian khusus pada kekerasan terhadap perempuan, baik fisik, psikis, maupun seksual, terhadap ODHIV dalam pelayanannya, termasuk menambahkan layanan rujukan untuk korban kekerasan. Lalu, melakukan penambahan materi Hak Kespro yang berlandaskan pada HAM dalam pelatihan petugas layanan PMTCT.

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!