Dipanggil ‘Pak’ Arti Nama dan Identitas Dalam Hidup Transgender 

Tiba-tiba saya dipanggil “pak” gara-gara saya menuliskan nama saya Jsuryakusuma di akun WhatsApp. Pengalaman ini membuat saya berpikir, saya saja, sebagai perempuan, kesal dianggap sebagai laki-laki. Bayangkan bagaimana rasanya buat teman-teman transgender kita.

Minggu lalu saya harus membuat paspor baru karena paspor lama telah habis pada tahun 2020. Akibat pembatasan perjalanan saat pandemi Covid-19, saya tidak perlu memperbaruinya, tetapi tahun ini, anak saya mengundang saya untuk berIdul Fitri di Singapura tempat dia tinggal dengan anak-istrinya, jadi jelas saya butuh paspor.

Saya adalah anggota Grup WhatsApp RW, jadi saya memutuskan untuk menanyakan apa persyaratan dan proses mendapatkan paspor karena sudah lama sejak terakhir kali saya melakukannya. Salah satunya, seorang laki-laki, menjawab dan menyapa saya dengan sebutan “Pak”. Saya mengucapkan terima kasih kepadanya atas keterangan yang ia berikan, dan juga memberitahunya, saya perempuan. 

Dia membalas dengan mengatakan lagi “Sama-sama Pak”. Saya ulang lagi, saya perempuan, jelas sekali saya menulis nama saya di teks WhatsApp: “Julia”. Rupanya, dia hanya membaca jsuryakusuma (nama saya di Grup WhatsApp), otomatis dia  menganggap saya laki-laki, dan tidak berubah pikiran sampai saya memberitahunya tiga kali. Oalah!

Simone de Beauvoir menulis bukunya yang inovatif, kontroversial, dan paling terkenal The Second Sex pada tahun 1949, tetapi tampaknya pada tahun 2023, perempuan masih saja gender dan jenis kelamin kedua. Patriarki memang sangat kokoh berakar. Seharusnya aspek-aspek buruk patriarki dicerabut dan dibuang, agar  kita bisa lebih manusiawi dan menerima serta menghargai perbedaan, tak terkecuali perbedaan gender dan seksual.

Pengalaman saya membuat saya berpikir, saya saja, sebagai perempuan, kesal dianggap sebagai laki-laki. Bayangkan bagaimana rasanya bagi teman-teman transgender kita.

Tanggal 31 Maret adalah Hari Visibilitas Transgender Internasional. Sudah saatnya bagi mereka untuk terlihat dengan cara yang terhormat dan mendapatkan hak-hak yang layak mereka dapatkan sebagai manusia dan warga negara. 

Salah satu hak kewarganegaraan adalah memiliki KTP, karena memberikan status hukum. Masalahnya,  penampilan atau gender mereka dalam foto transgender, tidak sesuai dengan jenis kelamin yang mereka cantumkan di kolom tersebut. Namun kini, seorang transpuan bisa menggunakan foto penampilan perempuannya meski secara biologis laki-laki, tertera di kolom jenis kelamin. Demikian juga sebaliknya untuk seorang transpria.

Dulu hal ini tidak mungkin atau sangat sulit. Untungnya, sekarang Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) memungkinkan transgender memiliki e-KTP, tetapi hanya ada dua jenis kelamin: laki-laki atau perempuan. Di Indonesia, tidak ada opsi ketiga: transgender atau tidak bisa dipastikan (indeterminate), seperti yang terjadi di semakin banyak negara.

BACA JUGA:

Riset: Bagaimana Muslim Memahami Identitas Gender yang Beragam?

Seberapa Penting Identitas bagi Perempuan?

Faktor utama yang menyebabkan resistensi terhadap keberadaan lesbian, gay, biseksual, transgender dan queer (LGBTQ) di Indonesia adalah Islam, seperti halnya dalam kebanyakan agama. Indonesia adalah negara mayoritas Muslim, di mana 96 persen menganggap agama penting dalam kehidupan sehari-hari mereka, tidak peduli seberapa dangkal atau munafiknya praktik Islam mereka.

Itu berkaitan dengan interpretasi yang semakin konservatif dan dogmatis dengan masuknya aliran Wahabisme dan Salafisme dari Timur Tengah ke Indonesia. Keduanya menerapkan interpretasi Islam fundamentalis, perbedaannya adalah, yang pertama menolak pengaruh modern, sedangkan yang kedua berusaha mendamaikan Islam dengan modernisme. Sebenarnya, dua sisi mata uang yang sama.

Selain itu, di Era Reformasi (1998 – sekarang), negara Indonesia menggunakan pengertian “keluarga sakinah” (keluarga bahagia, damai) dan kerukunan gender (gender harmony). Ini merupakan cara membatasi hak LGBTQ, karena hanya mengakui keluarga inti tradisional dengan dua gender.

Queer Menafsir. Teologi Islam untuk Ragam Ketubuhan  (Gading, 2023), adalah buku baru karya Amar Alfikar, seorang transgender, yang baru saja lulus dengan gelar master teologi dan agama, dari Universitas Birmingham di Inggris.

Bukunya mengenai pengalaman pribadinya, refleksi dan landasan teologisnya sebagai seorang Muslim queer yang mencoba menawarkan interpretasi inklusif dari berbagai terminologi tubuh, ketuhanan dan Islam. Dia membantah anggapan bahwa keragaman gender dan seksual adalah “produk Barat”, dan bahwa agama secara mutlak menolak keragaman ini.

Buku ini sungguh menyegarkan, dalam konteks moralistis dan penghukuman dari banyak Muslim yang intoleran, dogmatis, dan merasa benar sendiri.

Sebenarnya, pendapat Amar bukanlah hal baru. Pada tahun 1973, terjadi kasus Vivian Rubianti, seorang transpuan yang bernama Iwan Robianto saat lahir, yang perubahan seksnya menarik perhatian tidak hanya di Indonesia, tetapi juga secara internasional. Perubahan nama, jenis kelamin dan gendernya, harus disahkan melalui proses pengadilan.

Abdul “Hamka” Malik Karim Amrullah Datuk Indomo, seorang cendekiawan muslim yang sangat disegani, dan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama dari tahun 1975-1981 diminta bersaksi sebagai ahli agama. Ia mengacu pada tradisi ijtihad (penggunaan nalar dan akal) dalam Islam dan menyatakan:

“Dalam ajaran Islam, Tuhan memberikan akal kepada manusia, agar digunakan untuk menuntut ilmu sejauh-jauhnya, setinggi-tingginya. Tuhan juga tidak menghendaki umat-Nya, yaitu manusia ciptaan-Nya seperti Vivian, untuk menderita terus menerus dan berlarut-larut seumur hidupnya. Maka jika tingkat iptek manusia saat ini sudah mencapai tingkat mampu mengubah, memperbaiki, menyempurnakan cacat manusia, kekurangan atau kelemahan yang membuatnya menderita terus menerus, seperti halnya Vivian yang mampu melakukan operasi kelamin dari laki-laki menjadi perempuan, sehingga yang bersangkutan terlepas dari penderitaannya dan dapat menjadi manusia yang lebih baik, mampu mengekspresikan dirinya secara wajar sebagai perempuan, maka hal ini sesuai dengan ajaran Islam” (sumber: Pergulatan Tanpa Henti: Menabur Benih Reformasi, oleh Adnan Buyung Nasution, Harun Al Rasid, Aksara Karunia, Jakarta, 2004).

Wow! Ini bahkan lebih progresif dari pernyataan Paus Francis pada tahun 2013 tentang LGBTQ, “Jika mereka menerima Tuhan, dan memiliki niat baik, siapakah saya untuk menghakimi mereka?”

Hal itu berlaku juga dengan komunitas Muslim LGBTQ, termasuk kaum transgender tentunya. Mereka juga ingin menjadi Muslim yang taat, jadi siapa yang bisa menghakimi mereka?

BACA JUGA:

Maafkan Kami Kawan Queer Muslim, Sekarang Kami Baru Paham Rasanya Lebaran Sendirian

Kamu Lesbian, Memangnya Masih Shalat? Pertanyaan Yang Sering Saya Terima

Buku Amar membuat banyak pembaca transgender dan LGBT muda menangis setelah membacanya. Mereka memposting di media sosial bagaimana hal itu memperkuat iman mereka sebagai Muslim. Memang, untuk menegosiasikan perubahan identitas gendernya, Amar tidak mau memilih antara menjadi queer atau Muslim, melainkan menjadi keduanya. “Islam dan queer bukanlah struktur dan norma yang harus diruntuhkan, melainkan dua hal yang bisa dihayati sekaligus”.

Secara pribadi, ia melakukannya dengan melakukan operasi dan terapi hormon, serta mengenakan atribut yang mencerminkan ketakwaan seorang laki-laki muslim, serta mengedepankan narasi Islam yang humanis dalam kesehariannya.

Salah satu tujuan mulia Ramadhan adalah untuk mengembangkan semangat perdamaian, kasih sayang dan cinta untuk sesama manusia. Mengapa kita tidak mencontoh pria transgender Muslim Gen Z Amar Alfikar, dan almarhum Hamka (1908-1981) dalam cara mereka menjadi Muslim, menggunakan hati, nurani dan pikiran, seperti yang Allah kehendaki? 

(Artikel ini telah diterbitkan di The Jakarta Post dalam Bahasa Inggris pada 29 Maret 2023, dimuat kembali dengan seizin penulis)

Julia Suryakusuma

Penulis buku "Ibuisme Negara" dan "Jihad Julia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!