Edisi Kartini: Pergi ke Morowali, Kutemui Para Perempuan Muda Pekerja Tambang

Kira-kira sebulan lalu, aku pergi ke Morowali. Disana aku menemui para perempuan pekerja tambang yang terpaksa meninggalkan keluarga dan anaknya. Mereka berupaya mencari penghidupan layak, namun justru diskriminasi dan pelecehan yang didapat. Maskulinitas industri jadi tantangan besar disana.

Di momen peringatan Hari Kartini ini, Konde.co menyajikan tulisan khusus tentang perempuan muda dalam perjuangan lingkungan. Edisi ini bisa kamu baca 20-21 April 2023.

Indah (bukan nama sebenarnya), nekat melamar jadi pekerja tambang di pusat industri nikel di Bahodopi, Morowali, Sulawesi Tengah, usai bercerai dengan suaminya beberapa waktu lalu. 

Indah menjadi orang tua tunggal (single parent) dari dua anak laki-lakinya yang kini berusia 6 tahun dan 7 tahun. 

Indah tak punya pilihan. Dia harus menghidupi kedua anaknya dii tengah kondisi ekonominya yang serba terbatas. 

Perempuan asal Bungku Kota ini, lantas pindah ke Bahodopi meninggalkan kedua anaknya, yang Ia titipkan kepada orangtuanya yang sudah berumur dan sakit-sakitan. Demi sebuah tekad, dia bisa memberikan anak-anak dan keluarganya kehidupan yang layak. Dia berharap bisa meraup gaji besar. 

Jarak tempatnya bekerja cukup jauh, sedangkan aksesnya terbatas. Indah pun memilih ngekos di area dekat pabrik. Menurutnya ini lebih mengirit biaya hidup ketimbang gajinya habis untuk ongkos bolak-balik Bungku Kota ke Bahodopi. Meskipun dengan begitu Indah juga tak bisa begitu saja lega, sebab biaya hidup di Bahodopi Morowali saat ini juga begitu tinggi.  

Upah Minimum Regional (UMR) di Morowali sekitar Rp 3,6 jutaan, sedangkan gaji yang Ia terima total sebesar Rp 5 Juta per bulan. Angka itu harus bisa Ia atur untuk biaya hidup di perantauan dan mencukupi kebutuhan keluarganya di kampung halaman. 

“Gaji dengan biaya hidup masih kejar-kejaran, kadang saya masih hutang pinjam untuk mencukupi kehidupan keluarga,” cerita Indah kepada Konde.co saat ditemui di kediamannya di Desa Keurea Kecamatan Bahodopi, Rabu (15/3).

Eksploitasi Kerja, Sulitnya Dapat Hak Cuti Sampai Rentan Pelecehan

Sejak pertama Indah bekerja di perusahaan tambang pada tahun 2017, ada banyak hal yang dia hadapi. Bukan saja realitas upah murah, Ia juga diminta mengerjakan banyak pekerjaan serta mengalami mutasi berkali-kali di awal bekerja. Bahkan, pekerjaan yang tak berhubungan dengan statusnya di pabrik. 

”Kadang di control room, kerja lapangan, mengecat gedung, atau pekerjaan apapun sesuai dengan kebutuhan perusahaan namun sekarang saya spesifik di control room,” ungkapnya.

Lingkungan di tempatnya bekerja juga begitu maskulin. Dari segi jumlah pekerjanya, Indah menghitung, setidaknya hanya seperempatnya adalah perempuan. Itu pun, perempuan tidak menempati posisi yang strategis. Mereka banyak yang ditempatkan di bagian-bagian yang mengurusi teknis (pelaksana) dan dikondisikan menuruti perintah. 

Di perusahaan tambang tempatnya bekerja, banyak pula pekerja asing. Sehingga, dia berkomunikasi menggunakan alat penerjemah (translator).

Indah bercerita, situasi tempatnya bekerja belum ramah terhadap perempuan. Dia mencontohkan, beban kerja perempuan tak ada toleransi dengan pekerja laki-laki. Termasuk sulitnya perempuan mengakses hak cuti reproduksi seperti cuti haid, hamil dan melahirkan, karena ada target ketat dan ancaman potongan upah. 

Hak reproduksi seperti cuti haid, cuti hamil, dan melahirkan di tempatnya bekerja, Indah mengungkap, seolah menjadi “hal mewah”. Padahal UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 81 ayat 1 berbunyi: “Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid”.

BACA JUGA:

Cuti Haid yang Belum Biasa Diberlakukan Di Tempat Kerja

Di situasi itu, Indah mengungkap, banyak pekerja perempuan sesama pekerja tambang juga tak memahami hak reproduksi yang semestinya bisa mereka dapatkan. Ini disebabkan, tidak pernah adanya informasi dari perusahaan. Hak cuti reproduksi itu juga tidak tertuang dalam kontrak kerja. Ironisnya, cuti haid, melahirkan hingga menyusui oleh perusahaan justru dianggap sakit bahkan tak masuk. Sehingga, pekerja perempuan justru mendapatkan sanksi pemotongan gaji.

”Kebanyakan cuti setelah melahirkan dipakai tapi terkadang belum 40 hari usai melahirkan sudah ada yang diminta bekerja dan hal ini dianggap biasa oleh perempuan disini, meskipun perusahaan memperbolehkan perpanjangan masa cuti, hal ini karena kami takut gaji kami dipotong, sebab tidak ada tunjangan khusus untuk melahirkan, biaya melahirkan juga menjadi pertimbangan untuk kami tidak menggunakan hak cuti kami,” terangnya. 

Indah bercerita saat dirinya melahirkan anak keduanya, dirinya harus menahan kesakitan, payudaranya bengkak selama dua pekan karena dirinya memutuskan berhenti memberikan ASI. Indah kemudian menggantinya dengan susu formula, karena ASI nya mengering akibat tidak diberikan kepada bayinya.

”Ini karena perusahaan tidak menyediakan ruang laktasi atau sekedar ruang untuk memerah ASI, kami anggap jika anak diberi ASI akan bergantung dan tidak bisa ditinggal, agar anak terbiasa diasuh oleh neneknya,” imbuhnya.

BACA JUGA:

Memperjuangkan Ruang Laktasi di Tempat Kita Bekerja

Mirisnya, kata Indah, para perempuan di tempatnya bekerja banyak yang tidak lagi punya keinginan untuk menyusui bayi apalagi memberikan ASI eksklusif sebab hal itu. “Kawan saya sesama perempuan di perusahaan juga bekerja seperti biasa meskipun mereka masih menahan sakit setelah melahirkan,” katanya lagi.

Di satu sisi, perempuan juga minim mendapatkan ruang aman di perusahaan. Misalnya saja, tidak adanya ruang ganti pakaian bagi perempuan sampai kamar mandi dan ruang laktasi yang tak layak bagi kebutuhan reproduksi perempuan. 

“Padahal itu hak perempuan, tapi perusahaan juga tidak menyediakan ruangan khusus untuk perempuan,” ungkap dia.

Pelecehan seksual juga kerap menimpa perempuan pekerja tambang. Salah satunya, kerap terjadi di dalam mobil pengangkut kerja menuju tambang. Indah menyebut, bus pengangkut kerja masih mencampurkan pekerja laki-laki dan perempuan, tanpa adanya pengamanan memadai. 

”Ini yang paling sering terjadi setiap hari, pekerja perempuan sering mendapatkan pelecehan seksual dari sesama pekerja, untuk itu sebisa mungkin saya melindungi bagian vital tubuh saya dengan tas atau mencari tempat dekat dengan supir agar mengantisipasi dilecehkan oleh sesama pekerja,” ujar Indah.

Dilema dan Harapan Perempuan Pekerja Tambang

Sebagai pekerja tambang, Indah tak menampik soal situasinya yang sulit. Tapi di posisinya, dia tak punya banyak pilihan. Kesempatan bekerja di perusahaan tambang, adalah tumpuannya agar bisa mendapat kesejahteraan layak. Meski berat juga, harus meninggalkan anak-anak dan keluarga. 

”Kesempatan menjadi pekerja di industri tambang langka, terutama bagi perempuan disini, lapangan pekerjaan yang menjanjikan bagi kami hanya bekerja di industri tambang,” ucapnya.

Meski terkadang, di lubuk hati Indah yang dalam, dirinya ingin juga bisa bekerja dengan nyaman dan bisa mengasuh anak-anaknya dengan baik. Supaya, anak-anaknya tak sampai kekurangan kasih sayang orang tua. Sebab, pekerjaannya sebagai pekerja tambang menjadikannya hanya bisa bertemu dengan anak-anaknya sebulan sekali. 

”Ada keinginan ingin mengasuh mereka sambil bekerja dengan nyaman seperti hal nya hidup perempuan di kota-kota besar yang bisa berkarir sekaligus bisa mengurus rumah tangga, disini buat kami masih seperti mimpi, kasihan pekerja disini tidak bisa mendampingi anak tumbuh besar, kadang saya juga sedih jika memikirkan hal ini, saya takut anak-anak saya tidak menyayangi saya,“ terang Indah.

Sebagai pekerja tambang, Indah sebetulnya punya harapan yang tak muluk-muluk. Dia ingin ada kebijakan perusahaan yang lebih ramah terhadap kondisi perempuan. Misalnya, beban kerja yang disesuaikan dengan hak reproduksi perempuan dan jam kerja yang tidak eksploitatif. 

Indah mengungkap, selama ini di tempatnya bekerja, perempuan beban kerjanya disamakan dengan laki-laki yang kejar target hingga kerap begadang untuk berjaga malam. Dalam sepekan, dia juga hanya diberi libur 1 hari. 

”Kami sering diberi jam malam, bahkan tidak tidur selama 7 hari, kami berharap tidak diberi shift malam, perusahaan seharusnya memberikan shift malam untuk laki-laki saja, karena hal ini menyakiti fisik dan mental kami, badan saya sering nge-drop usai mendapatkan shift malam, saya merasakan lelah akut,” ungkap dia.

Indah berharap suaranya didengar agar menjadi pertimbangan bagi perusahaan untuk memperlakukan perempuan secara manusiawi.

”Kami berharap perusahaan tidak memotong gaji jika kami minta cuti haid, melahirkan dan menyusui, kami mencari nafkah untuk keluarga kami juga punya hak untuk sehat, kami masuk perusahaan dalam keadaan sehat, jikapun keluar harus dalam keadaan sehat juga,” cetusnya.

Mendorong Kebijakan Ramah Gender di Sektor Tambang

Morowali merupakan salah satu provinsi yang ada di Sulawesi tengah. Tambang nikel yang berada di Morowali itu disebut sebagai tambang dengan kandungan nikel terbesar di Indonesia saat ini. Tambang nikel telah menjadi salah satu sumber perekonomian bagi masyarakat di Morowali, dimana terdapat 10 perusahaan besar pertambangan nikel yang menyerap tenaga kerja lokal hingga mencapai puluhan ribu orang.

Mengutip clmmining.com, tambang nikel di Morowali juga sangat terkenal di berbagai belahan dunia dengan kualitas nomor satu di Asia tenggara karena kadar nikel yang terkandung bisa mencapai 40 persen. Pertambangan yang ada di Morowali pun terletak di berbagai daerah, seperti Bungku Pesisir, Bahodopi, Petasia Timur, dan daerah-daerah lainnya. 

Perubahan pesat sebuah daerah, tak selalu sebanding dengan pembangunan manusia yang mumpuni di Morowali. Seketika Morowali menjadi sasaran para pencari kerja untuk mengadu nasib baik dari warga sekitar Morowali maupun Tenaga Asing.

Penduduk Morowali juga harus bersaing dengan  porsi 15 Persen tenaga kerja China dan warga pendatang lain. Kesenjangan penghasilan dan Inflasi yang begitu tinggi membuat warga Morowali justru tak berhasil mensejahterakan keluarganya dengan menjadi pekerja tambang. Di sisi lain, perempuan terdesak dan terdiskriminasi oleh konstruksi sosial dan maskulinitas industri tambang.

Sedangkan, perempuan terpaksa menghadapi beban ganda akibat beratnya roda kehidupan berjalan. Perempuan yang menggunakan hak reproduksinya menghadapi kesakitan berlipat akibat perusahaan tambang enggan menerapkan regulasi tentang pekerja perempuan dengan benar. 

Ketua Serikat Pekerja Morowali Katsain, mengakui perempuan masih tidak dianggap sebagai penggerak ekonomi strategis, perempuan di industri tambang masih dianggap pelengkap saja. “Kenyataannya disini perusahaan tidak menjaga dari unsur pelecehan seksual, seharusnya disediakan sekat antara perempuan dan laki-laki, bus pengangkut pekerja menuju lokasi tambang yang kami temukan kerap terjadi Tindakan pelecehan seksual,” ditemui Konde.co, Selasa (14/3/2023).

”Kami mendorong terus agar perusahaan melindungi hak perempuan, dari segi fasilitas, mencegah tindakan pelecehan seksual dengan memberi ruang aman bagi perempuan di sektor tambang, perusahaan harusnya bertanggung jawab akan hal itu,” ujarnya.

Katsain juga mendorong agar hak reproduksi atau hak maternitas perempuan di sektor tambang dipenuhi oleh perusahaan.

”Cuti haid, melahirkan hingga menyusui tidak ada, artinya perusahaan tidak peduli pada hak dasar perempuan pekerja tambang, ini sangat tidak manusiawi!,” tegasnya.

Katsain mengungkap, kondisi pekerja perempuan di Morowali belum memahami hak yang harusnya mereka terima, mereka masih menganggap bekerja di tambang merupakan pekerjaan yang prestige dan sulit didapat, meskipun dirinya mendapatkan laporan bahwa ada pekerja perempuan yang bahkan disuruh untuk mencuci mobil hingga mendorong gerobak berisi lumpur.

”Perempuan lebih cenderung menurut sehingga mereka kerap diberikan perusahaan yang bukan tanggung jawabnya, perempuan disuruh mengerjakan apa saja, mereka tidak bekerja sesuai jobdesk, ini dianggap biasa oleh perusahaan China disini, ini bagian dari pembodohan terhadap pekerja perempuan, bahwa keadilan itu tidak menyamaratakan, ” katanya.

Kami berharap pekerja perempuan di Morowali kritis dan memahami hak nya sebagai perempuan. ”Perempuan disini belum memiliki kesadaran berserikat dan menuntut keadilan, mereka terbiasa menurut dan patuh saja, perempuan harus mengedukasi dirinya agar tidak dipandang rendah, perusahaan juga harus menghilangkan bias gender yang menyamaratakan perempuan dan laki-laki,” ucapnya.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja (Apjaker) Morowali Iswanto mengungkap, perusahaan tambang tidak memprioritaskan perempuan dan tidak memberikan kerja strategis bagi perempuan. ”Kami tidak pernah melihat perusahaan tambang memberi posisi strategis bagi perempuan disini,” ujarnya.

Jika pun ada, kata Iswanto, itu untuk bagian administrasi, bagian umum atau control room.

”Perempuan sepertinya tidak terlalu dibutuhkan oleh perusahaan disini, sebab spesifikasi Pendidikan perempuan di sini masih relatif rendah, jika pun ada yang lulusan sarjana mereka tetap diposisikan sama dengan yang lulusan setara SMA, hanya mungkin yang lulusan sarjana akan ditempatkan sesuai posisi di kontrak,” ungkapnya.

Iswanto juga menekankan, jika perusahaan tambang seharusnya bisa lebih membuka kesempatan besar kepada pekerja perempuan. Utamanya perempuan di sekitar perusahaan yang menempati posisi strategis. 

”Masalahnya mereka sangat selektif memilih pekerja perempuan, bahkan mereka tertutup sekali, karena pekerja perempuan di posisi yang strategis kebanyakan diisi oleh pendatang atau tenaga kerja china,” katanya dia.

Perlindungan bagi Perempuan di Pusaran Tambang 

Berkembangnya Morowali menjadi kota Industri, menjadi ekses tersendiri bagi situasi sosial di masyarakat setempat. Banyak pendatang dari luar daerah sampai warga negara asing, menjadikan Morowali punya tantangan serius yang mesti ditangani. Termasuk, soal perlindungan perempuan. 

Salah seorang pebisnis F&B di Bahodopi Morowali, Indira, mengungkapkan bahwa saat ini banyak ditemukan bisnis hiburan di kawasan pertambangan. ““Ini daerah Industri tambang, banyak pekerja asing, mereka butuh hiburan, potensi bisnis makanan hingga hiburan juga berpotensi maju disini,” katanya. 

Dalam konteks ini, bahaya yang bisa saja timbul adalah bisnis hiburan yang mengeksploitasi seksual anak-anak perempuan sampai perdagangan orang pada perempuan pekerja seks. Di samping, perlindungan perempuan pekerja seks terhadap penyakit seks menular (PMS).  

Indira menganggap, masyarakat sebenarnya mengalami gagap budaya atas perubahan dari desa yang hampir mati menjadi kota yang mendadak jadi desa yang maju.

”Resiko jadi area industri salah satunya gagap budaya, mereka mendadak menjadi sangat konsumtif dan berorientasi uang,” jelas lulusan Pascasarjana Kampus di Jakarta ini.

Meski begitu, Wakil Bupati Morowali Najamuddin Idris mengakui pihaknya belum mendata problem perempuan pekerja di Kabupatennya.

”Belum ada data, pastikan data” singkatnya dalam keterangan tertulis kepada Konde.co, Kamis (23/3/2023)

Dari laman situs Pemkab Morowali, memang ada beberapa program yang berkaitan dengan Perempuan dan Anak, seperti Kampanye Anti Kekerasan Kepada Perempuan dan Anak. Pemkab juga menyoroti angka kehamilan di luar pernikahan pada anak di bawah umur yang meledak di Morowali 2021 lalu.

Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) mengklaim pihaknya sudah kerap memberikan penyuluhan penguatan gender, akan tetapi tidak pernah diangkat secara spesifik.

Peliputan ini mendapat dukungan dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM)

Devi P. Wiharjo

Beberapa tahun jadi jurnalis, sempat menyerah jadi manusia kantoran, dan kembali menjadi jurnalis karena sadar menulis adalah separuh napas. Belajar isu perempuan karena selama ini jadi perempuan yang asing pada dunia perempuan, eksistensialis yang hobi melihat gerimis di sore hari.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular