Edisi Kartini: Suara Perempuan Muda Adat Talang Mamak 

Perempuan muda adat Talang Mamak terus berupaya agar suaranya lebih lantang didengar: Diakui dan dipertimbangkan dalam proses pengambilan keputusan adat. Di satu sisi, mereka juga berjuang mempertahankan identitasnya di tengah gempuran modernitas dan pengikisan hutan menjadi lahan sawit perusahaan.

Di momen peringatan Hari Kartini ini, Konde.co menyajikan tulisan khusus tentang perempuan muda dalam perjuangan lingkungan. Edisi ini bisa kamu baca 20-21 April 2023.

Perayaan Gawai siap digelar masyarakat adat Talang Mamak pada Jumat pagi (17/3). Tradisi pernikahan muda-mudi asli Talang Mamak ini berada di Rumah Adat di Desa Talang Sungai Parit, Rakit Kulim, Indragiri Hulu, Riau, yang dipimpin pemuka adat, Batin Irasan.

Sebelum memulai tradisi Gawai dengan silat dan sabung ayam, jamuan adat pun dilaksanakan. Acara Gawai yang berlangsung selama 2-3 hari tersebut, menikahkan keponakan Kepala Desa Talang Parit Sudiman, Leni (17) dengan laki-laki adat bernama Ijus (18) dari Talang Limau. 

Tampak sekelompok perempuan yang jumlahnya mendominasi ruangan. Para Amay, sebutan perempuan (ibu) Talang Mamak ini, duduk di sebelah kiri membentuk lingkaran oval panjang dan saling berhadapan. Di sisi berlainan, para tetua adat Talang Parit termasuk Batin Irasan melingkar duduk berhadapan dengan sekelompok laki-laki adat. 

Di depan mereka sudah ada kue-kuean, cawan yang berisi lintingan rokok dari pohon kemenyan dan lintingan sirih. Sama halnya dengan Amay-amay, para laki juga memakan hidangan tuan rumah itu. Sebagian lainnya, menghisap rokok lintingan yang asapnya mengepul membentuk awan putih bercampur kabut pagi di dalam ruangan. 

(Amay Talang Mamak menghisap rokok dengan lintingan kemenyan/ Dok. Nurul/Konde.co)

Dalam pertemuan adat termasuk pada tradisi Gawai itu, ada satu yang tampak membedakan mereka. Ada sekat kayu setinggi mata kaki yang membatasi berkumpul duduknya para laki dan para Amay. Satu sama lain, tak bisa bercampur baur. 

Para Amay bisa mendengarkan perundingan di perkumpulan adat itu tapi yang memutuskan nantinya tetaplah kelompok laki-laki yang dipimpin pemuka adat. Begitu pulalah pola yang tampak pada tiap-tiap pertemuan adat. 

Masyarakat adat terlebih perempuannya mayoritas menggunakan bahasa asli Talang Mamak dalam berkomunikasi satu sama lain. Beberapa dari mereka bisa menggunakan bahasa Melayu. Meskipun cukup sulit memahami ketika lawan bicara mereka berbincang menggunakan bahasa Indonesia.

(Pengantin perempuan, Dita (baju pink) dan Amay Talang Mamak melinting sekapur sirih di acara Gawai/Dok. Nurul/Konde.co)

Ayu (24) dan Ning (19), perempuan muda adat Talang Mamak yang membantuku menerjemahkan ke bahasa Indonesia. 

Dengan isyarat tangan, Ning menyebutkan bahwa mayoritas Amay-amay di Talang Mamak ini memang tak bisa baca dan tulis. Selama ini, mereka juga tak banyak bersinggungan dengan masyarakat di luar Talang Mamak. 

Ayu lantas bercerita, posisi perempuan adat di Talang Mamak bisa dikatakan memang “tak bisa” melangkahi laki-laki dalam forum pertemuan adat, yang berkaitan dengan pengambilan keputusan adat. 

“Perempuan gak bisa langsung nyeletuk gitu. Ngasih pendapat itu gak bisa. Pendapat itu dari laki-laki,” ujar Ayu ketika berbincang dengan Konde.co

Padahal menurut Ayu, peran perempuan di adat sangatlah penting. Proses adat tak akan bisa berjalan tanpa adanya perempuan. Mulai dari menyiapkan alat dan perlengkapan yang digunakan dalam acara adat, memasak pulut (acara Gawai) sampai ada ritual adat yang hanya bisa dilakukan oleh perempuan.

(Amay Talang Mamak memasak pulut (ketan) saat acara Gawai/ Dok. Syafrizaldi Jpang/Adatpedia.com/GMA)

Ruang bersuara bagi perempuan di kehidupan sehari-hari sebetulnya lebih terbuka. Ayu mencontohkan kehidupan perempuan di keluarganya. Ibunya punya peran penting dalam mengatur rumah tangga dan bisa berpendapat. Bapak Ayu pun, biasa membantu pekerjaan domestik seperti mencuci dan memasak. 

Tugas mengatur keuangan keluarga bahkan diserahkan pada anak perempuan yang paling tua. Seperti yang terjadi pada perempuan muda adat Talang Mamak yang merupakan sahabat Ayu, Dita. 

Dita ini adalah perempuan yang mengkoordinir perkumpulan anak-anak muda Adat Talang Mamak. Hitungan Ayu, ada sekitar 8-10 orang anak-anak muda yang aktif. Peran anak muda perempuan, mendominasi mulai dari posisi strategis koordinator sampai yang telaten untuk terlibat aktif dalam perkumpulan. 

Dita dan Ayu semisal, mereka sempat mewakili untuk mengikuti pelatihan paralegal hukum bagi masyarakat adat. Termasuk, bagaimana menghadapi perusahaan yang akan menggusur lahan adat mereka dengan sawit. Mereka berdua juga turut menemani Batin Irasan berdialog dengan RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil) beberapa waktu lalu, soal dampak pengelolaan sawit perusahaan bagi masyarakat adat dan harapan ke depan. 

Anak muda adat termasuk perempuannya, Dita dan Ayu ini, juga punya peran penting dalam mendampingi Batin ketika ada pertemuan-pertemuan. Seperti kaitannya soal pembacaan kontrak, mempelajari dokumen, dan lainnya. 

(Dita menunjukkan peralatan adat yang digunakan di Talang Mamak/ Dok. Nurul/Konde.co)

Jois Adisti, konsultan lapangan (field consultant) di ASM Law Office yang jadi salah satu pihak yang mendampingi masyarakat Talang Mamak sejak 2019. Dia bilang, advokasi melalui anak-anak muda adat yang saat ini dipimpin oleh seorang perempuan ini, memang perlu terus digalakkan. Setidaknya, mendampingi kalangan tua adat dalam memperjuangkan hak lahannya. 

“Ada gap, kaum tua banyak yang tidak bisa membaca menulis, banyak kasus terjadi, masyarakat adat yang disodori kertas tiba-tiba disuruh tanda tangan, ternyata isinya pengalihan lahan. Salah satu untuk menanggulangi itu, kita berpikir anak mudanya harus diberdayakan terlibat dalam advokasi ini,” ujar Jois saat berbincang dengan Konde.co di lokasi pagelaran Gawai Talang Mamak. 

Satu langkah awal saat itu, anak muda Talang Mamak yang diwakilkan Dita dan Ayu ini diikutkan program Paralegal Live In. Mereka magang di kantor pengacara profesional di Pekanbaru, Riau, untuk mempelajari persoalan hukum perdata, bagaimana membuat surat perjanjian yang sah, serta upaya menghadapi konflik adat yang berkaitan dengan hukum.  “Mereka kayak asistennya Pak Batin,” imbuhnya.  

Proses selanjutnya, Jois bilang, anak muda Talang Mamak ini dilibatkan dalam upaya pendokumentasian adat Talang Mamak dengan penulisan buku ‘Memori Kolektif’. Metode penulisan ‘Memori Kolektif’ ini melibatkan berbagai pihak seperti akademisi hingga tokoh adat, yang sebelumnya berupa pengumpulan data riset. 

Ini menjadi penting sebab banyak sejarah dan tradisi di Talang Mamak yang selama ini sebatas disampaikan secara lisan (tradisi tutur lisan). Sementara modernisasi terus berkembang di Talang Mamak dengan hadirnya perusahaan sawit ataupun persinggungan dengan budaya luar, maka  di tangan anak-anak muda inilah penulisan Memori Kolektif dilakukan agar kekayaan budaya yang mereka miliki terus terjaga.  

(Perempuan muda Talang Mamak, Ayu (kiri) dan Ning (Kanan)/ Dok. Nurul/Konde.co)

Saat ini, mereka sudah mulai menulis buku kedua sebagai lanjutan dari Memori Kolektif.

“Untuk penulisan profesional itu kita memang ada kendala-kendala, makanya kita bantu pakai aplikasi Kobo Toolbox. Kayak ada pertanyaan-pertanyaan kunci yang bisa diisi terus apa saja yang bisa ditanyakan, nanti editor tinggal ngambil dari Kobo terus dikirim ke penulis (anak muda Talang Mamak),” terangnya. 

Dita dkk kini juga tengah aktif dalam pelatihan jurnalisme warga. Mereka melakukan reportase dan menuliskannya di Adatpedia.com, sebagai salah satu wadah anak muda adat Talang Mamak untuk mengenalkan adatnya hingga menyuarakan hak-haknya secara lebih luas. Mereka juga mendapatkan bimbingan untuk penggunaan sosial media secara bijak. 

Pengamatan Konde.co, situasi sosial anak muda adat Talang Mamak memang tak lepas dari paparan perkembangan teknologi dan informasi. Masing-masing dari mereka, paling tidak punya handphone dan sosial media seperti Instagram ataupun Tiktok. 

“Sosial media di anak muda ini kan kebanyakan cenderung ke entertainment, jadi kita arahkan bagaimana mempromosikan desa, mempromosikan sukunya sendiri terus soal data security,” kata Jois.   

(Jois (depan paling kanan) bersama anak-anak muda Talang Mamak dan teman-teman media yang melatih jurnalisme warga/ Dok. pribadi)

Perempuan Muda Adat Mendobrak Stigma

Perempuan punya pilihan dan harus berdaya. 

Begitulah yang tergambar dari sosok Ayu. Di usianya yang 24 tahun, dia memilih untuk tak cepat-cepat menikah. Meskipun, ada pula tekanan sosial sekitar yang mendorongnya cepat menikah. Terlebih, pernikahan anak muda di Talang Mamak biasanya dilakukan di usia sekitar 18 tahun. Bahkan lebih muda lagi. 

“Aku masih pengen lihat dunia luar, belajar, cari pengalaman,” cerita Ayu saat kami memasak rendang timun di dapur Ning, siang itu. 

Perempuan lulusan Sekolah Menengah Atas itu bilang, cukup bersyukur punya orang tua yang memahaminya. Mereka mendukung keputusan yang Ayu ambil. Soal menikah, bahkan orang tuanya menasehati dan memberikan Ia gambaran bahwa pernikahan itu tak mudah. Butuh kesiapan fisik dan mental. 

Pun ketika Ayu bilang bahwa Ia mau aktif dalam menggerakkan inisiatif anak muda adat di Talang Mamak. “Mereka sangat mendukung kemajuan anaknya. Mendengar apa kata Ayu. Paham apa yang Ayu inginkan, gak bilang janganlah ikut-ikut ini itu,” imbuhnya. 

(Ayu (kedua kiri) bersama sebagian anak Muda Talang Mamak yang aktif berkegiatan/ Dok. Nurul/ Konde.co)

Tekad Ayu bulat untuk turut membangun Talang Mamak. Dia masih mengingat peristiwa bullying yang Ia pernah alami saat di sekolah dasar (SD). Dia bahkan sempat takut untuk mengakui keluar bahwa dia anak asli Talang Mamak. Akibat stigmatisasi negatif terhadap masyarakat adat Talang Mamak.

“Karena sering, ga usah keluar jauh-jauh di daerah, yang dekat-dekat sini aja. Pikiran orang-orang itu Talang Mamak gak punya agama, gak berpendidikan. Ibaratnya, kolot,” kata Ayu. 

Soal kehidupan beragama, masyarakat adat Talang Mamak menganut kepercayaan Islam Langkah Lama. Mereka mempercayai adanya Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah, namun tidak bersyariat. Mereka sangat menghargai hutan dan tradisi leluhur untuk saling hidup secara harmonis dengan alam dan satu sama lain. 

“Kepercayaan akan Tuhan itu, Ayu percaya adanya Tuhan. Sangat-sangat percaya. Agama itu menurut Ayu penting. Kalau ada orang beranggapan orang Talang Mamak itu gak ada agama, enggak,” kata dia. 

Istilah Talang Mamak, kata Ayu, bahkan ada pula yang mengidentikkan dengan perilaku tidak baik. Stigmatisasi yang jelas merugikan: Talang Mamak tak dianggap pula beradab.  

“Pernah juga kalau di sekolah itu, ada ejekan kayak ‘eh kayak orang Talang Mamak, Kau. Saat ada yang berbuat gak baik. Eh, kok gitu kali, dia yang berbuat kok kita (Talang Mamak) yang kena,” imbuhnya lagi. 

(Ayu (baju hitam) berkumpul dengan anak muda dan masyarakat Talang Mamak/ Dok. Nurul/Konde.co)

Sama halnya dengan Ayu, Dita ingin mengikis stigmatisasi yang dilekatkan pada masyarakat adat Talang Mamak termasuk para perempuannya, yang bikin seringnya dianggap remeh dan tidak dihargai oleh masyarakat luar. 

“Setidaknya pendapat perempuan itu bisa diambil dan dihargai. Karena sekarang kepercayaan Talang Mamak, keputusan yang diambil itu dari laki-laki. Batin pun laki-laki. Jadi ke depannya, oh, pendapat dari perempuan itu bisa dipakai,” ujar Dita saat ditemui di lokasi pembuatan gedang pulut saat Gawai.

Dia tidak bilang ingin “menggantikan” atau sama kedudukannya dengan tetua adat yang mayoritasnya laki-laki itu. Tapi paling tidak, bagi Dita, perempuan-perempuan di adat seperti dirinya dan teman-teman bisa punya hak bersuara di adat. Sistem matrilineal di Talang Mamak, kepemimpinan perempuan bukan sebatas diakui secara garis keturunannya.  

(Struktur Perangkat Adat di Talang Mamak/diambil dari Buku Talang Mamak di Tepi Zaman)

Maka dari itu, Dita ingin membuktikan diri bahwa perempuan seperti dirinya dan teman-temannya seperti Ayu, Ning, dan lainnya, bisa berdaya. “Sekarang kan ada perkumpulan anak muda, perempuan juga bisa lho, bikin sesuatu untuk Talang Mamak. Jadi, secara gak langsung Dita juga bisa ngajak perempuan lainnya,” imbuhnya. 

Satu hal yang Konde.co amati cukup membedakan generasi muda di Talang Mamak ini juga soal pembagian dan pertukaran peran gender (gender role) yang lebih cair. Misalnya saja, anak-anak muda bisa berbaur satu sama lain tanpa membeda-bedakan gender. 

Perempuan seperti Dita juga mendapat posisi strategis dalam memimpin perkumpulan anak muda Talang Mamak. Di samping, laki-laki juga lebih dengan ringannya mengerjakan tugas-tugas domestik seperti memasak, mencuci, sampai mengantarkan makanan ke tamu. 

Satu contoh sederhana misalnya, kunjungan Konde.co di tengah-tengah mereka disambut dengan anak-anak muda laki-laki yang turut menata tempat dan jamuan makan, sampai membersihkan dan membawa ke dapur. Besoknya, mereka juga membantu ke dapur untuk memasak hidangan. 

(Anak muda laki-laki Talang Mamak turut mengerjakan pekerjaan domestik saat jamuan di rumah Kepala Desa Talang Parit/ Dok. Pribadi)

Soal masyarakat adat Talang Mamak yang anti-poligami, juga begitu menarik. Mereka punya aturan soal larangan poligami bagi masyarakat adatnya. Jika ingin punya dua istri (bebini dua), maka harus bercerai. Jika tidak, hukumannya semacam “dibuang secara adat”. 

Sampai saat ini, kepercayaan soal anti-poligami itu pun, begitu dihormati di tengah masyarakat adat Talang Mamak. Dari perbincangan dengan perempuan adat dan tetua adat, belum ada satupun pelanggaran yang tercatat dalam sejarah mereka laki-laki Talang Mamak yang melakukan poligami. 

Hutan Kami Hilang

Tini, perempuan adat Talang Mamak berusia 40 tahunan, tengah duduk bersila di ruang tengah rumah adat yang ditinggalinya. Jari-jari tangannya lihai menganyam rumbai-rumbai yang bakal dijadikannya tikar. Dia dengan cekatan menyisir rumbai dengan pisau kecil, lalu mengaitkan satu sama lain, sesekali pula Ia membasahi jalinan rumbai itu dengan air. 

Tini saat itu ditemani oleh Ayu dan Ning, yang tengah belajar membuat tikar yang nantinya akan digunakan untuk acara adat. Para perempuan lintas generasi, tua dan muda, itu tengah duduk bersama. Menganyam dan membincang soal lahan sawit perusahaan yang kini menggusur sumber makanan dan tradisi adat mereka. 

“Sedih awak mau cari rumbai ndak bisa lagi. Pergi mancing ke situ ndak bisa lagi. Airnya diparit semua. Namanya lahan ndak bisa lagi ke situ, hutannya habis,” Tini mengisahkan dengan bahasa Talang Mamak, dibantu Ayu dan Ning yang bergantian menerjemahkan. 

(Potret rumah masyarakat Talang Mamak (Ning) yang dikelilingi sawit/ Dok. Nurul/ Konde.co)

Ibu tiga orang anak itu bercerita, dulu saat Ia berusia belasan tahun masih banyak pohon-pohon (hutan). Kayu buat masak juga didapatkannya dari hutan itu. Buat lauk makan, Ia biasa melukah ikan di sungai. Sekarang semuanya itu sudah jadi sawit. 

“Menanam cabe kan awak (dulu), hutannya kini ditebang. Mana ada lagi? Hutannya pun habis,” tambahnya. 

Padahal, keinginan Tini sebagai perempuan Talang Mamak bisa dikatakan tidaklah muluk. Dia ingin hutannya kembali. Dia bisa menjalankan keyakinan dan adatnya. Hingga generasi selanjutnya tetap bisa merasakan keluhuran dan kekayaan adat Talang Mamak. 

(Tini bersemangat mengajari Ayu (tengah) dan Ning (kanan) membuat anyaman tikar dari rumbai untuk acara adat/ Dok. Nurul/ Konde.co)

Senada dengan Tini, Dukun Talang Parit, Marusi mengatakan, musnahnya hutan di Talang Mamak memang benar adanya. Sebagai dukun yang melakukan pengobatan masyarakat adat Talang Mamak, dampak perusahaan sawit yang menguasai lahan itu menyulitkan cari bahan obat-obatan. Baik itu dari akar, kulit kayu, daun-daunan sampai ranting-rantingan. 

Bahan-bahan itu dalam istilah lokal disebut dengan ‘sembilan melata di awang-awang dan sembilan melata di langit’. Saat ini, jumlahnya kian menipis. 

“Paling sulit cari bayas (mirip kelapa berduri) untuk mengobati perut keras, lemah, lesu dan linu. Begitu juga damar buat ritual kelahiran dan kematian. Dulu di hutan yang kini jadi perkebunan sawit. Kalau hutan habis tak ada lagi dukun di Talang Parit, banyak terancam adat kami,” kata pria berusia 48 tahun itu. 

(Dukun Marusi di rumah asli Talang Mamak yang terbuat dari kayu/ Dok. Nurul/ Konde.co)

Dampak yang sama juga dirasakan para anak muda Talang Mamak. Mereka yang biasanya untuk melukah (lukah: alat tangkap tradisional dari bilah bambu yang dianyam rotan) ikan, kini tak lagi seperti dulu. Area-area kini banyak yang jadi perkebunan sawit termasuk perusahaan. 

Salah seorang anak muda Talang Mamak, Hairil mengatakan, sekarang melukah sudah susah dapat ikan. Tidak seperti dulu, sebelum adanya pohon-pohon sawit yang mendominasi. Padahal, melukah bukan hanya aktivitas mencari ikan untuk lauk pauk seperti ikan sepat dan ikan gabus, namun baginya itu bisa menjadi aktivitas sosial dengan teman-teman sebayanya.

Sebab sulitnya dapat ikan dari melukah, mereka mau tak mau harus membeli ikan di penjual yang keliling atau pasar.   

“Lokasi lukah mulai sedikit, hasilnya pun sedikit. Populasi ikannya sudah gak kayak dulu lagi, jumlah hutan berkurang (jadi sawit), kalau airnya surut, diputas terus,” keluhnya.

(Hairil (kanan) bersama Heri (kiri) melukah ikan di areal yang kini menjadi perkebunan sawit/
Dok. Nurul/ Konde.co

Menyoal lahan-lahan adat yang kini sudah menjadi sawit perusahaan ini, Tini mengaku perempuan di generasinya manut dan mendukung perjuangan Batin Adat. Harapannya sama, segera ada titik terang dari konflik sawit dengan perusahaan dan masyarakatnya bisa kembali mengelola hutan adat. “(Sebab) Ketika ada rapat-rapat sengketa itu laki-laki saja,” kata Tini. 

Konflik masyarakat adat Talang Mamak dan perusahaan sawit sudah berlangsung berpuluh tahun lalu. Banyak perusahaan yang mengelola sawit-sawitnya di kawasan Indragiri Hulu. Termasuk yang ada di sekitaran masyarakat adat Talang Mamak, Inhu, Riau. 

Salah satunya persoalan dengan perusahaan PT Inecda Plantation. Hingga lebih dari 10.000 Ha wilayah adat Talang Parit beralih jadi perkebunan sawit. Padahal, area seluas itu dulunya telah menjadi ruang hidup masyarakat adat Talang Mamak. 

“Konflik kami dengan Inecda lebih 20 tahun. Hutan tak ada lagi. Keramat sudah habis,” ujar Batin Irasan, Ketua Adat Talang Parit. 

Dilihat secara nasional, provinsi Riau memang menempati posisi tertinggi yang arealnya ditanami sawit. Sepanjang perjalanan Konde.co dari Pekanbaru ke pemukiman masyarakat adat Talang Mamak pun menemukan, sawit menjadi tanaman yang mendominasi. 

(Peta Luas Areal Perkebunan Sawit, Riau terluas areal perkebunan sawit/ Sumber: BPS)

Hutan-hutan menghilang. Danau-danau lenyap, mengering oleh parit perusahaan sawit. Wilayah keramat adat Talang Mamak semakin terdesak oleh sawit. Sementara masyarakat adat Talang Mamak minim merasakan manfaatnya. Mereka pun semakin terasing dan tak punya akses terhadap hutan, yang adalah hidup mereka. 

Dalam keseharian dan tradisi adatnya, masyarakat Talang Mamak biasa mencari ikan. Mereka juga memerlukan damar, rotan, daun-daun rumbai untuk acara adat seperti Gawai. Juga obat-obatan sampai bahan-bahan membuat rumah adat (rotan, kayu) yang semuanya dicari dari hutan. 

(Anyaman yang bisa digunakan sebagai wadah obat-obatan Talang Mamak/ Dok. Nurul/konde.co)

Namun, itu semua kini semakin menipis. Hutan dan lingkungan mereka semakin terhimpit sawit. Terlebih yang secara masif dikelola oleh perusahaan.  

“Yang tak enaknya lagi, kebun karet (mata pencarian masyarakat yang tersisa–red) masyarakat dikelilingi parit perusahaan,” imbuh Batin Irasan. 

Gilung, Anggota Masyarakat Adat Talang Mamak dalam ‘Talang Mamak Hidup Terjepit di Atas Tanah dan Hutannya Sendiri” menuliskan bahwa konflik sawit di Talang Mamak dengan PT Inecda Plantation, berawal dari tidak adanya keterlibatan pembicaraan masyarakat adat-perusahaan. Tiba-tiba perusahaan sudah beroperasi, mereka membersihkan lahan dan menanam sepihak. 

Lokasi operasinya perusahaan itu ada di kawasan rimba di Talang Parit. Di antaranya di Rimba Banta Maabut, Rimba Sungai Bayas, Rimba Badaran Gadang, Rimba Badaran Kacik, Rimba Danau Tiga Kacik, Rimba Danau Gadang dan Rimba Payakumbuh. 

Meminjam istilah Batin Irasan, Gilung menyebut, rimba ini berarti tanah ulayat yang masih bebas yaitu yang belum ada hak milik atasnya. Secara umum, tanah ulayat di Talang Mamak ini terbagi atas dua: ulayat keluarga dan ulayat yang masih terbuka dan dikelola siapapun selagi memenuhi persyaratan. 

Di dalam rimba itu, masyarakat adat bisa memanfaatkan hasil hutan bukan kayu seperti rotan dan madu. Ada pula kawasan keramat yaitu lokasi masyarakat mencari ikan yang merupakan juga sumber air. 

(Anak muda Talang Mamak menunjuk tempatnya biasa melukah kini telah jadi kebun sawit/
Dok. Nurul/Konde.co)

Beberapa kali pertemuan Batin dengan perusahaan sudah dilakukan. Tapi, Batin Irasan pada 2003, merasa didustai perusahaan. Dia diminta menandatangani Surat Kuasa yang diminta oleh HRM Yamin, Panglima Besar Adat Kerajaan Kesultanan Indragiri, yang ternyata sebagai bentuk kepasrahannya dalam mengurus konflik yang terjadi. 

“Saya ndak tahu isi surat itu. Kan saya tidak bisa membaca dan menulis. Waktu ditandatangani, tidak dibacakan isi kuasa. Yang jelas, orang kerajaan Indragiri yang akan mengurus segala sesuatu terkait konflik ini,” kata Irasan kala itu.

Batin Irasan sempat menemui kebuntuan dalam memperjuangkan hak-hak masyarakat adat terhadap lahannya. Sebab Batin generasi ke-39 yang memimpin Talang Parit itu, tak kunjung berhasil. Padahal upaya yang sudah Ia lalui dengan melalang buana ke pusat dan daerah. Termasuk mendatangi kantor perusahaan PT Inecda Plantation yang ada di Jakarta. 

Berbagai tawaran pun pernah dia dapat, tapi dia berprinsip perjuangannya tak bisa dibeli dengan materi. “Saya tidak bisa dibeli pakai duit. Saya tetap pegang teguh dan jaga wilayah adat. Sesuai mandat saat dilantik jadi Batin. Walau miskin, saya tidak mau diberi uang, karena sumpah orang tua,” ujarnya. 

Bersamaan dengan kedatangan AsM Law office pada 2019, Irasan seolah menemui harapan baru. Dia mendapatkan pendampingan untuk memperjuangkan hak-hak masyarakat Adat Talang Parit. Dia bahkan sempat didampingi AsM dan perwakilan anak muda Talang Mamak mengadukan anak perusahaan Samsung itu, ke RSPO yang bermarkas di Kuala Lumpur, Malaysia. 

“Di Kuala Lumpur, saya sebenarnya merasa malu perkara Masyarakat Adat Talang Parit sampai ke luar negeri. Sementara, puluhan tahun tidak pernah jumpa keadilan di dalam negeri. Padahal, bukan mau mengusir perusahaan. Hanya meminta hak kebun plasma atau bagian masyarakat adat kami,” terang Irasan. 

(Ketua Adat Masyarakat Talang Mamak di Talang Parit, Batin Irasan/ Dok. Nurul/Konde.co)

Sudiman, Kepala Desa Talang Parit mengungkap selama dirinya menjabat pada sekitar 2018-2023,  kontribusi yang diberikan perusahaan tersebut sebatas program CSR seperti sumbangan kursi meja untuk sekolah (dua kali pada 2019 dan 2020), renovasi WC (satu kali di SD). 

Selain itu, kata dia, pernah ada beasiswa sekolah anak kurang mampu (penerima 1 anak pada 2022), sampai bibit ikan lele dan ikan nila (yang mendadak dan kolam warga belum siap). Sampai yang terbaru, perusahaan masih menjanjikan akan adanya air bersih dan sumur bor (kedalaman 35 m).

“Dulu sebelum jadi Kades itu, Inecda menjanjikan kepada masyarakat Talang Parit, kami akan didatangkan plasma, sampai sekarang lahan kami dijadikan inti? Apakah sudah dijanji-janjikan lahan kami jadi inti? Hanya harapan-harapan,” kata Sudiman ketika ditemui di rumahnya di Talang Parit, Kamis malam (16/3). 

Sebagai pimpinan desa Talang Parit, Sudiman menekankan, dirinya mendukung langkah Batin Irasan dalam perjuangan hak lahan adat. Dia pun mendesak pemerintah memperhatikan upaya itu. “Jangan hanya masyarakat adat diperlukan sewaktu mau pemilihan-pemilihan,” kata dia. 

“Okelah sawit itu punya perusahaan, kalau dia pikir sawit mereka ambil sawitnya, tanah kami kembalikan,” imbuh Sudiman. 

(Sudiman, Kepala Desa Talang Parit di sekitar belakang rumahnya Yang kini jadi areal kebun sawit/
Dok. Nurul/Konde.co)

Sebagai bagian pendamping, Jois dari AsM Law Office menjelaskan, hingga tahun 2021, kelengkapan material advokasi perjuangan masyarakat adat Talang Parit memang terus disiapkan. Riset data di internal Talang Parit sampai menganalisisnya sampai jadi rekomendasi tindak lanjut advokasi. “Akhirnya diputuskan masyarakat melaporkan masalah ini ke RSPO,” katanya. 

Di tingkat global, RSPO yang terdiri dari multi pihak baik perusahaan, pembeli, NGO dan masyarakat ini, bisa jadi penentu perusahaan sawit boleh tidaknya berjualan produk sawit ke Eropa. “Kita komplain ke RSPO, mengkomplain bahwa PT Inecda ini, pertama, tidak merealisasikan janjinya terkait pemenuhan plasma. Gak ada realisasi sampai sekarang,” ucap dia. 

Komplain selanjutnya, Jois menambahkan soal perusahaan mengelola perkebunan sawit tanpa izin dari masyarakat. Lalu, meski klaimnya ada program CSR namun masyarakat adat tak menerimanya. Jika pun menerima, tidak terasa dampaknya. 

Terus tidak ada mekanisme penyelesaian konflik yang jelas dari perusahaan. Padahal jika standar RSPO, dia mensyaratkan bahwa perusahaan sawit harus punya mekanisme komplain yang jelas. Ada SOP pengaduan ke perusahaan hingga penanganan konflik yang baik. 

Perkembangan terkini soal pengaduan ke RSPO, tim investigasi independen RSPO sudah mulai turun mencari fakta-fakta dari berbagai pihak sejak akhir Maret lalu. 

“Sekarang tim sedang menyusun laporan investigasi, waktunya sampai kapan kami belum dapat update, karena memang dari RSPO memberikan waktu secukupnya tim investigator untuk menggali info sedalam-dalamnya, supaya cukup untuk mengambil keputusan,” kata Jois via pesan tertulis kepada Konde.co, Selasa (18/4).

Dilansir Elaeis, Humas PT Inecda Plantation, Joko Dwiyono, menyampaikan bahwa masyarakat adat Talang Mamak pernah menuntut lahan mereka masuk HGU (Hak Guna Usaha) dan dijadikan kebun plasma. Masalah itu bahkan diadukan ke DPRD Provinsi Riau. Mediasi sudah dilakukan beberapa kali dan anggota dewan pun turun ke lokasi. 

“Apa yang disampaikan oleh warga kepada perusahaan tidak mendasar. Mereka itu ingin dimasukkan dalam HGU, tapi itu bukan kewenangan perusahaan,” kata Joko. 

HGU PT Inecda seluas 9.466 hektar sudah diperpanjang hingga tahun 2035. “Prosesnya sudah jelas merupakan kewenangan BPN pesat serta pihak terkait, bukan pada PT Inecda,” dalihnya. 

Konde.co sudah berupaya menghubungi Humas PT Inecda Joko Dwiyono, namun pihaknya enggan memberikan respons. “Saya no comment,” tulis Joko melalui pesan singkat kepada Konde.co.

Melantangkan Suara Perempuan Muda Adat

Masyarakat adat Talang Mamak bisa dikatakan punya karakteristik yang suka kedamaian dan tidak suka konflik. 

Setidaknya hal itu yang Konde.co amati dari Ayu bilang bahwa ada kepercayaan adat yang diikuti masyarakat bahwa tidak boleh ada permusuhan/pertengkaran sampai berhari-hari. Batin Irasan pun pernah menyinggung, misalnya pada pasangan dalam pernikahan yang bertengkar atau akan bercerai, akan diupayakan berbagai cara agar bisa rujuk. 

Secara lebih luas, pola masyarakat adat Talang Mamak dalam menghadapi konflik dengan perusahaan sawit pun, tergolong ‘perlahan’ misalnya dengan lobi-lobi. Para masyarakat adatnya pun begitu patuh dan tidak mau melangkahi Batin. Dibandingkan dengan perlawanan fisik yang menimbulkan kekerasan/perpecahan. 

(Datuk Pinto Anugrah/Dok. Nurul/Konde.co)

Dosen pengajar di Universitas Lancang Kuning Riau, Pinto Anugrah menjelaskan soal karakteristik masyarakat adat Talang Mamak ini, dimungkinkan karena pola kehidupan masyarakat yang suka dengan pola tenang dan tidak suka terusik. Itu tergambar pula pada cara-cara tradisi mereka misalnya Begawai, Bahuma sampai Kemantan

“Bagaimana di dalam kelompok ini, tidak perlu ada masalah/konflik. Jika pun ada, begitu ingin cepat selesai masalahnya,” kata Pinto. 

Pendiri Datukultur Study Club yang juga pendamping pelatihan kepenulisan ‘Memori Kolektif’ anak muda Talang Mamak itu juga menyampaikan pengamatannya, mengapa konflik sawit di Talang Mamak ini seolah ‘tak disegani’ perusahaan atau pihak luar. Sebab, hukum adat setempat yang menurutnya tidak tegas mengatur pelanggaran pihak luar seperti merusak hutan adat. 

Di adat Talang Mamak, selain kepercayaan (karma–red) mereka mengenal sistem hukuman yang disebut Tahil (semacam kain putih). Hukuman ini biasanya dikenakan untuk pelanggaran yang dilakukan masyarakat Talang Mamak sendiri. Tapi menurutnya, tak ada sanksi konkret kepada pihak luar. 

“Ini jadi bulan-bulanan memang bentuk hukuman adat ini, memang terlalu ringan,” imbuhnya. 

Di samping itu, stigmatisasi terhadap masyarakat adat Talang Mamak ini juga masih kental. Termasuk yang dilakukan oleh pemerintah. “Pemerintah tidak tau/ tidak memahami dengan begitu baik masyarakat ini. Yaudah (kebijakannya) seperti menghadapi orang tertinggal, orang terasing,” jelasnya. 

Sementara di sisi lain, Pinto juga pernah menjumpai, ada beberapa orang asli Talang Mamak yang menduduki posisi strategis seperti anggota Dewan, justru tak terang mengakui identitasnya. 

Dugaannya, bisa jadi karena stigma-stigma yang masih dilekatkan pada Talang Mamak seperti primitif, tidak beragama, tidak berpendidikan dan lainnya. Sehingga, suara masyarakat adat Talang Mamak ini semakin sulit disuarakan. 

“Ini sangat disayangkan. Mereka berhasil bersuara secara politik ke luar, tapi tidak membawa komunitas (masyarakat adat Talang Mamak), identitas mereka,” lanjut dia. 

Maka dari itu, Pinto menumpukan harapan yang besar pada generasi muda di Talang Mamak. Terlebih pada sosok perempuan muda, yang saat ini terbilang progresif. Ia ingin melihat mereka menjadi orang hari ini, tapi tetap jadi identitas Talang Mamak.

Advokasi ke depan, salah satunya adalah memunculkan sosok perempuan muda adat Talang Mamak yang bersuara ke luar. Soal sejarah adatnya, soal penindasan yang dialami, hingga asa dan harapan mereka. 

“Angkat tokoh perempuan muda ke permukaan. Itu punya peran yang secara tidak langsung memunculkan peran yang kuat di komunitas Talang Mamak,” katanya. 

Di Talang Mamak sendiri, Pinto menyampaikan, sebetulnya ada sosok perempuan yang punya pengaruh penting di adat. Dia punya sebutan Dyah. Ia ibarat ‘ibunya padi’. Sebab di berbagai tradisi adat membutuhkan padi, sedangkan padi tidak akan bisa dipanen tanpa adanya Dyah ini. Dyah lah yang menggendong padi pertama yang dipanen. Kemudian membawanya ke lumbung padi (bahasa Padangnya Rangkiang). 

“Sekarang hampir-hampir hilang, tidak semua ingat (sejarah dan perannya),” pungkasnya.

(Infografis Talang Mamak/ Diolah Tim Konde.co)

Foto cover: adatpedia

Peliputan ‘Suara Perempuan Muda Adat Talang Mamak’ di Indragiri Hulu, Riau, ini mendapat dukungan dari Adatpedia Journalist Fellowship.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!