Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Cara Minoritas Tionghoa Rawat Keberagaman di Kampung Kami

Keluarga kami adalah keturunan Tionghoa yang tinggal di tengah warga kampung di Surabaya Jawa Timur, yang mayoritas berisi masyarakat Jawa dan Madura. Tapi kami tetap bisa menyatu dan menjadi bagian erat dari masyarakat setempat. Ini karena kami saling merawat kebaikan dan toleransi.

Di bulan Ramadhan ini, Konde.co menyajikan tulisan khusus dari para perempuan muda soal refleksi mereka tentang keberagaman. Edisi ini bisa kamu baca mulai 10-16 April 2023.

Pertanyaan seperti ini sudah sering aku dengar

“Orang keturunan Tionghoa, kok tinggal di perkampungan yang mayoritas penduduknya orang Jawa dan Madura?.” 

Tak dipungkiri, pertanyaan itu sering sekali meluncur kepadaku. Termasuk dari sesama keturunan Tionghoa. 

Keluargaku adalah keturunan Tionghoa yang tinggal di sebuah Kampung di daerah Surabaya Utara, yang terkenal dengan orang Madura nya, dimana selama ini dikenal dengan masyarakatnya yang susah diatur, suka judi burung dara dan lainnya. Keluarga kami adalah satu-satunya keturunan Tionghoa yang sudah tinggal disana sejak awal 70-an. 

Sejak kecil orang tuaku tidak pernah melarangku untuk bergaul atau bermain dengan anak-anak kampung lainnya. Mulai bermain Layang-layang, bermain kelereng, balapan sepeda dan lainnya. Kami selalu main bersama.

Papaku terbilang aktif di lingkungan sekitar. Papa pernah menjadi pengurus kampung, jadi bendahara Rukun Warga (RW) dan juga yang membangun balai RW bersama dengan warga lainnya. Beliau juga turut melakukan jaga malam atau Siskamling.  

Dikarenakan kedekatan yang telah dibangun sejak aku kecil sampai sekarang, membuatku merasa jadi bagian dari kampung itu dan tidak pernah mengalami diskriminasi. Banyak pengalaman indah tentang toleransi yang aku alami. 

Tiap jelang bulan puasa, keluarga kami selalu dikirimi kue apem khas megengan, bahkan Idul Adha pun ikut kebagian daging kurban. Ketika aku tanya dengan panitia, “Lho kok aku dapat? Katanya “Iya Ce, semua satu kampung dapet kok!

Saat lebaran ketupat juga, keluarga kami selalu mendapat kiriman ketupat dari tetangga. Itu sebabnya mamaku tidak pernah lupa untuk memberikan bingkisan sembako buat warga yang tidak mampu seminggu sebelum lebaran. Mamaku pernah berpesan, jangan menghentikan kebiasaan ini meskipun mama meninggal. 

Sejak itu aku selalu menyiapkan parcel yang kupesan dari tetangga. Bahkan kadang aku memesan takjil untuk dikirim ke masjid dari tetanggaku yang pedagang kolak. Di lain kesempatan, aku pernah pula memesan nasi bungkus dari pedagang nasi di pasar untuk Jumat berkah. Relasi ini berjalan dari tahun 70-an hingga sekarang, atau sudah lebih dari 50 tahun lamanya.

BACA JUGA:

Mengucapkan Selamat Hari Raya Pada Teman Beda Agama Itu Bukan Dosa

Cerita 2 Pasangan Beda Agama, Putus Atau Lanjut Kalau Sudah Sayang?

Indahnya Merawat Toleransi

Kebaikan orang kampung terlihat sewaktu mamaku meninggal. Mereka rela mengeluarkan uang patungan untuk sewa angkot agar bisa melayat. Padahal, aku tau bahwa mereka rata-rata dari keluarga yang sangat sederhana. 

Tidak hanya itu, mereka juga menguatkanku yang kala itu tinggal sendirian. Ketika tau mamaku meninggal, banyak pedagang pasar (yang kebetulan letak pasarnya berada di sebelah rumahku), semua mengucapkan turut berduka dan melarangku membayar ketika membeli nasi atau membeli bumbu dapur. 

Bahkan ada beberapa pedagang pasar itu yang bilang “Kalau sedih di rumah sendirian, main aja disini!” Itu sebabnya aku selalu merasa aman tinggal di kampungku, karena mereka selalu peduli dan melindungi. 

Pernah suatu hari, mamaku saat itu pulang dari Pasar Atom Surabaya naik becak. Abang becaknya memaksa meminta tambahan uang kepada mama ketika sampai di depan gang. Mamaku pun sempat marah sama abang becaknya. Tak mau kalah, abang becak itu malah melawan. 

Di momen itu, tiba-tiba datanglah abang becak asli kampungku. Dia melindungi mama. Namanya, Nakim. “Kamu jangan main-main dengan orang kampung sini!,” ucapnya dengan logat bahasa Jawa dan Madura yang khas, sambil meminta pergi abang becak yang memalak mama itu.

Beberapa waktu kemudian saat aku menunggu jemputan mobil online, aku diberi tau Nakim sesuatu. Katanya, waktu Nakim masih kecil, dia pernah dituduh mencuri jambu oleh tetangga depan rumahku. Nakim pun dihukum angkat kaki satu sambil memegang kupingnya. Kondisinya di terik matahari. 

Nakim bercerita, saat itu padahal dia tidak mencuri. Dia tidak mengambil jambu dari pohon, tapi hanya mengambil yang sudah jatuh ke tanah. Nakim bilang sudah mau nangis karena merasa takut.

Katanya, untung ada Papaku yang menyuruhnya pulang. Papa membela Nakim. Papa lalu memarahi tetangga depan rumahku. “Wong cuma jambu aja dan kamu sendiri belum tentu memakannya. Kok, sampai menghukum anak orang!” kata Nakim menirukan ucapan papaku saat itu. 

Nakim bilang, dia tidak akan pernah melupakan kejadian itu. 

Aku jadi paham sesuatu: ketika kita melihat manusia sebagai manusia tanpa melihat suku, ras, etnis maka semua akan saling menghargai. Kebersamaan juga akan terjalin dengan indah. Ini adalah refleksi ku dari kehidupan ku yang selama ini tinggal bersama masyarakat yang berbeda-beda.

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!