Edisi Khusus Perempuan Muda dan Keberagaman: Pengalamanku Mengenal Teman Beda Agama

Sebelumnya, aku tidak pernah berteman dengan teman yang agamanya berbeda denganku, aku cukup deg-degan dan takut. Penyebabnya macam-macam, seperti aku takut harus bereaksi seperti apa, takut salah bicara. Namun ternyata kekhawatiran ku tidak terbukti

Di bulan Ramadhan ini, Konde.co menyajikan tulisan khusus dari para perempuan muda soal refleksi mereka tentang keberagaman. Edisi ini bisa kamu baca mulai 10-16 April 2023.

Namaku Jannah, selama 24 tahun lahir dan tumbuh di Sukoharjo, Jawa Tengah. Semenjak lahir, aku tumbuh di lingkungan yang mayoritas masyarakatnya beragama Islam. Aku baru memiliki teman dari agama lain semenjak di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA). Itupun cuma setahun saja kami berada dalam satu kelas, sehingga tidak berinteraksi dengan intens selepas berpisah kelas. 

Lulus SMA, aku melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Negeri Raden Mas Said Surakarta. Di kampus, teman-temanku semuanya beragama Islam. Setelah lulus kuliah, aku mulai mengikuti organisasi dan komunitas di luar kampus. Mulai dari yang fokusnya ke isu kesetaraan gender, anti kekerasan hingga perdamaian dan toleransi. 

Aku juga aktif mengikuti kegiatan-kegiatan anak muda yang biasanya aku temukan melalui sosial media. Kemudian aku mendaftar sesuai dengan syarat yang ditentukan dan mengikuti proses seleksi. Melalui aktivitas-aktivitasku ini, aku bertemu dengan banyak teman dari berbagai macam latar belakang yang berbeda mulai dari agama, suku, budaya, gender hingga orientasi seksual.

Awal berinteraksi dengan teman-teman yang berasal dari beragam latar belakang rasanya berdebar-debar dan takut. Penyebabnya macam-macam, seperti aku takut harus bereaksi seperti apa, takut salah bicara, dan juga takut apa yang aku lakukan kurang berkenan bagi mereka. Namun ternyata kekhawatiran-kekhawatiranku tersebut tidak terwujud. Justru mereka sangat baik, welcome, dan tidak semenakutkan seperti yang aku kira. 

Kini, aku jadi semakin mudah bergaul dengan teman yang berasal dari latar belakang yang beragam. Pepatah yang mengatakan bahwa pengalaman adalah guru terbaik benar adanya.

Saat ini aku aktif menjadi Ketua Youth Task Force Anti Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) Indonesia, sebuah organisasi di bawah naungan Zero Human Trafficking Network Indonesia. Di dalam jaringan ini, aku mengenal banyak teman dan juga para aktivis senior dari berbagai latar belakang agama. Kami bersama-sama melawan perdagangan orang di Indonesia. Banyak tokoh agama yang terlibat disini seperti romo, biarawati, pendeta, dan juga ulama. Perbedaan agama yang kami miliki tidak menjadi masalah dalam melawan bentuk kejahatan yang melukai kemanusiaan.

Ada yang menarik perhatianku ketika aku melihat, dalam agama Katolik terdapat pelayanan yang berfokus pada isu migran dan perdagangan orang yang dilakukan oleh biarawan dan biarawati. 

Aku cukup akrab berkolaborasi dan berinteraksi dengan mereka. Pada Oktober 2022, Talithakum Indonesia, jaringan para biarawati, mengadakan Training of Trainer Youth Ambassador And Human Trafficking Indonesia bertempat di Syantikara Youth Center, Yogyakarta. 

Aku mengikuti acara tersebut selaku delegasi dari Youth Taskforce Anti TPPO. Peserta acara ini kebanyakan adalah jaringan dari Talithakum Indonesia yang tersebar di 9 wilayah di Indonesia. 

Aku merasa senang sekali bisa berinteraksi dengan teman-teman dan tokoh agama Katolik. Aku yang memakai jilbab, sehingga tanpa ditanya pun orang akan tau aku beragama Islam, diperlakukan dengan sangat baik dan diberi kesempatan yang sama dalam forum. Bahkan, yang membuat aku terharu adalah aku diberi kesempatan untuk memimpin doa ketika kami akan makan. Sungguh suatu hal yang tidak pernah aku lupakan.

BACA JUGA:

Mengucapkan Selamat Hari Raya Pada Teman Beda Agama Itu Bukan Dosa

Cerita 2 Pasangan Beda Agama, Putus Atau Lanjut Kalau Sudah Sayang?

Minoritas Tionghoa Rawat Keberagaman di Kampung Kami

Kami berbaur saat di forum dan berdiskusi dengan sangat serius. Selepas acara, kami terus berjejaring dan komunikasi untuk bekerja sama dan berkolaborasi demi melawan perdagangan orang melalui media. Dari kegiatan ini aku mengenal lebih jauh tentang biarawan dan biarawati sebab di acara ini terdapat beberapa suster, frater, dan juga romo. Aku kagum terhadap mereka sebab mereka mengabdikan dirinya sepenuhnya hanya untuk Tuhan. Demi menjadi biarawan dan biarawati juga ternyata membutuhkan perjalanan serta perjuangan yang tidak sebentar dan tidak mudah.

Hal serupa aku temui dan pelajari lagi ketika kemarin bulan Februari 2023 menjadi panitia pembukaan Youth Taskforce Anti TPPO Simpul Nusa Tenggara Timur (NTT). 

Acara kami dilaksanakan di St. Camillus Social Center Maumere, NTT. Lokasi kegiatan kami dikelilingi oleh para biarawan dan biarawati sehingga aku semakin banyak mengenal tokoh agama Katolik. 

Aku juga diantar berkunjung ke Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Maumere, NTT oleh Romo Agus Duka, SVD., Koordinator Zero Human Trafficking Network. Di IFTK Ledalero, aku diantar berkeliling oleh Frater Rio dan diajak berkenalan dengan teman-temannya sesama frater yang sedang menuntut ilmu disana. Mereka sangat pengertian kepada kami seperti kami diberi waktu untuk beribadah sholat dan juga memahami bahwa kami tidak dapat makan babi serta mengkonsumsi minuman beralkohol. 

Melalui perjumpaan ini aku jadi mengerti bahwa jika kita saling memahami satu sama lain maka akan tercipta perdamaian meski banyak sekali perbedaan diantara kita.

Selain aktif di beberapa organisasi dan komunitas, aku juga sedang menempuh pendidikan Magister Program Studi (Prodi) Interdisciplinary Islamic Studies (IIS) Konsentrasi Islam dan Kajian Gender UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

Kampusku ini menjadi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang paling menonjolkan sisi interfaithnya. Aku bertemu dengan beberapa tokoh agama Kristen dan Katolik di Fakultas Pascasarjana. Ya, ada pendeta dan romo yang kuliah disini. Biasanya mereka mengambil Magister Prodi IIS Konsentrasi Islam Nusantara. Aku mengenal 2 pendeta yang kemudian turut melanjutkan pendidikan doktornya disini, mereka mengambil konsentrasi Studi Antar Iman. Tidak hanya itu, Kaprodi Magister Prodi IIS, Dr. Nina Mariani Noor, SS., MA., merupakan seorang perempuan Ahmadiyah.

Dari berbagai pengalaman yang aku dapatkan selama hidup 24 tahun ini aku banyak belajar bahwa perbedaan itu tidak untuk dipermasalahkan tetapi untuk dirayakan dan disiram dengan sifat saling menghargai dan menghormati satu sama lain. 

Aku menjadi berpikir betapa pentingnya memiliki pengalaman berinteraksi dengan teman yang berbeda dari kita supaya dapat memunculkan rasa toleransi. Oleh karenanya, aku sering membagikan pengalamanku berinteraksi dengan teman-teman yang berbeda latar belakang khususnya agama melalui sosial media dan podcast. Tujuannya supaya teman-teman yang tidak memiliki kesempatan yang sama sepertiku, yaitu mengenal orang dari berbagai latar belakang, dapat memiliki pengalaman tidak langsung dengan mengonsumsi konten yang aku upload. Dengan demikian, mereka juga akan memetik hikmahnya.

Roudhotul Jannah

Mahasiswa Magister Interdisiplinary Islamic Studies Konsentrasi Islam dan Kajian Gender Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!