Hati-hati, Influencer Misogini Menyerang Remaja Laki-laki

Para influencer menunjukkan versi maskulinitas yang penuh kebanggaan. Mereka melegitimasi, bahkan secara provokatif, kegelisahan laki-laki dan kebencian termasuk terhadap perempuan.

Banyak orang tua, guru, dan politikus di Inggris, tempat saya mengajar, khawatir dengan meningkatnya daya tarik “influencer misogini (kebencian terhadap perempuan)” bagi para remaja dan anak muda laki-laki.

Para influencer ini – termasuk salah satunya Andrew Tate – mengunggah konten untuk ribuan pengikut mereka, umumnya berbentuk video hingga podcast yang membalut pesan-pesan misoginis melalui saran tentang hubungan, kesehatan mental dan kesejahteraan, serta bagaimana meraih kesuksesan materiel dan juga status sosial.

Banyak pihak menganggap mereka punya dampak negatif terhadap perilaku, ekspektasi, dan kepercayaan anak muda laki-laki, termasuk terkait peran gender dan hubungan antara laki-laki dan perempuan.

Saya telah melakukan riset mendalam dengan anak muda terkait seks dan hubungan selama hampir satu dekade. Kita perlu menanyakan dan mempelajari apa arti dari meningkatnya daya tarik influencer misogini di antara sejumlah anak muda laki-laki, kaitannya dengan perasaan mereka terhadap diri mereka sendiri, serta apa artinya menjadi laki-laki di era sekarang.

Selain itu, kita juga perlu mencari tahu kaitan tren ini dengan kegagalan masyarakat untuk menjawab tantangan yang dihadapi anak muda laki-laki secara serius. Tampaknya, saat ini ada celah atau vakum yang kemudian diisi oleh para influencer ini.

Saya memakai istilah “misoginis” untuk merujuk pada ekspresi-ekspresi yang secara jelas memuat kebencian atau ketidaksukaan terhadap perempuan – tapi juga, secara lebih luas, ide-ide seksis terkait laki-laki maupun perempuan.

Mencari audiens

Kita bisa memahami daya tarik influencer misogini dengan berpikir tentang faktor-faktor “pendorong”, “penarik”, dan “personal”.

Faktor pendorong muncul dari situasi-situasi ketika anak muda laki-laki menemukan diri mereka berada dalam masyarakat yang seakan membuat konten para influencer misoginis ini lebih “mengena”.

Salah satu contohnya adalah persepsi bahwa remaja perempuan dan perempuan muda punya capaian yang lebih unggul di tempat kerja maupun sekolah, dan akibatnya, remaja dan anak muda laki-laki menjadi dirugikan dan tertinggal dalam hal peluang dan dukungan yang tersedia bagi mereka.

Sementara, faktor penarik adalah taktik-taktik yang digunakan para influencer misogini untuk mendongkrak daya tarik mereka. Ini termasuk penggunaan konten visual yang menarik serta manipulasi media sosial. Mereka mampu menciptakan respons emosional yang intens melalui pesan-pesan ekstrem, sembari menghadirkan suatu komunitas berisi orang-orang dengan pemikiran serupa.

Faktor personal kemudian menjelaskan tingkat kerawanan yang berbeda antara para anak muda laki-laki terhadap dampak buruk dari para influencer misogini. Mereka yang lebih intens merasakan tekanan ekspektasi terkait maskulinitas dari rekan sejawat, bisa jadi lebih rentan.

Misalnya, ini termasuk anak muda laki-laki yang secara sosial terisolasi atau dikucilkan, atau mereka yang teman sebayanya menjunjung dan merayakan bentuk-bentuk maskulinitas berbasis dominasi dan keberhasilan dalam mengejar dan “menaklukkan” perempuan.

Dalam riset yang saya lakukan dengan remaja laki-laki berusia 12 sampai 17 tahun terkait persetujuan seksual (sexual consent), saya menemukan bahwa mereka sebenarnya menginginkan interaksi seksual yang konsensual dengan perempuan, tapi mereka khawatir dengan kompleksitas seputar consent.

Mereka merasa bertanggung jawab sebagai pihak yang dianggap “inisiator” hubungan seksual, untuk memastikan bahwa hubungan tersebut konsensual. Banyak dari mereka kemudian resah karena kerap diperingatkan bahwa mereka bisa saja terkena masalah hukum jika hubungan seksual tersebut tidak konsensual.

Akibatnya, bagi banyak dari mereka, interaksi heteroseksual penuh dengan risiko hubungan seks yang tidak diinginkan – dan dampak legal yang mungkin terjadi jika seorang remaja atau anak muda perempuan mengklaim bahwa hubungan seksual mereka tidak konsensual.

Beberapa anak laki-laki dalam riset saya kemudian juga mengekspresikan sentimen-sentimen yang agresif terkait remaja dan anak muda permepuan, termasuk bahwa mereka bisa saja “berbohong” terkait pengalaman kekerasan seksual.

Orang dewasa, termasuk guru, kemudian bisa saja merasa perlu menyetop keyakinan semacam ini sebagai upaya mewujudkan ketegasan melawan penyebab-penyebab kekerasan seksual – tapi ini bisa jadi menyebabkan remaja dan anak muda laki-laki merasa tidak didengar.

Saya menemukan bahwa sikap mereka kerap merefleksikan keresahan dan kecemasan yang mengakar, yang tidak diakui atau ditangani secara bermakna.

Maskulinitas yang “ideal”

Influencer misogini seperti Andrew Tate tampaknya menawarkan solusi kepada remaja dan anak muda laki-laki terkait berbagai tantangan tersebut, serta cara untuk merasionalisasi perasaan dan pengalaman mereka.

Solusi-solusi tersebut kerap melibatkan kritik terhadap politik gender yang progresif, yang menurut mereka, merugikan laki-laki maupun perempuan. Pada akhirnya, mereka mengakdvokasikan untuk kembali ke peran gender tradisional.

Para influencer ini menunjukkan suatu versi maskulinitas yang penuh kebanggaan. Mereka melegitimasi, bahkan secara provokatif, kegelisahan laki-laki dan kebencian termasuk terhadap perempuan. Konten mereka bisa jadi menarik bagi remaja dan anak muda laki-laki yang mungkin merasa maskulinitas mereka senantiasa distigmatisasi dan disalahkan secara tidak adil.

Pesan-pesan ini cenderung menyederhanakan isu dan bersifat membelah. Bentuk maskulinitas semacam ini sebenarnya sulit diraih, dan bahkan bisa jadi tidak diinginkan – seorang anak muda laki-laki yang saya wawancarai dalam riset mengatakan bahwa “yang sebenarnya diinginkan sebagian besar orang dari suatu hubungan, adalah hubungan yang baik”.

Respons para anak laki-laki terhadap influencer semacam ini kemungkinan juga bervariasi dan kompleks. Suatu laporan dari Global Boyhood Initiative, program dari organisasi nirlaba Equimundo yang menyediakan sumber daya dalam bidang kesetaraan gender, menunjukkan bahwa remaja dan anak muda laki-laki memegang opini-opini yang berbeda terkait maskulinitas dan punya identitas maskulin yang beragam sebagai individu.

Ini menunjukkan bahwa beberapa anak muda laki-laki tidak melihat gambaran maskulinitas ala Andrew tate sebagai sesuatu yang baiknya ditiru secara gamblang atau sepenuhnya dijadikan aspirasi.

Lebih dari itu, remaja cenderung tertarik dengan risiko dan pemberontakan. Semakin orang dewasa menceramahi remaja dan anak muda laki-laki terkait buruknya influencer misogini, justru semakin meningkat daya tariknya, karena ini kemudian menjadi peluang bagi mereka untuk melawan dan memberontak terhadap norma-norma orang dewasa.

Oleh karena itu, tidak cukup untuk sekadar mengatakan bahwa para influencer ini salah, atau bahwa anak muda laki-laki sepatutnya merasa malu karena menyukai mereka. Kita juga perlu menawarkan alternatif yang solid.

Tapi, bisa jadi saat ini kita tidak tahu apa alternatif yang lebih baik tersebut. Sebagai masyarakat, kita tampaknya masih memperdebatkan terkait peran dan relasi gender, dan belum mencapai konsensus. Maka, sebaiknya kita tak langsung menyetop, mengkoreksi, atau bahkan lebih buruk lagi, mempermalukan anak muda laki-laki yang bergelut dengan kompleksitas ini.

Influencer misogini sering memberi tahu para anak muda laki-laki bahwa tidak ada satupun yang mencoba mendengarkan mereka dan bahwa mereka terus dibungkam, terutama oleh mereka yang dianggap oleh para influencer ini sebagai “feminis pembeci laki-laki”.

Saran saya, ini saatnya untuk lebih mendengarkan para remaja dan anak muda laki-laki. Kita perlu menawarkan pada mereka peluang untuk memainkan peran positif dalam mengidentifikasi keyakinan-keyakinan yang misoginis, sekaligus mengembangkan cara-cara lain untuk memandang kedudukan mereka dalam masyarakat.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Emily Setty

Senior lecturer in criminology, University of Surrey
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!