Ide Mengolah Limbah Fesyen Demi Cuan Dan Ramah Lingkungan

Cerita para pebisnis perempuan mengolah limbah fesyen. Tidak hanya menguntungkan secara finansial, ide ini juga berkontribusi positif terhadap lingkungan.

Bisnis pakaian bekas, yang dalam bahasa gaul sering disebut sebagai second hand fashion bussiness, menjangkau audiens yang lebih besar di tengah badai keuangan yang disebabkan oleh pandemi. Beberapa orang kreatif menangkap peluang ini dengan memberikan sentuhan baru pada produk-produk bekas itu sehingga terkesan baru. Bisnis ini bukan hanya menguntungkan secara finansial, tapi juga memberikan kontribusi positif terhadap lingkungan karena memanfaatkan banyak limbah fesyen.

“Aku membangun Bazooqu tidak sekadar ingin jualan untuk dapat uang banyak. Kalau kalian membeli produk-produk Bazooqu sama artinya dengan menyelamatkan bumi dari limbah fesyen,” kata Zulfah Nazala (27 tahun), pendiri Bazooqu, toko online yang menawarkan produk-produk pakaian bekas yang dipermak atau diberi sentuhan kreatif sehingga terkesan baru.

Sebagian orang barangkali menganggap pernyataan Zulfah bombastis. Namun sesungguhnya ada benarnya. Banyak laporan menunjukkan, fesyen adalah industri penyebab polusi terbesar kedua di dunia, setelah industri minyak, karena perkembangannya yang begitu cepat. Memanfaatkan pakaian bekas sama artinya dengan memperpanjang usianya sehingga ikut menyelamatkan bumi dari limbahnya.

Tidak ada perhitungan pasti berapa banyak limbah fesyen di Indonesia. Namun, earth.org — platform berita dan data lingkungan – baru-baru ini melaporkan, dari 100 miliar helai pakaian yang diproduksi setiap tahun, 92 juta ton berakhir di tempat pembuangan sampah. Singkatnya, ini setara dengan truk sampah besar penuh pakaian yang berakhir di tempat pembuangan sampah setiap detik. Jika tren ini berlanjut, jumlah limbah fesyen diperkirakan akan melonjak hingga 134 juta ton per tahun pada akhir dekade ini.

Budaya membuang pakaian juga semakin buruk selama tahun-tahun terakhir. Saat ini, banyak pakaian hanya dikenakan tujuh sampai sepuluh kali sebelum dibuang. Itu penurunan lebih dari 35 persen hanya dalam 15 tahun terakhir.

Ketika pertama kali didirikan pada akhir tahun 2017, Bazooqu hanya menjual pakaian bekas. Namun sejak pandemi melanda, Zulfah mengubah strategi dagangnya dengan mengaplikasikan konsep reworked thrift. Pakaian bekas yang ditawarkannya dimodifikasi sedemikian rupa sehingga tampil dalam wujud baru.

“Sebelum reworked itu harganya under Rp100 ribu per potong. Sekarang harganya itu Rp200 ribu hingga Rp250 ribu per potong,” jelasnya.

Sebagai informasi, modal Zulfah untuk membeli baju bekas itu hanya Rp20 ribu hingga Rp 50 ribu per potong. Ini artinya, ia memetik keuntungan yang cukup signifikan.

Lulusan Sastra Indonesia Universitas Padjajaran yang mengaku senang menggambar tapi tidak memiliki latar belakang fesyen ini mengaku makin terpacu dengan minat pasar yang tinggi ini.

Seperti halnya seorang perancang mode, ia mengeluarkan koleksi pakaian yang dinamakannya batch, yang terdiri dari 10 hingga 15 potong pakaian yang mengusung tema yang sama.

Di batch terbarunya ia memanfaatkan limbah bahan organza yang dibelinya secara kiloan dari pabrik-pabrik pakaian di kawasan Cigondewah. Ia memanfaatkan latar belakang pendidikan sastranya untuk menciptakan narasi menggelitik dalam koleksi yang ditawarkan di toko online-nya.

Bazooqu yang bermarkas di Bandung kini mengumpulkan pendapatan Rp 50 juta hingga Rp 60 juta per bulan. Zulfah menuangkan ide kreatifnya dengan dibantu sang kakak, Fauzani Nafilah, 30, dan empat penjahit tetap. Menurut Zulfah, para penjahit yang menjadi stafnya direkrut karena kondisi ekonomi mereka.

“Jadi campaign-nya Bazooqu ini tidak hanya untuk menangani limbah, tapi juga memberdayakan para penjahit yang kondisi ekonominya sulit,” jelasnya.

BACA JUGA: Fast Fashion Berdampak Buruk Pada Pemanasan Global, Pentingnya Perjuangkan Thrift Shop

Konsep reworked thrift juga diadopsi Via Ria Anggraeni, 25, pendiri toko online TemanThrifhty. Lulusan jurusan Komunikasi Universitas Islam Bandung ini awalnya, sekitar Oktober 2019, hanya menawarkan pakaian bekas miliknya pada akun Instagramnya (@temanthrifty). Ternyata, peminatnya banyak.

Ia kemudian berpikir untuk menjadikan usaha isengnya menjadi bisnis sungguhan, dengan melibatkan lebih banyak orang. Ia tidak hanya menjual pakaian bekas, tapi mendesain ulang pakaian-pakaian itu menjadi pakaian baru. Ketika mengunggah karya-karyanya di Instagram, pada Oktober 2020, reaksinya di luar perkiraan. Harga pakaian-pakaian yang ditawarkannya jauh lebih tinggi daripada biasanya namun peminatnya justru meningkat.

Via mengaku, tema yang diterapkan pada karya-karyanya adalah fun and cute. “Yang membedakan mungkin dari ciri khas kain dan desain yang secara kontinyu dibuat. Kami menggunakan kain polkadot, kain warna-warni dan rampel di beberapa bagian baju yang berbeda dengan reworked biasanya,” katanya.

Menurut Via, minatnya menekuni second hand fashion tidak lepas dari keprihatinannya akan limbah fesyen. Ia mengungkapkan, pabrik pakaian semakin hari makin banyak, sehingga limbahnya makin menumpuk. Mengajak orang-orang untuk memperpanjang usia pakaian, katanya, adalah bagian dari usahanya mengurangi limbah itu.

Peluang besar bisnis limbah fesyen juga terbaca oleh Hana Surya, 58, pendiri Threadapeutic, studio kerajinan tangan di bidang tekstil di Jakarta Timur, yang mendasarkan konsep produksinya pada upaya meminimalkan limbah.

Hana mengetahui itu sewaktu menjadi liason Indonesia Fashion Week 2015. Ibu rumah tangga dengan latar pendidikan bisnis administrasi ini diminta menyiapkan sekitar 200 tas souvenir untuk media. Hanya saja, katanya, ketika, itu ia diminta hanya memanfaatkan limbah fesyen yang tersedia, termasuk event banner, sisa-sisa bahan dari para perancang, dan produk-produk fesyen lama yang sudah tidak terpakai. Ternyata, katanya, banyak yang tertarik dengan ide memanfaatkan limbah fesyen ini dan ini berarti ada pasarnya.

BACA JUGA: Sustainable Fashion, Aktivis Lingkungan dan Produsen Baju Kolaborasi Stop Sampah

Threadapeutic pada awalnya hanya terfokus pada aksesori fesyen seperti tas dan dompet, tapi kemudian melebarkan sayapnya ke produk-produk interior, seperti tapestri, sarung bantal, dan karpet dinding (wall panel). Hampir keseluruhan bahan untuk kebutuhan produksinya diperoleh dari limbah industri pakaian yang diperolehnya secara gratis — tapi bukan pakaian bekas.

Tapi ia sendiri mengaku usahanya belum begitu banyak membantu mengatasi limbah fesyen. “Dari satu pabrik garmen saja, yang kita ambil untuk diolah hanya secuil. Dalam sebulan mereka bisa menghasilkan waste hingga 10 ton. Sedangkan kita, selama tujuh tahun hanya bisa mengolah sekitar satu ton,” jelasnya.

Threadapeutic yang hanya dioperasikan kelompok kecil yang terdiri dari delapan orang, termasuk Hana meraih pendapatan rata-rata Rp 500 juta per tahun. Bisnis tas dari limbah fesyen, menurut pengakuannya, hanya menyumbang sekitar 20 persen dari pendapatannya. Order besar yang sesekali muncul, biasanya datang dari perusahaan-perusahaan arsitektur atau desain interior yang membutuhkan berbagai kebutuhan interior.

Threadapeutic menjelajahi pasar desain interior sejak menghadirkan panel dinding kain pada tahun 2019 di pameran perdagangan dekorasi dan gaya hidup terkenal, Maison&Objet Paris. Saat ini, panel dinding mereka ditampilkan dalam dua instalasi di kantor pusat Bank Jago di Jakarta Selatan.

“Saya tidak mau bilang saya orang yang sangat ecoconscious. Saya hanya melihat kesempatan bahwa raw material sebuah bisnis tidak harus dari bahan yang baru. Terbukti bahwa kita bisa memanfaatkan waste. Jadi kita upayakan 80-90 persen raw material itu dari bahan sisa. Yang kita utamakan adalah fashion waste,” jelasnya.

Hana mengaku tidak punya banyak pengalaman di bisnis fesyen ketika membuka Threadapeutic. Ia bahkan baru mempelajari teknik jahit stich and slash untuk menghasilkan bahan dekoratif berlapis dengan efek faux chenille (halus dan empuk setelah dicuci) enam bulan setelah membuka bisnisnya. Teknik itu banyak digunakan untuk produk-produk Threadapeutic.

Ia mempelajari teknik tersebut dari sepupunya, Dina Midiani, seorang perancang busana senior yang dikenal sering membuat produk dengan kain sisa. Teknik rumit yang melibatkan pelapisan kain dan kemudian memotongnya dengan hati-hati untuk menciptakan tekstur yang compang-camping ini memungkinkan Hana dan timnya memanipulasi banyak jenis kain, seperti katun, poliester-katun, sifon, dan denim.

Beberapa merek fesyen ternama di Indonesia, seperti Purana, SukkhaCitta dan (X)SML, kini telah bekerja sama dengan Threadapeutic untuk mendonasikan kain sisa mereka. Sebuah rumah sakit ternama bahkan menyumbangkan seprai lama mereka untuk diolah kembali. 

Artikel asli pertama kali tayang di VOA Indonesia.

Arif Budiman

Jurnalis Voice of America/ VOA
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!