Kisahku Membesarkan Anak Bertubuh Mini: She Is Special and Limited Edition

Viyi menderita Achondroplasia atau kelainan pertumbuhan yang menyebabkan kekerdilan. Pada suatu malam, Viyi berbaring di sampingku, berbantalkan lenganku, tiba-tiba dia bertanya, “Mommy, when Viyi grow up, Viyi will be tall like Mommy, right?. Pertanyaan Viyi itu seperti silet yang menyayat hatiku.

Dimanapun berada, dia selalu menjadi pusat perhatian. Orang-orang biasa memandanginya lama diikuti dengan pertanyaan yang terucap maupun tidak. 

“Umur berapa dia?”

“Kok, pendek?”

Aku sering merasa risi dengan perkataan orang-orang seperti itu. Pertanyaan-pertanyaan mereka kerap kuabaikan dengan tatapan nyalang, atau kalau tidak, aku akan kembali bertanya, “Kenapakah?” 

Perasaan iri terhadap anak-anak seusianya yang bisa melakukan apa pun di tempat umum tanpa menarik perhatian orang lain sempat aku alami, sampai akhirnya kesadaran bahwa dia istimewa, perlahan-lahan tumbuh oleh banyak tingkahnya yang membuatku tercengang. 

Sejak balita, dia suka menonton berita. Sering dia menirukan gaya para presenter membaca berita. Dia pun pernah mati-matian berlatih menyanyikan lagu Indonesia Raya—dengan lafal yang cukup susah diucapkan karena mother of tang-nya adalah Bahasa Inggris. Katanya lagu tersebut ingin dia nyanyikan di hadapan Presiden Jokowi yang kala itu dilantik pada periode pertamanya. 

Dia bahkan berlatih membuat instrumen lagu menggunakan alat musik angklung, padahal belum pernah sekali pun melihat apalagi belajar cara menggunakannya. 

Sebenarnya yang perlu mendapatkan perhatian lebih agar bisa menerima keistimewaan itu adalah orang tua dari anak difabel. Proses penerimaan terhadap anak yang berbeda daripada lainnya itu tidak mudah. Selalu ada pergulatan batin, selalu ada kecemburuan ketika melihat anak lain bertumbuh “normal”, selalu ada yang ingin disalahkan, entah dirinya, lingkungan, bahkan sampai menyalahkan Tuhan. Belum lagi dituding sebagai penyebab dari anak mengalami difabel. Sungguh, itu bukan perkara mudah untuk dihadapi.

Selamat Datang ke Dunia

Inilah kisahku dan anakku. Anakku lahir di RS. Grestelina Makassar pada 21 Juni 2010, dengan berat 3.4 kg dan panjang 48 cm. Mereka bilang, dia gemuk berdasarkan ruas-ruas tangan dan kaki yang tampak seperti roti sobek. Aku bilang, mata mereka rabun. Anak yang baru kulahirkan itu tidak gemuk, tetapi tak seperti bayi biasanya. 

Sebelum dipindahkan ke ruang rawat, dua hari kami berada di ruang ICU selepas persalinan. Aku mengamati anakku dari luar kaca inkubator. Setiap kali melihatnya, aku seperti merasa ada yang berbeda dibandingkan dengan anak-anak yang pernah kulihat. Kepalanya besar, rambutnya hitam lebat, matanya belok, jembatan hidungnya datar, ukuran tangan dan kakinya pendek, jari-jemarinya terlihat seperti jempol semua.

Melihat kondisi anakku, ini membuatku teringat celetukan dr. Lenny Lisal, dokter kandungan di RS. Ibu dan Anak Sentosa Makassar, ketika memeriksakan kehamilan memasuki minggu ke-20. Dia keheranan saat mendapati ukuran paha janin yang menurutnya terlalu pendek.

“Edede… barusan kuliat ini ada paha bayi pendek begini,” celetuknya. Wajahnya tampak tegang dengan kedua bola mata melotot dari balik kacamata.

Celetukkan itu berhasil membuat aku dan suami pulang membawa kegelisahan karena tidak mendapatkan penjelasan apa-apa selain kata, “Tidak apa-apa ji”. 

Tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut kami sepanjang perjalanan. Air mataku tidak berhenti menetes. Celetukan dokter terngiang-ngiang di telingaku. 

Keesokan harinya, demi mencari second opinion, suami mengantarku bertemu dr. Arifuddin Djuanna, dokter senior yang juga dosen di Universitas Hasanuddin Makassar. Aku menceritakan padanya perihal celetukan dokter sebelumnya; perihal keresahanku. 

Lewat layar monitor, dokter mulai menarik garis lurus dari satu bagian tubuh janin ke bagian lainnya. 

“Tidak apa-apa. Tidak ada ji masalah. Normal semua ji.” 

Begitu kata dokter yang kerap disapa Puang Pudding itu saat melihat hasil print-out pemeriksaan.

Aku belum benar-benar yakin dengan hasil tersebut. Aku masih membutuhkan second opinion yang lain. 

Aku kembali meminta suami mengantarku ke dokter kandungan lainnya. Kami mendatangi dua dokter, hasil pemeriksaan keduanya sama seperti dokter sebelumnya. Tidak ada masalah dengan janinku. Namun, hal itu tetap belum bisa membuatku benar-benar tenang. 

Suatu ketika suami mendapat undangan rapat salah satu client-nya di Pulau Bali. Dia mengajakku ikut sekalian mencari second opinion berikutnya. Sehari setelah tiba di Bali, kami menuju RS. Surya Husadha di Kota Denpasar. Aku dan suami diantar ke ruang periksa. Aku diminta berbaring ke atas ranjang pasien sembari menunggu kedatangan dokter kandungan. 

“Melihat senyum Ibu yang tampak bahagia, saya yakin kondisi janin dalam kandungan Ibu baik-baik saja.” Begitu kata dokter yang mengenakan udeng (ikat kepala).

Aku melihat anakku lewat layar selebar dinding, tengah bergerak-gerak dan tampak sedang mengisap ibu jari. Detak jantungnya terdengar cukup keras bergaung lewat speaker dalam ruangan itu. Perasaan haru dan bahagia campur aduk. Janin dalam kandunganku terlihat begitu nyata. Dokter itu berhasil membuatku tenang. Akhirnya aku bisa menjalani kehamilan tanpa khawatir.

Sembilan bulan lewat seminggu, aku belum merasakan kontraksi apa-apa. Lewat dua minggu, belum ada tanda-tanda akan melahirkan. Jangankan rasa sakit di punggung yang kata orang seperti merasakan seluruh tulang punggung patah bersamaan, air ketuban yang pecah pun tidak ada. Sementara kian hari, janin kian aktif bergerak.  

Jam delapan malam kami menemui dr. Lenny Lisal untuk mengecek kandunganku yang sudah melewati waktu kelahiran normal. Lagi-lagi kedua bola matanya terbelalak.

“Tidak bisa mi menunggu lama. Ada kontraksi atau tidak, besok harus mi ke rumah sakit untuk persalinan. Plasenta bayi ta’ terlihat sudah terburai, air ketubannya juga sudah berkurang. Malam ini puasa ma ki’,” Begitu katanya. 

Suami masih terus berharap aku melakukan persalinan normal. “Orang di kampung kalau mau melahirkan cuma seperti berak, sekali-dua mengejan bayi langsung keluar. Setelahnya mereka baik-baik saja. Malah bisa langsung ke kebun,” ujarnya. 

Keesokan harinya kami menuju RS. Grestelina yang terletak di Sentral Kota Makassar, di tepi jalan raya Letjen Hertasning, yang hanya 3,6 km dari rumah. 

Dokter piket berhasil meyakinkan suami bahwa kondisi bayiku sudah tidak bisa menunggu lama. Tindakan operasi dilakukan oleh dr. Arifuddin Djuanna. Aku disuntik epidural di punggung bawah, obat bius yang digunakan untuk mengurangi rasa sakit selama proses persalinan. 

Lambat laun bagian tubuh mulai dari pinggang ke bawah terasa kebas, sampai akhirnya aku tidak bisa menggerakkan kaki sama sekali. Tapi aku masih bisa melihat apa yang terjadi lewat bayangan kap lampu berbahan metal yang tergantung di atas perut. Aku menyaksikan perutku dipotong dan darah yang keluar dari sana. Aku akhirnya menutup mata, hingga terdengar tangisan bayi tepat di pukul sembilan pagi.

Tradisi Pato         

Kami berada di rumah sakit selama empat hari, tiga malam. Pihak rumah sakit memberikan gelang pengenal berwarna merah muda kepada anakku dengan nama “Bayi Ny. Novi”. Semua yang datang berkunjung di rumah sakit kala itu bebas memanggilnya dengan nama apa saja. 

Aku sendiri bingung mau memanggil anakku dengan nama apa, karena aku seolah tidak memiliki hak untuk memberikan dia nama. Semua menjadi hak dan tanggung jawab suamiku. Aku tidak diberitahu nama apa saja yang telah digadang-gadang untuk anakku. 

Aku baru mengetahui nama itu tepat di hari kelima, sebelum kami berangkat dari rumah menuju Restoran Seruni untuk mengikuti upacara pemberian nama. Nama itu sudah dicetak di atas kertas HVS. Ada dua nama yang disiapkan. Salah satu nama disiapkan sebagai nama cadangan apabila leluhur dan semesta tidak menyetujui nama pertama. 

Undangan kepada para kerabat, tetangga, dan anggota rukun Paroki St. Regina, telah disebar sehari sebelum acara digelar. Upacara yang disebut Pato ini selalu dilaksanakan pagi sebagai awal memulai hari, yang bermakna bahwa pemberian nama merupakan awal seorang bayi memiliki identitas. 

Pato adalah upacara pemberian nama dari suku Wengge di Riung, Pulau Flores, dengan menggunakan media beberapa lembar daun sirih, buah sirih, buah pinang, dan kapur sirih yang telah ditata di atas nyiru sebagai perantara antara keluarga yang memberikan nama dengan semesta dan leluhur. 

Nama diberikan pada hari kelima, berdasarkan Mawa yang turun dari suami. Ada dua Mawa: Mawa 4 dan 5. Mawa merupakan pengelompokkan orang dalam tradisi Riung. Upacara dipimpin oleh orang yang dituakan dalam keluarga. 

Muri Karaeng, Embo’ Nusi Ina’n kami gi Pato’ gage’ kndo, embo anak miu. Embo’ nggaku. Meing nai miu ta nggluk, berkak embo’ nusi miu ndo lega’ng bantang na’ tala’ nuwa ne wulan, ndiris samang iko pi,” ucap ibu mertuaku yang tengah berdiri di samping bayi, memohon kepada Yang Maha Kuasa dan leluhur untuk menerima nama yang diajukan.

Sa, zua, telu, pat, eee limaaa.” Dihitungnya satu sampai lima sebelum melempar tiga belahan buah pinang ke atas nyiru di depannya.

Nampo!” teriaknya yang berarti nama tersebut disetujui oleh Yang Maha Kuasa dan para leluhur. Nampo dilihat berdasarkan jumlah buah pinang yang terbuka lebih banyak. Seandainya yang tertutup lebih banyak, nama diganti dengan nama cadangan.

Ng Astinovya Etheldrea dengan nama panggilan Viyi. “Ng” adalah nama yang diambil dari nama bapaknya. Diucapkan menjadi “Eng”, E untuk elang, bukan ember. 

Pato diakhiri dengan doa dan harapan supaya nama yang baru saja diberikan bukan sekadar nama, tetapi sebuah identitas diri yang akan dijaganya sebagai manusia yang berakhlak mulia.

Diagnosis Dokter

Memasuki usia dua minggu, terdengar semacam suara serak yang mengikuti setiap kali Viyi menarik napas. Kami membawanya periksa ke dokter anak di jalan Toddopuli. Dari situlah macam-macam dugaan terkait kondisi tubuhnya berawal.

Saat sedang membolak-balik tubuh Viyi sambil menempelkan stetoskop di dada dan punggungnya, dokter berkata. 

“Tubuhnya ini anak tidak proporsional ki’.” 

Dia kemudian menjelaskan bahwa panjang tangan dan kakinya tidak proporsional dengan panjang tubuh, ditambah ukuran kepalanya yang tampak besar. Dokter tidak menyarankan apa-apa selain meresepkan obat untuk suara serak yang dicurigai akibat air ketuban yang sempat masuk ke paru-paru. 

Lagi-lagi kami membutuhkan second opinion dari dokter anak yang lain. Kami mendatangi satu per satu dokter anak di seputaran Kota Makassar. Beberapa dokter berkata bahwa anakku menderita hidrosefalus dan ada satu dokter berkata dia menderita autis. Semua pernyataan itu dilontarkan tanpa melakukan pemeriksaan mendalam.  

Di tengah mencari kepastian, kami akhirnya bertemu dr. Nelly Rasyid di RS. Catherine Booth. Lama dia memandangi tubuh Viyi di atas ranjang periksa. 

“Sepertinya ini anak cebol,” katanya tiba-tiba. “Tapi bukan mi ranahku untuk melakukan pemeriksaan mendalam terhadap anak ta’. Nanti saya bikinkan ki’ surat rujukan ke dokter endokrinologi. Nanti dari ma ki’ dapat penjelasan yang sebenarnya tentang kondisi anak ta,” katanya lagi. 

Surat rujukan itu ditujukan kepada dr. Satriono, dokter senior spesialis anak konsultan endokrinologi. Surat itu kami bawa keesokan harinya di sebuah tempat praktik yang dipenuhi dengan anak-anak berkebutuhan khusus dengan kondisi fisik dan mental yang berbeda-beda.

Setelah mengantre cukup lama, kami masuk ke ruang periksa. Dokter memintaku meletakkan Viyi ke atas timbangan. Dia mulai mencatat berat badannya. Dia lantas menyuruhku meletakkan Viyi ke atas ranjang periksa dan melepaskan semua pakaiannya. Alat stetoskop berpindah-pindah dari dada ke punggungnya. Selepas itu dokter mulai mengukur lingkar kepala, lingkar dada, panjang tubuh, lengan dan kaki. Dokter juga mengambil fotonya menggunakan kamera saku. 

“Ini anak menderita kelainan pertumbuhan yang disebut achondroplasia.”

Aku menganga. Kata itu baru pertama kali kudengar. Aku tidak mengerti apa itu achondroplasia. Dengan pikiran bingung disertai kecemasan aku bertanya balik.

“Achondroplasia adalah kelainan pertumbuhan yang menyebabkan kekerdilan. Jadi, ketika dewasa tingginya hanya akan setinggi anak kelas lima atau enam SD,” jelas dokter.

Aku kian terkejut. 

“Apa kira-kira penyebabnya, Dok?” tanya suamiku. 

“Mutasi gen.”

“Apa itu?”

“Mungkin bapak bisa browsing untuk lebih jelasnya.”

“Jadi, apa yang harus dilakukan terhadap anak ini?”

“Sayangnya belum ada obat untuk kelainan pertumbuhan semacam ini. Meskipun begitu, pertumbuhan anak ini harus rutin dikontrol. Demi menghindari macam-macam penyakit yang bisa saja dideritanya.”

Sepanjang perjalanan pulang dari tempat praktik dokter, suasana dalam mobil begitu hening. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutku dan suami. Kami sama-sama terpukul. Viyi adalah anak yang telah kami nanti-nantikan. Ada banyak angan dan harapan yang kami cita-citakan padanya.

Air mata terus menetes turun ke kedua pipiku. Banyak sekali ketakutan yang tiba-tiba berkelebat dalam kepalaku. Ketakutan tentang kesehatannya, masa depannya, jodohnya, bagaimana dunia akan memperlakukannya, dan bagaimana dia menghadapi perlakuan dunia.

Achondroplasia

Menurut keterangan American Academy of Orthopaedic Surgeons, akondroplasia atau achondroplasia adalah kelainan tulang yang menyebabkan dwarfisme atau kekerdilan. 

Anak-anak yang terlahir dengan kelainan ini memiliki kepala berukuran besar dengan lengan dan kaki yang pendek, sementara ukuran batang tubuh (trunk) normal. Tinggi tubuh pengidap achondroplasia untuk laki-laki dewasa rata-rata sekitar 131 cm, sedangkan untuk perempuan dewasa rata-rata sekitar 124 cm.

Achondroplasia dimulai selama awal perkembangan janin ketika masalah pada gen mencegah tubuh mengubah tulang rawan menjadi tulang keras. Kelainan ini tergolong langka, hanya terjadi pada sekitar 1:10.000 – 1:30.000 atau 3,75 per 100.000 kelahiran. Angka tersebut dianggap cukup stabil untuk menentukan sebaran penderita. Kelainan ini memiliki mode pewarisan dominant autosomal yang berarti cukup satu salinan gen yang bermutasi untuk bisa menyebabkan kondisi tersebut. 

Sekitar 80% kasus terjadi pada anak-anak dari orang tua dengan tinggi rata-rata yang disebabkan oleh mutasi gen akibat perubahan spontan selama spermatogenesis. Sedangkan sisanya terjadi karena diwariskan dari salah satu atau kedua orangtua.

Kelainan pertumbuhan achondroplasia terjadi karena mutasi genetik FGFR3, bagian gen yang bertugas untuk menghasilkan protein yang disebut Fibroblast Growth Factor Receptor 3. Jenis protein tersebut memiliki peran yang sangat penting pada proses osifikasi atau proses berubahnya tulang rawan menjadi tulang keras. Tulang pun akan tumbuh lebih pendek dan bentuknya tidak normal terlebih pada bagian tungkai dan lengan. 

Penjelasan sederhananya seperti ini: kelainan pertumbuhan achondroplasia disebabkan oleh dua hal: mutasi gen spontan dan faktor genetik. Orang tua normal bisa mewarisi gen achondroplasia jika terjadi mutasi gen. Mutasi gen pada kasus ini lebih banyak disebabkan oleh pihak ayah di mana mutasinya sudah terjadi pada saat proses spermatogenesis (pembentukan sperma). Salah satu penyebabnya adalah usia ayah yang sudah lanjut. 

Apabila salah satu orang tuanya menderita achondroplasia, peluang anak memiliki risiko mengidap kondisi yang sama sebesar 50 persen. Sementara jika kedua orangtua mengidap achondroplasia, ada sekitar 25 persen peluang anak memiliki tinggi tubuh normal, 50 persen anak berpeluang memiliki satu jenis gen yang cacat sehingga mengakibatkan achondroplasia, dan 25 persen peluang menyebabkan kematian sebelum lahir atau pada awal masa bayi karena kesulitan bernapas. 

Selain mutasi gen, kolagen pun memiliki andil dalam pertumbuhan tulang. Kolagen adalah salah satu protein yang menyusun tubuh manusia. Sekitar 30 persen dari seluruh protein yang terdapat di tubuh adalah kolagen yang berpengaruh terhadap pembangunan tulang, gigi, sendi, otot, dan kulit. Bila semua tulang dalam tubuh mengalami kekurangan kolagen, maka pertumbuhan tulang terhambat dan mengakibatkan terjadinya achondroplasia atau semua tulang dalam tubuh menjadi pendek.

Sampai sekarang belum ada tindakan yang bisa mencegah apalagi mengobati penderita achondroplasia selain meminimalisir risiko komplikasi dalam masa pertumbuhan anak.  

Tumbuh Kembang

Setiap bulan kami rutin memeriksakan kondisi Viyi kepada dr. Satriono. Pertumbuhannya selalu dicatat dalam kertas berwarna merah muda. Tidak ada perkembangan signifikan yang terjadi padanya. 

Hingga usianya yang ketiga bulan, punggungnya belum tegak. Tubuhnya masih oleng ke kiri dan kanan jika tidak disanggah. Bahkan usia keenam bulan, dia belum bisa duduk. 

Dia hanya bisa merayap tanpa tahu caranya merangkak. Tepat di usia setahun, dia baru mulai belajar duduk. Setahun berikutnya, dia baru bisa berjalan. Sejak usia satu bulan hingga dua tahun, Viyi rutin mengonsumsi macam-macam vitamin khusus untuk pertumbuhan badan, otak, dan tulang. 

Kendati rutin minum vitamin, daya tahan tubuhnya tidak begitu bagus. Dia mudah terserang flu. Itu terjadi bahkan setiap bulan. Di saat Viyi berusia enam bulan, kami harus membawanya ke dokter THT. Ada nanah yang keluar dari lubang telinga kanannya. Menurut dokter, itu terjadi karena adanya peradangan atau infeksi pada bagian telinga tengah atau disebut otitis media. Selain infeksi telinga, hal itu juga terjadi karena adanya penyempitan saluran telinga yang merupakan dampak dari komplikasi achondroplasia.

Aku dan suami sadar bahwa anak ini harus memiliki kelebihan yang bisa menutupi kekurangan fisiknya. Selain memberinya vitamin dan makanan bergizi yang baik untuk perkembangan otaknya, seperti ikan tuna dan salmon, kami pun membiasakan telinganya dengan instrumen klasik, membacakannya buku, dan aktif mengajaknya bermain. 

Kecerdasannya mulai tampak di usia enam bulan, dia mudah menangkap apa yang dijelaskan atau ditanyakan padanya, seperti warna, bentuk, hewan, dan lain sebagainya. 

Dua Bahasa

Sejak awal, aku dan suami bersepakat untuk menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa ibu untuk Viyi dan Bahasa Indonesia adalah bahasa keduanya. Kami mulai berkomunikasi dengannya menggunakan kedua bahasa itu, tetapi lebih sering berbahasa Inggris. Baik buku-buku yang kami bacakan untuknya sebelum tidur maupun tontonan yang mulai ditontonnya semenjak usia enam bulan adalah yang berbahasa Inggris. 

Sayangnya hal ini menimbulkan pro dan kontra dari kalangan tetangga maupun beberapa orang teman. Ada yang berkata, anak akan mengalami bingung bahasa sehingga akan susah berkomunikasi dengan orang lain. Lainnya berkata bahwa mengajarkan anak dua bahasa akan menyebabkan masalah dengan kecerdasannya, itu bisa mengacaukan cara berpikir anak karena beban kognitif tambahan pada pusat bahasa di otaknya. Selain masalah kecerdasan, anak yang diajarkan dua bahasa sejak dini akan mengalami gagap bahasa karena terbatasnya jumlah kata yang bisa dipelajari dalam satu waktu. 

Banyak yang tidak menyadari bahwa orang Indonesia pun rata-rata bisa menguasai lebih dari satu bahasa sejak usia dini. Bahasa daerah tempat mereka tinggal dan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Karena aku dan suami berasal dari daerah yang berbeda dengan bahasa daerah yang berbeda pula, sehingga kami menjadikan Bahasa Inggris sebagai bahasa sehari-hari kami di rumah.

Apa yang dikhawatirkan mereka terhadap pengajaran dua bahasa pada anak usia dini, tidak terbukti. Di usia satu tahun Viyi mulai lancar berbicara. Bahasa Inggris adalah bahasa yang bisa diucapkannya, sementara Bahasa Indonesia sebatas paham saja. Dia tidak mengalami masalah dengan kecerdasannya. Dia pun cepat tanggap terhadap berbagai situasi yang dihadapinya. 

Hal ini menguntungkan bagi anak-anak kompleks sekitaran rumah di Puri Taman Sari. Mereka bisa belajar Bahasa Inggris dari Viyi. Sering teras rumah penuh dengan anak-anak usia TK dan SD pada sore hari. Mereka datang menemui Viyi untuk bertanya arti kata bahasa Indonesia ke bahasa Inggris dari kata apa saja yang ingin mereka ketahui. 

Ada sebuah pertanyaan yang sering dilontarkan kepada kami, “Lalu, bagaimana cara mengajarkan Bahasa Inggris kepada anak jika kedua orang tuanya tidak bisa berbahasa Inggris?”

Jawaban kami satu saja: Biasakan telinga anak-anak mendengar kalimat-kalimat berbahasa Inggris. Entah itu dari lagu maupun film. Hal ini sama halnya dengan bahasa daerah. Ketika masih kecil, kita tidak pernah dengan sengaja diajarkan oleh orang tua supaya bisa berbahasa daerah. Nyatanya kita bisa berbahasa daerah hanya melalui percakapan dari para orang tua yang kita dengar setiap hari.

Perundungan

Melihat minat Viyi terhadap huruf, angka, dan pelajaran lain di usianya yang ketiga tahun, membuat kami memutuskan untuk mencarikannya sekolah. Biar dia tidak bosan di rumah, juga bisa memiliki teman baru, karena fokus kami kala itu sudah terbagi dengan adiknya, Laans, yang baru berumur satu tahun. 

Kami mendatangi beberapa sekolah berbasis Bahasa Inggris dan Viyi sempat mengikuti trial class di sekolah-sekolah tersebut yang rata-rata dilaksanakan selama tiga hari. 

Kami memutuskan memasukkan Viyi ke sebuah sekolah swasta di jl. Bangau Kota Makassar, yang menyediakan bimbingan belajar dari preschool hingga SD dalam satu gedung. 

Pagi itu Viyi bangun pagi-pagi sekali. Ini sudah minggu ketiga dia menjadi murid preschool berseragam, tetapi dia masih dalam euforia sebagai murid baru yang bertemu dengan banyak teman baru. Apalagi, sebelum memasuki ruang kelas, seluruh murid diajak bernyanyi-nyanyi di lantai bawah gedung sekolah. Dia suka menyanyi sambil bergoyang-goyang.

Awalnya, semua berjalan seperti hari-hari sebelumnya. Aku yang masih menungguinya di sekolah dan mengintip aktivitasnya di dalam ruang kelas berisi 15 orang murid dan 2 orang guru. Mereka sedang belajar macam-macam bentuk dan warna. Aku lihat Viyi bisa menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan gurunya. 

Saat itu hampir memasuki jam istirahat ketika Viyi terlihat keluar kelas tanpa ditemani guru pendamping. Dari jauh dia memberi kode kepadaku bahwa dia pergi untuk mencuci tangan. Ada dua kamar WC yang berjejer di situ yang dibedakan berdasarkan jenis kelamin. Di depan WC lelaki ada dua murid yang bersandar, menunggu teman mereka di dalam. Viyi melewati mereka untuk masuk ke WC perempuan.

Pandanganku terarah ke kamar WC tempat di mana Viyi menghilang dari balik pintu, tetapi abai pada gerak-gerik ketiga anak lelaki yang berjejer di situ. Ketika Viyi akan melewati ketiga kakak kelasnya itu, anak lelaki yang berada paling dekat dengannya, tiba-tiba mendorong tubuhnya dengan kasar, kemudian anak kedua yang berdiri di tengah mengait kakinya, dan anak ketiga meneriakinya, “Pendek!” 

Tubuh Viyi terjerembab hebat ke atas lantai berkerikil kecil-kecil. Bunyinya persis seperti barang berat yang dibanting. Semua terjadi sangat cepat, secepat kedipan mata. 

Sontak, aku berteriak kepada ketiga anak itu sambil menghampiri Viyi. 

“Hei! What are you doing?!”

Aku benar-benar marah, memandangi mereka. Ketiga pasang mata anak-anak itu langsung menatapku. Kaget. Wajah mereka tiba-tiba memerah dan tampak ketakutan. 

“Say sorry right now!,” bentakku sembari mengangkat tubuh Viyi yang seakan membeku di lantai. 

Dia tidak menangis, hanya saja pandangan matanya tampak kosong. Barangkali dia syok. 

“Are you okay?,” tanyaku kepada Viyi sambil memeriksa kaki-tangannya, berikut mengusap-usap lututnya yang tidak bertempurung, khawatir jika terjadi cedera di sana.

“I’m okay, Mom,” ucapnya lirih.

Ketiga anak itu masih mematung di depan kamar WC, saling berpegangan tangan. 

Say sorry to Viyi!,” bentakku lagi. 

Viyi langsung mengalungkan kedua lengannya ke leherku, lalu berbisik, “Just let them go, Mom. I’m okay.” 

Aku terkejut. Tidak bisa terima, lebih tepatnya. “No! Mereka harus meminta maaf padamu. Mereka dengan sengaja membuatmu jatuh,” ucapku.

“I’m okay, Mom. Just let them go. Please….” Dia memohon. Suaranya lirih, bergetar. Sepertinya kali ini dia tengah menahan tangis. Dia pun merangkulku kian erat. Terasa dadanya naik turun lebih cepat daripada sebelumnya. 

Tidak lama berselang setelah ketiga anak lelaki itu pergi, Viyi pamit kembali ke ruang kelasnya. Dia tidak mau diantar. Dia bahkan mendorongku supaya kembali ke tempat aku biasa menungguinya. Dengan langkah gontai dan sedikit pincang, dia kembali ke ruang kelas. Dia terlihat tenang tanpa raut sedih maupun air mata.

Aku diam-diam pergi mengeceknya, berjinjit mengintipnya lewat kaca jendela. Dia duduk membelakangi dua orang guru yang sibuk menyuapi beberapa anak yang belum bisa makan sendiri. Aku lihat dia mengeluarkan kotak makanannya. Dan, berhenti di situ. Dia membiarkan kotak itu tetap tertutup. Kepalanya menunduk. Tangannya mengusap lutut. Tubuhnya bergetar. I know for sure, she is not okay!

Tanpa meminta izin kepada guru-guru dalam ruangan kelas itu, aku menerobos masuk. Aku dapati dia sedang menangis tanpa suara. Air matanya menetes deras di kedua pipinya. Aku langsung mendekapnya dan membiarkan dia menangis di dadaku.

“Just cry… don’t hold it,” bisikku sambil mengelus kepalanya. “Just cry… just cry…. So, you will feel free,”

Tiba-tiba tangisannya pecah. Aku terus mengelus kepalanya dengan perasaan membuncah seperti akan segera meledak. Hatiku pedih ketika tahu dia menahan air mata, menahan sakit hati hanya supaya aku tidak memarahi ketiga anak lelaki itu. 

Malam harinya Viyi berbaring di sampingku, berbantalkan lenganku. Tiba-tiba dia bertanya, “Mommy, when Viyi grow up, Viyi will be tall like Mommy, right?”

Pertanyaan Viyi itu seperti silet yang menyayat hati. Aku hanya diam sambil terus mengelus kepalanya. 

“Viyi will be tall like Mommy, right?”

Aku menghela napas dalam-dalam. Ini yang aku takutkan. Aku belum siap untuk mengatakan kondisi fisiknya, belum siap dengan jawaban dan reaksinya. Aku dengan sengaja mengabaikan pertanyaannya dengan mendekap tubuhnya kian erat sambil menyanyikan lagu “Twinkle-Twinkle Little Star” kesukaannya. 

Keesokan harinya Viyi memilih untuk tidur hingga siang dan tidak mau pergi ke sekolah. Seminggu lamanya dia menolak ke sekolah.

Karena peristiwa tersebut, kami memindahkan Viyi ke sekolah lain. Sekolah berbasis Bahasa Inggris dengan jumlah murid yang dibatasi hingga 50 orang dari kelas toddler hingga SD. Di Greenfill Montessori School (GMS), Viyi bersekolah hingga kelas 5 SD. Keberadaannya di situ benar-benar diterima, baik oleh guru-guru yang mengajar maupun teman-teman sekolahnya. Di sekolah itu juga bakat dan minatnya diasah. 

Kenapa Aku Pendek?

Tinggi Laans yang berusia lima tahun sudah melebihi Viyi yang berusia tujuh tahun, sementara adiknya yang kedua, Vilan, yang baru satu tahun, tingginya sudah hampir menyamai Viyi. Mereka kerap saling bantu mengukur tinggi badan dengan berdiri rapat ke dinding, kemudian salah seorang membuat tanda dengan spidol tepat di atas kepala. 

Viyi selalu melonjak kegirangan setiap kali mendapati tanda yang baru dibuat melebihi tanda sebelumnya, tapi kegirangan itu tidak pernah berlangsung lama ketika melihat tandanya tidak pernah melewati tanda Laans.

Dia lalu bertanya padaku, “Why is Laans taller than me, even though I am older than him?”

Aku menjawabnya asal saja, “Mommy and Oma, Mommy is taller even though Oma is older.”  

Suatu ketika, muncul iklan obat cacing di chanel TV nasional saat Viyi dan adik-adiknya sedang menonton. Iklan itu berbicara soal stunting. Menurut WHO, stunting adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, yang ditandai dengan panjang atau tinggi badan anak berada di bawah standar (pendek). Iklan itu menyebutkan cacingan yang terjadi berulang kali bisa menyebabkan gangguan gizi pada anak yang berakibat stunting. 

Viyi seketika menganggap apa yang terjadi padanya diakibatkan cacing yang memakan semua nutrisi dalam tubuhnya. Lekas-lekas dia menghampiriku yang tengah sibuk menyiapkan makan malam di dapur. Dia menceritakan secara detail iklan yang baru saja ditontonnya. Dia memintaku untuk membelikannya obat cacing. 

“So that, Viyi can be taller than Laans,” katanya dengan mata berbinar-binar. 

Aku mengabaikan perkataannya dengan menyuruh dia dan adik-adiknya membersihkan meja makan dan bersiap-siap untuk makan malam. 

Di meja makan aku berkata kepada mereka untuk memakan sayur bayam yang kumasak kuah bening. “So that, your body can be healthy and strong like Popeye,” kataku.

Viyi langsung menyambar perkataanku dengan bertanya, “Can spinach make me tall?”

Aku sejenak terdiam sembari menatapnya. “I don’t know, but spinach is the food that Popeye eats to keep him healthy and strong.”

“Maybe it can make me tall too,” kata Viyi. Dia yang tidak begitu menyukai sayur akhirnya hampir menghabiskan sewadah besar bayam, seorang diri. 

Pernah Viyi minta dibelikan susu peninggi badan ketika kami belanja bulanan di supermarket. Di koridor rak yang memajang macam-macam susu, dia melompat-lompat menggapai susu yang dilihatnya di iklan TV. Ekspresinya seperti seorang yang merindukan sesuatu, yang tiba-tiba berada di depan mata. Aku membiarkannya dan pura-pura menyibukkan diri. Seorang SPG yang kebetulan lewat akhirnya membantunya. 

Sambil memeluk dos susu itu, dia bergumam, “If I drink this milk, I can take things from high places. My legs will be long and can run fast. I am also will no longer be mistaken for a kindergartner. And, If I go out with my friends, we will be the same height.” 

Dia meletakkan dos itu ke dalam troli belanja. Aku menyuruh Viyi mengembalikan susu itu ke tempatnya semula. Sempat terjadi perdebatan kecil di antara kami hingga aku berhasil meyakinkannya bahwa dia tidak membutuhkanya. Dia tampak kecewa.

“Maybe I’m not a part of this family, because I am a different one,” celetuknya.

You are Special and Limited Edition

Aku sudah hampir lelap ketika Viyi masuk kamar tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Tampak di tangannya sebuah buku antologi berjudul “Love is….” yang pernah kubuat dengan beberapa orang teman yang saling mengenal lewat sosial media. Seketika dadaku berdebar. 

Di bagian akhir buku tersebut ada tertulis biodataku secara singkat, di mana pada bagian awal biodata bertuliskan bahwa aku adalah ibu dari seorang anak penderita achondroplasia. 

Sejak mendapatkan buku itu dia memang terus mengejarku dengan pertanyaan-pertanyaan. Sebelum-sebelumnya aku selalu bisa menghindar, tetapi tidak pada malam itu. 

Viyi naik ke tempat tidur. Dengan suara lirih yang hampir tidak terdengar, dia bertanya sambil menunjuk pada sebuah kata dalam buku, “Ma, what is the meaning of achondroplasia?.”

Aku menarik napas panjang. Tangan kiri kuletakkan ke bawah kepalanya, biar kami lebih dekat. Aku membelai rambutnya tanpa berkata apa-apa. Ada banyak sekali ketakutan yang berkecamuk dalam pikiran. Aku takut salah menjelaskan, aku takut dia menyalahkanku, aku takut dia tak bisa menerima kenyataan, dan entah ketakutan apa semua.

Viyi mendongak, menatapku lebih lekat. “Ma, What happened to my body?”

Aku sudah tidak kuat lagi berlagak baik-baik saja di hadapannya. Ada beberapa peristiwa yang mengingatkanku tentang sebuah harapan yang dia bangun sendiri. Air mataku menetes. Tubuhku bergetar. Aku merangkulnya dalam isak yang tidak tertahankan. 

“Mommy, why are you crying?,” Viyi tiba-tiba membuyarkan segala yang terlintas di kepalaku.  

Aku menarik napas panjang. “Vi, I will answer your question, but you have to listen carefully,” ucapku setelah merasa diri cukup tenang. 

“Yes, Mom. I will.”

“Jadi, begini… achondroplasia itu adalah kelainan pertumbuhan yang disebabkan oleh terjadinya mutasi gen pada saat proses spermatogenesis atau dengan kata lain mutasi gen itu terjadi pada saat pembentukan sperma. Dalam arti, mutasi itu terjadi bahkan sebelum kamu berada dalam kandungan Mommy.”

“What do you mean?”

“Mutasi gen itu terjadi karena banyak faktor. Salah satunya, yaitu usia dari sang ayah yang sudah lanjut, atau radiasi gadget yang sering ditaruh di saku depan celana. Tapi, selain itu bisa juga terjadi karena tulang-tulangmu memiliki kekurangan kolagen.” 

“Okay.”

“Nah, mutasi gen itu menyebabkan anak yang dikandung menderita achondroplasia pada awal pembentukan, pada saat masih berbentuk embrio, masih menyerupai seonggok daging yang belum berbentuk. Seiring berjalannya waktu, mutasi gen itu akhirnya berpengaruh pada proses pertumbuhan tulang pada janin. Dampaknya, ketika bayi dilahirkan dia tidak memiliki tulang rawan. itu adalah kelainan tulang yang menyebabkan penderitanya tidak bisa bertumbuh sebagaimana mestinya. Dengan kata lain, membuat penderitanya menjadi pendek. Penampakan seorang penderita achondroplasia itu jelas: bertubuh pendek, berkepala besar, tidak memiliki jembatan hidung, juga tidak memiliki tempurung lutut.”

“Hah?! So, I will be short forever, Mom? I can’t get tall even if I drink milk everyday or eat a lot of food?.”

Ekspresinya terlihat jelas antara terkejut dan sedih. 

“Maaf, sayangnya susu maupun makanan apa pun tidak bisa membuat seorang penderita achondroplasia bertumbuh tinggi. Sebab, pertumbuhan tulangnya memang sudah terdesain seperti itu.” 

“So, I will forever be short, even if I’m as old as Mommy? I’m not going to be tall like Mommy?.” 

Diangkatnya kedua kakinya, kemudian diamat-amatinya dari ujung telunjuk kaki hingga lutut. Diraba-rabanya lutut yang tidak bertempurung itu. 

“Yes.”

“You once said that I was your photocopy. Why only the face is photocopied but the height is not?”

“Viyi sudah tahu alasannya, kan?.”

Viyi tampak menarik napas panjang, kemudian berkata, “Well… it’s okay, deh. Good thing, I’m starting to like this short body.”

“Really?”

“Ya.”

Aku tahu dia berdusta. Ekspresi wajahnya berubah. Senyum yang dia tampilkan terlihat sangat dipaksakan. Nada suaranya pun terdengar bergetar. 

“Just remember this one: you are special and limited edition.”

Kami berdua lalu berdekapan. Dadanya terasa naik-turun. Berkali-kali dia menarik napas panjang. Aku tahu dia sedang tidak baik-baik saja tetapi berusaha menutupinya. Dia tahu, dia memiliki ibu yang rapuh sehingga mungkin tidak ingin melihatku terlihat semakin rapuh jika melihatnya menangis. Dia tidak bisa membohongiku. 

Aku mendekapnya semakin erat sambil berbisik, “Everything gonna be alright, dear.”

“Yes, I know,” jawabnya dengan suara yang begitu lirih. 

Keyakinan

Aku beragama Kristen Protestan aliran Kharismatik, di mana pada saat beribadah selalu heboh dengan bertepuk tangan, menari, bahkan sampai melompat-lompat, kemudian setelahnya menangis dan meratap. Berbeda dengan suami yang beragama Katolik, di mana misa diatur berdasarkan liturgi dan dilaksanakan dalam suasana yang begitu tenang, syahdu, dan khusuk. Kedua aliran ini tata cara ibadahnya bertolak-belakang. Pada dasarnya, kami beriman kepada Tuhan Yesus dan menjadikan Alkitab sebagai pedoman hidup kami. Hanya saja, ada beberapa doktrin yang saling bertentangan.  

Keputusanku untuk tidak berpindah ke agama yang dianut suami sempat ditentang oleh keluarga besarnya. Banyak pertanyaan mereka lontarkan soal bagaimana kami akan menjalani kehidupan rumah tangga jika yang satu bergereja di sini, yang satu di tempat lain. Mereka pun mempertanyakan anak-anak yang nanti akan ikut agama siapa. 

Hari itu merupakan kali pertama aku menginjakkan kaki di Desa Bekek Kecamatan Riung – Flores. Aku disambut dengan haru dan suka cita. Calon ibu mertuaku bahkan menangis ketika menyambutku dengan ciuman di kedua pipiku. Sudah sangat lama beliau mengharapkan anak lelaki satu-satunya menikah.

Di atas bale-bale, sebuah bangunan tinggi di belakang rumah, tanpa dinding, beralaskan cacahan bambu, telah berkumpul keluarga besar dan keluarga inti yang duduk melingkar, menunggu kedatangan kami. Tempat duduk kami telah dialasi bantal tipis yang biasanya diperuntukkan untuk tamu, sedangkan yang lain duduk melantai tanpa alas. Kami berbincang-bincang hingga malam tiba dan satu per satu keluarga pulang ke rumah masing-masing, menyisakan keluarga inti di ruangan itu. 

Setelah berbicara ngalor-ngidul, topik masuk kepada pertanyaan yang mungkin sudah mereka siapkan sebelum kedatanganku. 

“Jadi nanti Novi akan pindah ke agama Katolik?” tanya seseorang di antara mereka. 

“Tidak.” 

Aku langsung menjawab pertanyaan mereka dengan pasti. Semua tatapan tertuju padaku. Aku tiba-tiba merasa seperti pesakitan yang tengah disidang. Macam-macam pertanyaan terkait keyakinan dilontarkan. Aku bersikeras tidak akan meninggalkan keyakinanku hanya demi sebuah pernikahan, tetapi jika dipaksakan, aku memilih untuk tidak menikah. 

Seman, yang kala itu masih berstatus sebagai calon suami, mengatakan sebuah kalimat yang akhirnya bisa meredakan suasana yang mulai panas, “Biarkan Roh Kudus yang berkarya dalam hubungan kami.”  

Perlakuan yang aku terima ketika datang, langsung berubah 180 derajat pada keesokan harinya. Adik-adik perempuan Seman seperti sengaja berkasak-kusuk di belakangku dengan suara yang terdengar begitu lantang. 

“Orang Manado biasanya matre dan tukang selingkuh. Bukan tidak mungkin Novi akan meninggalkan Kakak setelah dia mengeruk habis hartanya.” 

“Kasihan Mama. Setiap hari Mama berdoa untuk Kakak supaya mendapatkan perempuan yang dari Tuhan, malah yang datang perempuan utusan iblis.” 

Aku diam saja mendengar semua itu. Malah berlagak tidak mendengarnya. Aku masih tersenyum ramah ketika pamit meninggalkan kampung itu. 

Aku bukan orang fanatik terhadap agama yang dianut, tetapi perbedaan ini sempat menjadi pergolakan batinku sebelum diajak bertemu dengan keluarga di Flores. Salah seorang teman berkata begini: “Bukan soal di mana kamu beribadah dan bagaimana caramu berdoa, tetapi di mana dan bagaimana imanmu bertumbuh dan berbuah. Apa gunanya kamu keukeh pada keyakinanmu jika imanmu tidak bertumbuh? Demikian pula sebaliknya. Nanti beribadah malah hanya akan menjadi rutinitas semata.”

Dalam sebuah percakapan antara aku dan Seman sebelum memutuskan menikah, kami bersepakat untuk tetap pada keyakinan masing-masing, sementara anak-anak akan diberi kebebasan menganut aliran agama apa pun yang mereka mau. Di semua berkas yang mengharuskan untuk mengisi kolom agama, kami mengisinya dengan mengikuti agama suami. 

Sayangnya, apa yang telah disepakati sebelum menikah tidak berjalan baik. Suami selalu menunjukkan wajah tidak senang setiap kali aku akan berangkat ke gerejaku pada hari Minggu, terlebih bila anak-anak meminta ikut denganku. Padahal aku sendiri tidak pernah memaksa apalagi sampai menghasut anak-anak untuk ikut. Semua murni keinginan mereka. Sedari kecil, mereka memang sudah aku biasakan untuk membuat pilihan.

Di rumah, aku seakan tidak punya hak untuk berdoa, bahkan berdoa makan sekalipun. Setiap kali akan makan, kami selalu makan bersama di meja makan dan selalu mengawalinya dengan berdoa, tetapi doa hanya dipimpin berganti-gantian antara suami dan pekerja rumah tangga (PRT), yang seagama dengan suami. 

Setiap kali ada keinginan berdoa, aku harus melakukannya secara sembunyi-sembunyi dengan mengunci pintu dalam kamar saat suami sedang berada di kantor dan PRT di luar rumah. Kendati demikian, ketika umat Katolik sedang dalam perayaan pekan suci Rabu Abu, Kamis Putih, Jumat Paskah, ditambah Malam Natal, aku selalu dipaksa suami ikut misa perayaan tersebut. Di dalam gereja, aku hanya duduk sebagai penonton.

Tujuh tahun usia Viyi ketika itu. Dia sudah cukup mengerti situasi yang dia lihat. 

Di suatu Minggu pagi, Viyi ikut ke gereja denganku, sementara kedua adiknya memilih tinggal di rumah karena berencana untuk ikut dengan suami pada misa kedua di sore hari. Dia memang sangat jarang mengikuti misa pagi. 

Dalam perjalanan, Viyi tiba-tiba bertanya, “Mommy, kenapa gerejanya Mommy dan Daddy berbeda? Kenapa Mommy dan Daddy tidak beribadah di gereja yang sama?.”

Jujur saja, aku cukup tersentak oleh pertanyaannya. “Karena apa yang Mommy dan Daddy yakini itu berbeda, meskipun kami menuhankan Tuhan yang sama,” jawabku.

“Kenapa begitu?”

“Hubungan kita dengan Tuhan adalah hubungan pribadi yang tidak bisa dipaksakan. Mommy lebih nyaman dengan tata cara beribadah di gerejanya Mommy dan di situlah Mommy merasa iman Mommy bertumbuh. Barangkali Daddy pun demikian.” 

“Iman itu apa?” tanya Viyi lagi.

“Iman itu keyakinan kita kepada Tuhan. Maksudnya, kita tidak bisa melihat Tuhan, tetapi kita percaya Dia ada dan kita tahu Dia mendengar doa-doa kita.”

“Terus, nanti Viyi ikut keyakinan siapa? Mommy atau Daddy?”

“Viyi tidak harus mengikuti keyakinan siapa pun. Saat Viyi sudah dewasa dan mampu memilih, Viyi sendiri yang akan memilih keyakinan seperti apa yang akan Viyi anut.” 

“Bagaimana caranya memilih?” 

“Nanti akan tiba waktunya. Untuk sekarang, Viyi bisa beribadah di gerejanya Mommy pun gerejanya Daddy. Viyi bisa berdoa seperti caranya Mommy berdoa atau seperti caranya Daddy berdoa. Tak apa. Seiring berjalannya waktu, Viyi pasti akan tahu yang mana yang membuat Viyi nyaman; yang mana yang akan membuat iman Viyi bertumbuh dan berbuah. Mommy dan Daddy tidak akan memaksakan keyakinan kami kepada kamu dan adik-adikmu.” 

“Tapi, di semua identitas Viyi, tertulis kalo Viyi beragama Katolik.”

“Tak apa. Itu hanya sebagai identitas. Tetapi hubungan kita dengan Tuhan, hanya kita yang tahu.” 

Sampai saat ini Viyi belum memilih keyakinan apa yang akan dia anut, walaupun dalam kesehariannya dia rajin berdoa kepada Tuhan Yesus. Setiap kali ditanya agama apa, dia menjawabnya dengan satu kalimat, “Viyi bukan manusia beragama, tapi manusia bertuhan.”

Berbeda dengan adiknya Laans yang seakan sudah mantap memilih keyakinan yang akan dia anut tanpa paksaan. Dengan kesadarannya sendiri, dia bilang bahwa dia adalah seorang Katolik. Aku tidak keberatan dengan hal itu. Aku bahkan sering menawarkan tumpangan antar-jemput padanya ketika dia pergi ke gereja. 

Banyak orang yang akhirnya pindah agama ketika menemukan jati diri mereka dalam agama lain, bahkan dalam ketidakberagamaan, bukan dari agama yang dianut yang turun dari orang tua. Melihat fakta itu aku tidak mengharuskan anak-anak untuk ikut agamaku meskipun sebenarnya kesempatanku untuk mempengaruhi mereka sangat besar.

Mamaku sempat menentang Laans atas pilihannya. Aku dianggap orang tua yang gagal karena tidak bisa merangkul anak sendiri menganut agamaku. Sebab, belum ada sejarah dari keluarga Mama yang beraliran selain Karismatik. Meskipun Mama akhirnya sadar bahwa urusan beragama adalah urusan pribadi dengan Tuhan, tidak boleh ada unsur paksaan. 

Dampak Covid-19

Penetapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) akibat Covid-19 yang mewabah di seluruh dunia, cukup berdampak besar bagi semua sektor kehidupan masyarakat, terlebih sektor pariwisata, khususnya kami yang mengurus wisatawan inbound atau mendatangkan wisatawan asing untuk berwisata di Indonesia. Semua bookingan tamu asing yang akan berwisata di awal bulan sampai pertengahan 2020 di-cancel

Sektor pariwisata benar-benar anjlok. Tidak ada tamu berarti tidak ada pekerjaan, yang berarti juga tidak ada pendapatan. Untuk tetap bertahan hidup harus banting setir dan putar otak. Kami sempat berada dalam situasi tidak memiliki apa-apa untuk dimakan selain nasi dan garam. Itupun nasi ditakar supaya semua kebagian. Anak-anak kurus layaknya kurang gizi. 

Bukan sebuah kebetulan jika kerajinan tangan yang rencananya aku bikin untuk digantung di kamarnya Viyi akhirnya aku jadikan bahan jualan. Ini demi mengepulkan asap di dapur dan anak-anak bisa mendapatkan makanan yang layak. 

Kala itu aku iseng memamerkan gantungan dream catcher buatanku di sosial media. Ternyata ada yang tertarik, kemudian membelinya, biarpun harga yang kutawarkan cukup mahal, jauh di atas harga pasaran. 

Setiap hari ada pesanan masuk dari teman-teman sosial media dari hampir seluruh wilayah Indonesia. Meskipun begitu, uang hasil penjualan tidak pernah bertahan lama dalam genggamanku. Habis dalam sekejap untuk memenuhi kebutuhan rumah dan token listrik yang sering berbunyi. Beruntung, bahan baku pembuatan dream catcher selalu di-support oleh papaku. Aku tinggal memesannya lewat toko online, dan Papa yang membayarnya.

Pesanan menumpuk dan waktu tidurku hanya sejam-dua setiap harinya, tetapi suami hanya bisa memarahiku ketika melihat aku bangun kesiangan. “Tidak ada ibu rumah tangga yang bangun didahului matahari,” katanya. Dia tidak pernah tahu apa yang aku lakukan dalam kamar semalaman, karena kami memang sudah sangat lama tidur di kamar terpisah. 

Demi membangun kepercayaan pelanggan, aku tidak menagih bayaran terlebih dahulu sebelum dream catcher selesai, walau sebenarnya kehidupan kami bergantung pada transferan mereka. 

Berkali-kali yang tersisa di dapur hanya sedikit beras dan sebungkus mie instan. Untunglah anak-anak tahu kesusahanku kala itu. Sehingga tidak rewel ketika disajikan makanan apa pun. 

Sering dalam keadaan kepepet aku memasak mie instan dengan bumbu setengah yang ditambahkan sedikit garam dan kecap. Walaupun rasa mie tidak bisa dibilang enak, tetapi bisa menjadi lauk pendamping nasi. Sementara sisa bumbu yang setengahnya lagi, aku masak untuk jam makan berikutnya. 

Viyi pun kala itu tidak tinggal diam. Di usianya yang baru sepuluh tahun dia ikut memikirkan bagaimana cara untuk mendapatkan uang. Dari benang yang aku pakai untuk membuat dream catcher, dirajutnya boneka dan laku dibeli teman-teman sosial media. Bukan soal bagus-tidaknya, tetapi mereka menghargai karya dan kerja keras Viyi.

Aku selalu ingat perkataan Papa. Beliau pernah bilang begini: “Jangan pernah memiliki mental seorang pengemis dan jangan menjadi pribadi yang suka memanfaatkan aji mumpung. Jika sudah tidak ada lagi yang akan kamu makan, gunakan kedua tanganmu untuk mencakar, bukan meminta.” Pesan Papa itu aku pegang dalam kondisi sesulit apa pun.  

Epilepsi

Di saat-saat begadang untuk menyelesaikan orderan, Viyi kerap menemaniku dengan mengajakku bercerita atau membacakan buku untukku. Setiap kali aku menyuruhnya tidur, dia menolak dengan alasan belum mengantuk. Aku akhirnya membiarkan dia menemaniku karena waktu tidurnya yang kurang pada malam hari dia bayar pada siang hari. Ternyata aku keliru. Begadang justru menjadi pemicu terjadinya pola aktivitas listrik dalam otaknya berubah tidak normal.

Ketika itu Viyi tidur setengah jam lebih awal dariku, pada saat suara ayam jantan dari kejauhan terdengar berkokok. Sewaktu aku baru akan mengatupkan kelopak mata, terdengar suara seperti orang yang sedang berkumur-kumur. Aku langsung mengecek Viyi yang posisi tidurnya membelakangiku, menghadap dinding. Wajahnya terlihat basah oleh air liur, matanya terbelalak dengan tatapan kosong, sementara mulutnya terbuka. 

Aku pikir Viyi sedang mual dan akan muntah. Beberapa hari terakhir dia memang sering mengeluh mual setiap kali sehabis makan. Aku sempat khawatir jangan-jangan penyakit tipesnya kambuh. Dia memang pernah dua kali masuk rumah sakit karena penyakit itu. Pertama pada usia empat tahun, kedua pada usia lima tahun.

Aku tepuk-tepuk pelan bahunya sembari bertanya apakah dia ingin muntah. Dia tidak memberikan respons apa-apa, padahal matanya terbuka lebar. Aku menepuk-nepuk bahunya lebih keras lagi, tetapi tetap tidak ada respons. Aku panik dan mencoba mengangkat tubuhnya. Tubuhnya kaku seperti kayu. Wajahnya yang tersorot lampu tidur saat tubuhnya diangkat, tampak sudah seputih kertas. Aku belum pernah melihatnya seperti itu. 

Di tengah ketakutanku, aku histeris, berteriak-teriak, menangis, mungkin sudah persis seperti orang gila. 

Kedua adiknya Laans dan Vilan terbangun, kebingungan. Mereka duduk diam dengan tatapan mata yang tidak lepas dariku. 

Aku minta Laans mencarikan minyak kayu putih atau apalah yang bisa kugunakan untuk menghangatkan tubuh Viyi. Hanya itu yang terpikirkan olehku. Semua pakaian dan kaos kakinya aku lepas. Aku yang sebenarnya mulai tenang, kembali berteriak histeris saat mendapati telapak kaki Viyi yang begitu pucat dan sedingin es. 

Untung Laans cekatan. Dia lekas-lekas membalur telapak kaki Viyi dengan minyak kayu putih, kemudian memijatnya. Perlahan-lahan warna muka Viyi memerah, tubuhnya melentur, mata dan mulutnya mengatup. Tidak berapa lama, terdengar suara dengkuran dari mulut Viyi. Aku memanggil-manggil namanya dan berusaha membangunkannya. Tidak ada respons sama sekali. Tubuh yang sempat kaku tadi berubah menjadi lemas terkulai. 

Aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Aku tidak punya pengalaman mengurus hal seperti itu. Aku gendong Viyi, aku taruh kepalanya ke atas pundakku, aku ajak dia bicara, aku usap-usap punggungnya, sampai akhirnya dia bisa mengangkat wajahnya dan bergumam, “What’s going on with me?.” 

Dia benar-benar tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya. 

Aku gembira melihatnya sudah bisa bersuara. Sambil memakaikan pakaiannya, aku ajak dia bercerita supaya tidak tertidur lagi. Aku ingatkan dia akan mimpinya yang ingin bersekolah di Amerika, aku ingatkan dia akan peristiwa saat pertama kali dia memiliki anjing peliharaan, aku ingatkan dia tentang Raja Ampat, tempat yang sangat ingin dia kunjungi, juga aku ingatkan tentang keinginannya memiliki anjing husky. Dia bahkan telah memilih nama “Javier” untuk anjing husky impiannya. 

Begitu malam tiba, aku langsung membawa Viyi ke klinik dokter anak. Dr. Nelly Rasyid yang kemudian mendiagnosa bahwa Viyi menderita epilepsi. Untuk memastikan, dia menulis surat rujukan ke bagian Brain Center RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo untuk melakukan pemeriksaan Electroencephalography/electroencephalogram atau elektroensefalografi (EEG). EEG adalah pemeriksaan untuk mengukur aktivitas listrik di otak yang bisa mengindikasi adanya kelainan sistem saraf atau penyakit otak tertentu. 

Keesokan paginya aku membawa Viyi ke rumah sakit. Di atas ranjang pasien, kulit kepala Viyi ditempelkan banyak alat yang berbentuk cakram logam kecil (elektroda) yang terhubung langsung dengan layar monitor sebesar 14 inci. Di layar itu tampak grafik naik-turun seperti grafik yang mencatat getaran bumi. Hasil dari tes tersebut dibaca dr. Nelly pada keesokannya. Diagnosanya tepat, Viyi menderita epilepsi dan harus menjalani terapi obat selama dua tahun. 

Lututku langsung lunglai mendengar hal tersebut. ‘Apa lagi ini, Tuhan?’ teriakku dalam hati. Jujur, aku lelah dengan apa yang kuhadapi kala itu. Lelah fisik juga psikis. Aku serasa berjuang sendiri. Kepada diri sendiri maupun orang lain, aku selalu berkata bahwa aku kuat dan aku baik-baik saja. Padahal faktanya aku hanya menahannya sekuat tenaga.

Selama dua tahun hidup Viyi diatur oleh alarm dan obat. Jam minum obatnya harus tepat dengan takaran yang tepat juga, yang ditakar menggunakan tabung suntik. Dia pernah mengeluh dengan kejenuhannya minum obat yang membuat lidahnya seolah mati rasa karena terus menerus dicekoki obat yang berasa pahit.

Semenjak Viyi kejang, tidurku tidak pernah benar-benar lelap karena aku harus mengawasi tidurnya. Aku memintanya untuk tidak tidur membelakangiku. Bebunyian sekecil apa pun yang terdengar bisa langsung membuatku terbangun dan mengecek kondisi Viyi. Semenjak aku tahu pemicu kejangnya adalah tidur yang terlambat, tidak pernah lagi aku mengizinkannya untuk begadang dengan alasan apa pun. 

Pulang Sonder

Aku menikah di usia 23 tahun, sedangkan suami 47 tahun. Dia seorang penggiat pariwisata yang cukup dikenal. Kehidupannya kala itu terbilang mapan. Oleh ipar-iparku dan teman-temannya, aku dituduh sebagai perempuan matrealistis yang hanya akan mengeruk harta suami. 

“Mana ada perempuan yang masih sangat muda mau menikah dengan lelaki yang sudah berumur?”

Aku tidak menafikkan tuduhan itu. Mungkin betul aku matrealistis, tetapi niat untuk mengeruk harta orang, sungguh tidak ada sama sekali. Lahir dan besar dari orang tua yang hanya berpenghasilan pas-pasan membuatku ingin menikmati hidup nyaman dengan segala fasilitas dan berbelanja tanpa perlu melihat harga. 

Papaku sempat menentang rencana pernikahan kami dengan alasan usia yang terpaut jauh dan watak calon suamiku yang lumayan keras, tetapi aku berhasil meyakinkannya. Pernikahan kami berlangsung tanpa mahar se sen pun dari pihak lelaki. Papa memang tidak ingin memintanya. Hal itu mungkin sebagai bentuk penolakannya. 

Awalnya pernikahan kami berjalan baik-baik saja dan semua terasa indah. Aku malah sering menuliskan nama suami dan bercerita tentangnya dalam tulisan-tulisanku di sosial media. Duniaku kala itu benar-benar dia seorang. Namun, semua berubah hanya dalam sekedipan mata. 

Memasuki usia dua tahun pernikahan, konflik perlahan-lahan terjadi. Puncaknya ketika aku berseteru dengan Ibu Mertua dan para ipar karena aku dituduh tidak memberi makan Ibu Mertua. 

Ketika itu usia Laans belum seminggu. Aku baru beberapa hari keluar dari rumah sakit. Mama yang merawatku dan Laans. Sementara Ibu Mertua hanya datang sebagai tim hore.

Aku dan Mama berada dalam kamar sewaktu Ibu Mertua dan PRT pulang dari pasar. Tidak ada salam apa pun saat mereka masuk rumah dan langsung menuju ruang makan. Dari kamar terdengar suara sendok yang beradu dengan piring. 

Aku panggil PRT. Aku tanya dia, “Kalian, kok, makan gak ngajak-ngajak?.” 

Maksudku dengan pertanyaan itu, wong Mamaku ada di situ, mbok, ya, basa-basi lah sedikit sekalipun sudah kelaparan.

Perkataanku ternyata didengar oleh Ibu Mertua. Dia tersinggung. Piring dia banting. Kemudian mulai menelepon anak-anaknya satu per satu baik yang berada di Timika, di Flores, maupun suami yang kala itu sedang berada di kantor. Redaksinya sama: “Novi melarang saya makan.”

SMS yang penuh caci-maki bertubi-tubi aku terima dari ipar-iparku. Suami pun yang tiba-tiba muncul tidak berapa lama setelah dia ditelepon, langsung memarahiku begitu dia mendapatiku yang sedang menyusui di dalam kamar. 

“Dia orang tua saya. Jangan semena-mena kamu!.” 

Aku terkejut. Aku pikir dalam kondisi seperti itu dia akan berdiri di tengah-tengah, atau minimal meminta penjelasanku terlebih dahulu kenapa sampai bersikap seperti itu kepada mamanya. Aku tidak diberi kesempatan untuk bicara. Kendati ingin menjelaskan kejadian yang sebenarnya, dia malah menyuruhku diam. 

“Saya tidak butuh penjelasan apa-apa!.”

Mama yang awalnya pun diam saja, mencoba membuka suara, mencoba menengahi kondisi yang tengah membara, ikut dibentak olehnya.

“Ibu tidak usah ikut campur!.” 

Kondisi dalam rumah menjadi sangat tidak menyenangkan. Mamaku yang tidak terlibat apa-apa ikut dimusuhi oleh suami dan Ibu mertua. Adu mulut terjadi hampir setiap saat antara aku dan mereka. Tidak tahan dengan kondisi seperti itu, aku akhirnya memutuskan untuk pulang ke-Sonder—sebuah kecamatan di Kabupaten Minahasa, tempat aku dilahirkan dan dibesarkan. Laans yang baru berusia dua minggu, aku paksakan naik pesawat.  

Tiga bulan aku berada di Sonder tanpa nafkah suami. Tabunganku yang tidak seberapa habis hanya untuk membeli susu Viyi dan biaya hidup sehari-hari. Aku pikir, kalau aku bertahan di Sonder tanpa penghasilan, yang akan menjadi korban adalah orang tuaku, karena menanggung makan kami bertiga.

Aku terpaksa menghubungi suami. Aku memohon-mohon padanya untuk kembali. Dia lalu memberiku syarat, bahwa aku harus menemui mama dan adik-adiknya untuk meminta maaf. Aku sanggupi syarat itu.

Baru seminggu-dua minggu berada Makassar, kami langsung terbang ke Flores. Begitu tiba di rumah mertua, kembali aku dimaki-maki oleh adik-adiknya. Dan, aku tetap tidak diizinkan untuk bicara, sekadar membela diri. Mereka selalu berkata, tidak membutuhkan penjelasan apapun dariku. 

“Simpan saja penjelasan ko, jangan ko bawa-bawa kemari!.”

Selama berada di Flores, aku memilih untuk mendekam dalam kamar. Aku menjadi takut untuk bertemu siapa pun. Aku merasa keberadaanku di situ benar-benar tidak diterima. Hanya ibu mertua yang ketika itu bersikap baik padaku. Dia seolah lupa dengan konflik yang pernah terjadi. Dia masih menyapaku, mengajakku bicara, bahkan menyiapkan makanan untukku.

Sampai detik ini, suami dan ipar-iparku tidak tahu cerita yang sebenarnya. Aku tetap menjadi tersangka sebagai menantu durhaka.

Setelah peristiwa itu, suami kerap bertindak seenaknya. Berkali-kali dia bersikap kasar padaku, bahkan di depan mama. Dan, bukan hanya sekali-dua dia memberikan barang-barangku kepada keluarganya tanpa meminta izinku. 

Laptop yang aku pakai untuk bekerja dan tempat menyimpan tulisan-tulisanku tentang Viyi, diberikan kepada keponakannya. Dia baru memberitahu saat barang sudah dalam proses pengiriman. Alasannya, keponakannya Nina yang tengah menempuh pendidikan kedokteran hewan di Kupang sedang membutuhkan laptop untuk menulis skripsi. Aku sakit hati. Bukan perkara laptop itu lebih dibutuhkan orang lain, tetapi diberikan tanpa izin dari pemiliknya. 

Dia pun kerap menuduh aku selingkuh. Baik handphone maupun sosial mediaku dia buka seenaknya. Aku tidak memiliki privasi sama sekali. Dia pernah mempermalukan aku di depan anak-anak setelah membaca cerpen fiksi berjudul “Guru Olahraga” yang dimuat di laman Facebook. 

Dia bertindak sesukanya tanpa pernah mengonfirmasi padaku terlebih dahulu apa yang dia lihat maupun dengar. Apa yang dikatakan orang lain tentangku langsung ditelannya mentah-mentah. Aku muak terus-terusan dicurigai sesuatu yang tidak aku lakukan, sampai akhirnya aku mengancamnya dengan satu kalimat: “Sekali lagi kamu menuduh saya selingkuh, saya akan benar-benar melakukannya dan saya akan meninggalkanmu!.”

Entah seperti apa perasaanku kala itu. Aku sudah tidak mampu lagi berpikir. Aku merasa lelah dengan semua hal. Sudah lama kehidupan rumah tangga kami tidak baik-baik saja. Aku sebenarnya bertahan demi sebuah alasan klasik: anak-anak. 

Selain pertengkaran hebat hampir setiap hari, tidak ada lagi komunikasi apa-apa antara aku dan suami pada hari-hari terakhir sebelum aku meninggalkannya. Kami seperti dua orang asing, yang menjalani kehidupan masing-masing. 

Dampak dari pertengkaran-pertengkaran kami adalah mental anak-anak yang tertekan. Setiap kali kami bertengkar, ketiganya langsung masuk ke kamar, bersembunyi di sudut ruangan sambil menutup telinga kuat-kuat. Mereka tidak menyukai keributan, tetapi keegoisan dua orang dewasa membuat mereka tidak memiliki pilihan selain mengurung diri. 

Pernah aku mendapati Viyi tengah menangis tanpa suara di sudut ruangan yang gelap. Ketika aku datangi dia dan bertanya apa yang tengah terjadi, dengan suara terisak-isak dan dada yang naik-turun, dia berkata, “Tolong, jangan lagi bertengkar. Viyi tidak suka kalian bertengkar. Viyi selalu ketakutan setiap kali kalian bertengkar. Tolong jangan bertengkar. Viyi mau melakukan apa pun supaya kalian tidak lagi bertengkar.” Kala itu aku langsung mendekapnya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. 

Aku sadar, jika terus-menerus memaksakan keadaan yang tidak lagi kondusif, anak-anaklah yang menjadi korbannya. Anak-anak kerap menjadi pelampiasan emosiku. Teriakan demi teriakan sering mereka terima dariku. Ibu yang sakit tidak akan bisa mengurus dan mendidik anak-anaknya dengan baik. 

Di tengah ketakutan wabah yang telah merenggut banyak jiwa dan Kota Makassar dinyatakan sebagai zona merah, sementara aku serasa berjuang sendiri untuk tetap membuat rice cooker menyala hanya dengan berjualan dream catcher, ditambah pertengkaran dengan suami yang terjadi hampir setiap saat, menjadi alasanku mengambil keputusan untuk pulang Sonder. 

Aku langsung menelpon Papa, memberitahukannya keputusan itu. Papa mengirimkan uang untuk biaya kepulanganku dan anak-anak ke kampung halaman. Katanya, Papa menggadaikan beberapa perhiasan Mama untuk mendapatkan dana cepat. Siang itu kami langsung melakukan rapid test dan membeli tiket.

Sebelum pulang Sonder, aku mengusahakan untuk tidak bertengkar dengan suami. Aku memperlakukan dan melayaninya baik-baik. Semuanya aku lakukan dalam kepura-puraan. 

Hingga tiba pada hari keberangkatan kami, aku berpamitan padanya. Aku bilang, ini hanya liburan kami untuk menghilangkan kejenuhan tinggal di rumah selama berbulan-bulan. Tiket yang sudah berada di tangan membuatnya tidak lagi bisa menghalangi keberangkatan kami. Dia mengantar kami ke bandara. 

Setelah berada di Sonder, perlahan-lahan aku memutus kontak dengannya. Kendati demikian, aku tidak menghalanginya berkomunikasi dengan anak-anak. 

Bagaimanapun dia orang baik yang mengajarkanku banyak hal, terlebih dalam dunia pariwisata. Hanya saja, dia tidak tahu bagaimana caranya memperlakukan pasangannya. Dia menggenggamku terlalu erat. 

Tidak ada orang tua yang menginginkan kehancuran rumah tangga anaknya, tetapi tidak ada pula orang tua yang tega melihat anaknya menangis hampir setiap saat. Itu sebabnya, orang tua tidak menentang keputusanku menjadi single parent. Orang tuaku tahu sudah seperti apa hidupku di Makassar. 

Papaku bahkan berkata, “Beking jo yang ngana anggap bae for ngana deng anak-anak. Papa dukung. Papa nimau mo lia ngoni menderita. Sebisa mungkin Papa yang akan bertanggung jawab for ngoni pe makang, ngoni pe kebutuhan, deng for ngana pe anak-anak pe sekolah.”

Keputusanku untuk pulang kampung, benar-benar direstui kedua orang tuaku. 

Aku memulai semuanya dari nol. Aku menitipkan anak-anak untuk dijaga orang tuaku, sementara aku sibuk mencari pekerjaan ke sana-kemari. Aku harus mendapatkan pekerjaan dan mampu memenuhi kebutuhan anak-anak. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan saat banyak sektor pekerjaan malah mengurangi jumlah karyawan, banyak karyawan yang dirumahkan, sementara aku pun terkendala di usia yang tidak lagi muda. Beruntung hanya dalam hitungan bulan, aku diterima bekerja di PT. Media Teropong Sulut sebagai reporter berita online. 

Kehilangan

Malam itu aku baru saja menerima telepon dari seorang teman yang menanyakan kabar Papa. Aku bilang padanya, “Papa sedang tidur setelah menghabiskan sekaleng susu beruang. Keadaannya sudah tampak lebih sehat.”

Kondisi Papa memang sedang tidak baik. Dia sakit sejak sebelum Natal. Sehari sebelum jatuh sakit, Papa sempat merawat Mama. Ketika itu Mama yang sakit duluan. Batuk-batuk dan demam. Papa bikinkan Mama ramuan dari jahe merah dan gula aren. Jahe merah itu dia panen di belakang rumah kemudian dengan telaten mencucinya bersih di bawah air mengalir, berikut mengupasnya satu per satu. 

Keesokan harinya, Papa yang biasanya subuh sudah bangun, tampak masih menutup seluruh tubuhnya dengan selimut, padahal cahaya matahari memenuhi kamarnya. Aku lihat Papa seperti mengigau. Badannya demam. 

Lelaki yang masih tegap di usia 65 tahun itu tumbang juga. Siangnya, dalam kondisi tubuh yang begitu lemah, dia berusaha mengantarku keliling Sonder mencari susu. Malam harinya suhu tubuhnya kembali tinggi dan dia menggigil, ditambah batuk-batuk. 

Semenjak itu tubuh Papa kian lemah. Selera makannya hilang. Dibikinkan makanan apa pun, hanya dia makan sesendok-dua. Katanya, lidahnya pahit. Ini bukan seperti Papa yang aku kenal, yang selalu berusaha makan banyak ketika sakit, yang tidak pernah cengeng saat sakit, yang bahkan bisa melakukan hal-hal aneh untuk bisa sembuh. 

Aku ingat, pernah saat giginya sakit, dia memilih mencabutnya sendiri daripada harus ke dokter. Dia lalu mengambil tang dan mencabutnya di depan cermin. Sungguh tidak ada ekspresi kesakitan di wajahnya ketika itu. Kami malah yang merasa ngilu. 

Papa sempat dibawa ke rumah sakit, tetapi rumah sakit penuh. Dia dirawat jalan dengan bekal tiga jenis obat saja. Obat-obat yang dia minum sepertinya belum memberikan efek apa-apa. Demamnya masih turun-naik dan selera makannya belum kembali. Badannya kini menyusut. Dia tidak lagi bertenaga, bahkan untuk sekadar bicara.

Hampir setiap saat aku menemani Papa di kamar. Hanya aku dan Mama yang bisa masuk ke kamar tempat Papa berbaring. Sementara anak-anak hanya diizinkan melihat Kakung mereka dari pintu (Kakung adalah panggilan anak-anak untuk opa mereka). Viyi sering berdiri lama-lama di depan pintu untuk menyemangati kakungnya. 

“Kakung, lekas sembuh, ya, biar bisa peluk Viyi. Sudah lama Kakung ndak peluk Viyi,” begitu katanya. 

Pagi di tanggal 1 Januari 2021, seperti biasa, sebangun dari tidur aku langsung pergi ke kamar Papa, untuk mengecek keadaannya. Ternyata Papa sudah lebih dulu bangun. Papa sudah duduk manis di sofa depan kamar, mengenakan kemeja baru hadiah dari kakakku. Wajahnya tampak segar. Katanya baru selesai dimandikan Mama. Papa terlihat sudah sehat. Dia bahkan sudah bisa makan sendiri. Makannya banyak pula. Dan, di sore hari, Papa turun ke kolong rumah untuk memberi makan ayam-ayam peliharaannya. Ada delapan ekor ayam Jago dan puluhan ekor ayam kampung. 

Selepas memberi makan ayam, Papa masuk rumah dengan napas terengah-engah. Aku langsung menyambutnya di depan pintu. Aku suruh dia duduk dulu untuk menstabilkan napasnya. Dia duduk dan hampir menenggak habis air minum dalam botol Tupperware yang berisi satu liter air. 

Aku lihat jemari kakinya terlihat sangat pucat. Dingin pula. Seperti tidak lagi dialiri darah. Aku langsung merendam kaki Papa dalam ember berisi air hangat kemudian memijat-mijatnya, tetapi warna kakinya tidak berubah. Tetap pucat. Sempat berkelebat dalam pikiranku bahwa usia Papa tinggal menghitung jam. Aku berusaha mengingkarinya, sebab sepanjang hari itu Papa terlihat sudah cukup sehat. 

Aku lalu mengantar Papa ke kamar, kemudian memberinya minum susu beruang. Itu susu terakhir dari tujuh buah yang tersedia di atas meja kamarnya. Setelahnya aku menawari dia makan. Dia minta lauk daging, tetapi dilarang Mama karena lauknya pedas. Akhirnya yang ada dalam piring makannya hanya nasi dan perkedel kentang. Baru satu suap nasi yang masuk mulutnya, dia berkata mengantuk dan ingin tidur sebentar. 

Begitu telepon ditutup, anak-anak berteriak-teriak memanggilku. Lekas-lekas aku menuju kamar Papa. Di sekeliling tubuh Papa, ada Viyi yang menangis sambil memompa-mompa dada Papa. Dia bahkan memohon kepadaku untuk membantunya memompa, biar Kakung kesayangannya itu bisa hidup lagi. Sementara aku hanya terpaku di samping kepala Papa dengan tatapan kosong dan pikiran hampa. Papa telah pergi.

Sambil memompa dada kakungnya, Viyi terus menangis dan meminta kakungnya supaya bangun, supaya hidup lagi. Dia bahkan berjanji kalau sampai kakungnya bangun, dia akan patuh apa pun yang dikatakan kakungnya. Dia akan tidur siang setiap hari, seperti yang sering disuruh kakungnya. 

“Mommy, apa kita masih bisa ketemu Kakung?,” tanyanya yang membuyarkan lamunanku di hadapan jenazah Papa. 

“Kakung udah pergi ke surga. Kita udah gak bisa lagi ketemu Kakung,” jawabku.

“Tapi, Kakung bisa lihat kita?.”

“Bisa.”

“Kenapa Kakung bisa lihat kita, tapi kita tidak bisa lihat kakung?”

“Karena jiwa Kakung sudah terlepas dari tubuhnya.”

“Tapi, kita masih bisa ketemu Kakung dalam mimpi?”

“Bisa.”

“Tapi Viyi kangen, pengin peluk Kakung.”

It’s okay. Nanti Mommy yang peluk.”

“Tapi, Viyi maunya Kakung yang peluk.”

“Kakung lagi peluk Viyi, tapi Viyi udah gak bisa rasa.”

Viyi lalu berhenti memompa dada kakungnya, kemudian memeluk tubuh kakungnya untuk kali terakhir.

Air mata terus mengucur di pipi Viyi. Di antara kami, dia yang terlihat paling sedih. 

Dia tidak menangis sambil berteriak-teriak seperti sepupu-sepupunya atau orang dewasa lainnya. Dia menangis dalam diam. Tidak ada suara sedikit pun yang keluar dari mulutnya, tetapi air mata di pipinya tidak pernah kering. Hingga sebelum peti mati berwarna putih itu ditutup, Viyi tidak mau beranjak dari situ. Katanya, dia mau menemani kakungnya selagi masih bisa. 

Pada detik-detik penutupan peti untuk diantarkan ke tempat peristirahatan yang terakhir, Viyi berbisik kepada kakungnya, “Kakung boleh pergi, tetapi janji harus datang tiap hari di Viyi punya mimpi. Datang peluk Viyi. Kakung janji, ya?”

Ini adalah kehilangan pertama bagi Viyi. Kehilangan pada saat dia belum merasa cukup puas dimanjakan kakungnya. Kebersamaan Kakung dengan cucu-cucu yang sangat jarang ditemuinya itu tidak lebih dari tiga bulan. 

Masuk SMP

Setelah level PPKM diturunkan dan sekolah-sekolah kembali melakukan pembelajaran tatap muka, Viyi dan adik-adiknya pindah ke sekolah tidak jauh dari rumah. Setahun setelahnya, ia menamatkan diri dari sekolah tersebut dan masuk salah satu SMP terbaik di Tomohon—kota terdekat dengan Sonder.

Keputusanku ini sempat menjadi perdebatan dengan beberapa orang teman yang beranggapan, bahwa bagus-tidaknya sekolah tidak menentukan masa depan seseorang.

“Lia jo, banyak orang yang sekolah di sekolah bagus, mar pada akhirnya cuma jadi beban keluarga. Sedangkan torang, sekolah di sekolah negeri yang depe bangunan sekolah somo rubuh, depe guru datang mengajar Senin-Kamis, asi toh bisa punya jabatan bagus di kantor.” 

“Ngana, susah-susah se sekolah anak di sekolah bagus, sekolah mahal, padahal yang menentukan dorang pe masa depan bukang sekolah, mar garis tangan.” 

“Ba siksa-siksa leh antar-jemput anak di sekolah di jauh, padahal ada banyak sekolah di dekat rumah. Mo sok-sok cari sekolah bagus, setelah lulus dari situ, belum tentu bisa jadi orang.”

Perkataan-perkataan seperti itu aku abaikan. Sebab, sejak awal aku memang menginginkan Viyi mengecap pendidikan di sekolah-sekolah bermutu. Aku tidak bilang sekolah di kampung tidak bermutu, tetapi baik dari ketersediaan guru maupun fasilitas yang ada, juga kelas-kelas ekstrakulikulernya, sekolah-sekolah unggulan tetaplah selangkah lebih baik.

Menurut kepala sekolah SMP Stella Maris sebelumnya, Sr. Jeanne Turangan, Viyi adalah murid berkebutuhan khusus pertama di sekolah itu. Ada semacam keraguan yang tersirat dari kalimat Sr. Jeanne ketika mewawancaraiku, khawatir Viyi akan susah beradaptasi dengan lingkungan yang memiliki jumlah murid terbilang cukup banyak, lebih dari 500 murid dari kelas 7 sampai 9. 

“Mungkin torang lia dulu Viyi pe perkembangan di sekolah ini sampe enam bulan depan, apakah dia bisa beradaptasi ato ndak. Mar, torang senang Viyi maso ke sekolah ini. Jadi semacam tantangan for torang.”

Aku meyakinkan Sr. Jeanne bahwa Viyi akan baik-baik saja, meskipun sebenarnya dia belum pernah berada di lingkungan sekolah dengan jumlah murid yang sangat banyak. Baik di Makassar maupun di Sonder, jumlah murid dalam sekolah-sekolah itu tidak lebih dari 50 orang. Viyi terbiasa dengan pergaulan dalam ruang lingkup kecil. 

Jam lima subuh, Viyi sudah harus bangun tidur dan bersiap-siap ke sekolah. Ada waktu satu jam untuk mandi, berpakaian, dan sarapan. Pukul enam tepat, kami berangkat dari rumah, saat jalanan masih lengang dan udara masih sangat sejuk. Tanpa harus terburu-buru, berdua kami menikmati perjalanan yang berkelok-kelok yang kerap jarak pandangnya pendek akibat tertutup kabut tebal. Waktu yang kami tempuh dengan sepeda motor untuk jarak 13 km, sekitar 25 menit. 

Di hari pertama sekolah, Viyi menjadi pusat perhatian. Baik mata para murid baru maupun orang tua yang mengantar mereka, tidak lepas dari Viyi. Mereka mungkin penasaran, kenapa ada anak kecil berseragam SMP. 

Sr. Jeanne yang berkomitmen membantu Viyi supaya bisa mengembangkan diri dan beradaptasi dengan lingkungan yang baru, memintanya bernyanyi di depan para murid di sela-sela acara orientasi siswa. Suara Viyi yang pas-pasan menggaung lewat pengeras suara. Sr. Jeanne mengacungkan jempol padanya, dan melihat kepercayaan diri Viyi memang sudah tidak diragukan lagi. 

Sekalipun demikian, kepala sekolah dan guru-guru yang ada tentu tidak bisa mengawasi murid satu per satu. Ada saja murid-murid yang mengejek Viyi baik di depan maupun di belakangnya. Tertawa cekikikan sering terdengar setiap kali berpapasan dengan Viyi. 

Viyi sempat merasa frustasi pada awal-awal masa sekolah. Dia selalu bilang rindu pada sekolah dan pada teman-temannya di GMS Makassar. Dia tidak terbiasa dengan lingkungan yang ramai. Beberapa kali dia pulang sekolah dengan wajah tertekuk karena tidak ada seorang pun murid yang mau berteman dengannya. 

Teman SD yang bersekolah di situ juga menjauhi Viyi dan berpura-pura tidak mengenalnya. Dia merasa dikucilkan. Beberapa kali seragamnya basah kena cipratan air hujan akibat tidak ada tempat duduk lain saat akan makan siang, selain yang berada dekat tirisan hujan. 

Aku katakan padanya, di mana pun bersekolah, dia tidak bisa menghindari hal-hal serupa. Tinggal bagaimana caranya membawa diri dan beradaptasi. 

Komitmen Kepala Sekolah untuk Viyi, dilanjutkan oleh kepala sekolah yang baru, Yoyo Prasetya. Beliau adalah kepala sekolah lelaki pertama di SMP Stella Maris. Viyi diberikan kesempatan untuk sering tampil di depan ratusan murid dan para pejabat pemerintah Kota Tomohon, dengan berpuisi dalam Bahasa Inggris pada beberapa perayaan nasional. Penampilannya bahkan pernah diapresiasi oleh Wakil Walikota Tomohon, Wenny Lumentut, dan beberapa pejabat pemerintah kota lainnya.

“Viyi adalah pribadi yang luar biasa. Menjadi kebanggaan kami karena keunikannya mewarnai sekolah ini. Dia mampu mengembangkan dirinya menjadi lebih baik,” kata Kepala Sekolah Yoyo.  

Sekalipun Viyi bisa tampil percaya diri di hadapan banyak orang, dia masih ketakutan dengan suara gaduh dan tepukan tangan. Setiap kali mendengar itu, wajah dan seluruh badannya akan memerah dan gatal. Dia pernah berkata padaku, suara gaduh dan tepukan tangan itu seolah membawanya pada situasi ketika dia meringkuk di sudut kamar yang gelap karena ketakutan mendengar pertengakaranku dan Daddy-nya. 

Lambat laun, satu per satu murid mulai menyenangi Viyi, sampai akhirnya dia bisa beradaptasi dalam waktu yang singkat dan memiliki teman di hampir semua kelas.

Viyi pernah bercita-cita menjadi seorang peneliti, untuk meneliti kasus achondroplasia dan mencari tahu cara mengobatinya biar di kemudian hari tidak akan ada anak-anak yang memiliki perawakan pendek seperti dirinya. Itu sebabnya, dia terus mengembangkan kemampuan berbahasa inggrisnya supaya bisa bersekolah ke luar negeri dan mencapai cita-citanya. 

Achondroplasia Bukan Penyakit 

Di Indonesia, individu dengan achondroplasia sangat mudah ditemukan di perempatan lampu merah, tempat parkir, pasar-pasar tradisional, atau sebagai pemeran pembantu dalam sebuah acara televisi yang berperan sebagai orang-orang dungu yang menjadi bahan tertawaan penonton. 

Sementara sangat jarang kita menemukan mereka di universitas ternama, kantor pemerintahan, dan kantor swasta tempat orang-orang berdasi keluar-masuk. Padahal, baik secara IQ maupun potensi individu dengan achondroplasia, jelas tidak berbeda dengan individu lain. Tetapi mereka seolah tidak layak berdiri sejajar dengan orang-orang sukses di luar sana. Mereka hidup dari kurangnya perhatian pemerintah, teknologi yang tidak cukup membantu keseharian mereka, dan ketidaksadaran masyarakat tentang kesetaraan dalam kehidupan bersama.

Masalahnya, selain stigma masyarakat terhadap individu achondroplasia yang dianggap tidak mampu melakukan apa yang biasa dilakukan oleh individu lain, tidak sedikit orang tua penderita achondroplasia yang beranggapan serupa. Sehingga mereka pasrah tanpa berusaha lebih maksimal untuk menunjukkan, “Ini, loh, anakku. Kendati dia berbeda, tetapi dia mampu bersaing dengan anak-anak lainnya.”

Sebenarnya pemerintah memiliki peran penting dalam membantu individu achondroplasia, dengan memberikan pendidikan dan informasi tentang achondroplasia kepada masyarakat, termasuk memahami bagaimana memperlakukannya dengan baik. 

Masyarakat harus memahami bahwa achondroplasia bukanlah penyakit dan mereka memiliki kemampuan yang sama seperti individu lainnya. Masyarakat harus memberikan dukungan sosial dan emosional kepada mereka dan memfasilitasi keterlibatan mereka dalam masyarakat. Masyarakat harus memastikan bahwa individu dengan achondroplasia tidak didiskriminasi dan memiliki hak yang sama seperti individu lain. Dengan demikian masyarakat dapat membantu mereka mencapai potensi dan hidup dengan kualitas yang lebih baik.

Sementara orang tua harus memastikan bahwa anak dengan achondroplasia memiliki akses pendidikan yang baik dan layak, termasuk pendidikan inklusif di sekolah-sekolah umum. Orang tua perlu membantu menumbuhkan rasa percaya diri dan memastikan anak mereka merasa diterima dan dihargai oleh masyarakat. Dukungan itu diharapkan dapat membantu mengatasi tantangan yang mereka hadapi. 

Terakhir, orang-orang tua dari anak berkebutuhan khusus perlu mendapatkan pendampingan dan dukungan, karena merekalah yang harus mendapatkan perhatian lebih di awal untuk menyiapkan mental menerima anak mereka yang istimewa. 

Novi Mayasari Haryono

Kelahiran Sonder, Minahasa, ibu dari seorang anak achondroplasia, bekerja sebagai wartawan media Teropongsulut.com.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!