Bagaimana cara Bantu Perempuan yang Berkasus Hukum? Baca Disini

Buruh perempuan yang berhadapan dengan hukum berhak untuk mendapatkan bantuan pendampingan agar proses hukum tidak bias gender

Konde.co dan Koran Tempo punya rubrik ‘Klinik Hukum Perempuan’ yang tayang secara dwimingguan bekerja sama dengan LBH APIK Jakarta, Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender dan Perempuan Mahardhika. Di klinik ini akan ada tanya jawab persoalan hukum perempuan. 

Tanya:

Saya Shita (28 tahun), buruh perempuan di Kawasan industri Cikarang. Walau saya tidak aktif di Serikat Buruh, saya sering mendampingi buruh perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual di pabrik, atau yang mendapatkan KDRT dari suaminya di rumah. Saat ini saya sedang mendampingi salah satu kawan buruh perempuan yang dilaporkan oleh pihak pabrik karena mencuri barang produksi seharga Rp. 4,000.000,-,. Menurut satpam di pabrik, sebentar lagi akan ditetapkan menjadi tersangka dan dilakukan penahanan, padahal barang yang dicuri sudah dikembalikan dan pelaku sudah minta maaf. Kawan saya itu baru sekali ini mencuri karena dalam kondisi terjepit. Anaknya yang berumur 3 tahun di rawat di rumah sakit, gajinya tidak mencukupi untuk membayar biaya rumah sakit karena ia juga harus membiayai 2 anak lainnya yang masih sekolah. Suaminya kawin lagi, tidak pernah pulang ke rumah dan tidak memberikan nafkah ekonomi kepada keluarga. Semoga kawan-kawan advokat di Klinik Hukum bagi Perempuan dapat memberikan penjelasan mengenai penyelesaian kasusnya dan upaya apa yang harus saya lakukan untuk membantunya sebagai paralegal pendamping. Terimakasih. (Shita, Cikarang)   

Ulasan:

Terimakasih Shita sudah menghubungi kami. Perkenalkan, saya Sri Agustini, salah satu pengasuh Klinik Hukum bagi Perempuan. Saya akan memberikan penjelasan atas pertanyaan kamu mengenai perkara buruh perempuan yang berkonflik/ berhadapan dengan hukum atas tindak pidana pencurian.

Saya akan mulai dengan pembahasan mengenai perkara buruh perempuan yang berkonflik/ berhadapan dengan hukum atas tindak pidana pencurian di lingkungan pabrik.

Pencurian merupakan perbuatan pengambilan barang. Kata mengambil (wegnemen) merupakan dengan cara menggerakkan tangan dan jari-jari, memegang barangnya, dan mengalihkannya ke tempat lain. Tindak pidana pencurian ini diatur dalam Bab XXII tentang “Pencurian” dari Pasal 362 – Pasal 367 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dalam bab tersebut terdapat berbagai ketentuan mengenai pencurian yang dilakukan dalam berbagai kondisi dan cara sebagai berikut:

1. Pencurian biasa

Diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), sebagai berikut:

“Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Berdasarkan rumusan Pasal 362 KUHP, maka unsur-unsur pencurian biasa adalah:

  1. Mengambil;
  2. Suatu barang;
  3. Yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain;
  4. Dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum
2. Pencurian Ringan

Pasal 364 KUHP menentukan bahwa pencurian ringan hanya dapat didakwakan terhadap pencurian dengan harga barang yang dicuri tidak tebih dari Rp 250,00 (dua ratus lima puluh rupiah).

Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitu pun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.”

Namun setelah Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) RI Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda Datam KUHP, kata-kata “dua ratus puluh lima rupiah” pada pasal 364, KUHP dibaca menjadi Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Dalam kasus pencurian ringan, maka pelaku tidak ditahan dan perkara dilaksanakan melalui acara pemeriksaan cepat sebagaimana dimaksud dalam bagian menimbang huruf b PERMA 02/2012, yang berbunyi:

“Bahwa apabila nilai uang yang ada dalam KUHP tersebut disesuaikan dengan kondisi saat ini, maka penanganan perkara tindak pidana ringan seperti pencurian ringan, penipuan ringan, penggelapan ringan dan sejenisnya dapat ditangani secara proporsional mengingat ancaman hukuman paling tinggi yang dapat dijatuhkan hanyalah tiga bulan penjara, dan terhadap tersangka atau terdakwa tidak dapat dikenakan penahanan, serta acara pemeriksaan yang digunakan adalah Acara Pemeriksaan Cepat. Selain itu perkara-perkara tersebut tidak dapat diajukan upaya hukum Kasasi.”

3. Tindak Pidana Pencurian Dengan Pemberatan

Diatur dalam Pasal 363 dan 365 KUHP disebutkan bahwa dikatakan sebagai pencurian dengan   pemberatan karena pencurian dilakukan dengan cara tertentu atau dalam keadaan tertentu, sehingga ancaman pidananya diperberat, cara atau keadaan tertentu seperti:

Pasal 363 KUHP Ayat 1, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika:

  1. pencurian ternak;
  2. pencurian pada waktu ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang;
  3. pencurian di waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak;
  4. pencurian yang dilakukan oleh dua orang atau lebih:
  5. pencurian yang untuk masuk ke tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu.

Ayat 2:

Jika pencurian yang diterangkan dalam butir 3 disertai dengan salah satu hal dalam butir 4 dan 5, maka diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

4. Tindak Pidana Pencurian Dengan Kekerasan

Pasal 365 KUHP menyebutkan di antaranya:

  1. Diancam dengan pidana penjara selama-lamanya 9 tahun, pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang, dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicurinya;
  2. Diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun:
  3. Jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan.
  4. Jika peruatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu.
  5. Jika masuknya ke tempat melakukan kejahatan, dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian Jabatan-palsu.
  6. Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
  7. Jika perbuatan mengakibatkan mati, maka dikenakan pidana penjara paling lama 15 tahun.
  8. Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama 20 tahun, jika peruatan mengakibatkan luka berat atau mati dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pula disertai oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.

Dalam dugaan tindak pidana pencurian yang dilakukan oleh salah satu kawan buruh perempuan di pabrik tempat Shita bekerja, dapat saya kategorikan sebagai tindak pencurian biasa, karena dilakukan di dalam lingkungan pabrik (tempatnya tertutup) dan nilai barang yang dicuri di atas Rp 2.500.000,00 (dua juta lima ratus ribu rupiah).

Perlu diketahui, dalam perkara pencurian biasa, apabila seseorang mengajukan laporan terkait tindak pidana pencurian tersebut kepada polisi, misalnya pihak pelapor adalah supervisor dari pelaku pencurian, maka laporan tersebut tidak dapat ditarik atau dicabut kembali. Dengan demikan, kawan buruh perempuan yang melakukan pencurian tersebut, walaupun sudah meminta maaf dan mengembalikan barang-barang yang dicurinya, maka akan tetap proses secara hukum, karena permintaan maaf dan pengembalian barang yang telah dicurinya, tidak menghapus perbuatan pidana yang dilakukannya. Hal ini berbeda dengan pencurian ringan yang penyelesaiannya dapat dilakukan melalui jalan restorative justice, atau penyelesaian melalui jalur perdamaian yang difasilitasi oleh pihak kepolisian dan atau kejaksaan.

Selanjutnya, hal-hal apa saja yang bisa Shita lakukan untuk memberikan bantuan pendampingan hukum kepada kawan buruh peerempuan ini?

Pertama, di dalam memberikan pendampingan hukum, Shita sebagai paralegal sebaiknya tidak sendiri, tetapi mencari rujukan bantuan hukum dari lembaga bantuan hukum (LBH) yang secara khusus memberikan pendampingan hukum kepada perempuan korban kekerasan berbasis gender. Jika di kota Shita tidak ada LBH khusus perempuan, bisa meminta bantuan dari LBH lainnya namun harus dipastikan bahwa LBH tersebut memiliki divisi hukum untuk perempuan atau minimal sering mendampingi kasus-kasus perempuan baik sebagai korban kekerasan berbasis gender ataupun perenpuan yang berkonflik dengan hukum sebagai tersangka/terdakwa suatu tindak pidana. Hal ini harus diperhatikan agar kawan buruh perempuan tersebut dapat didampingi oleh advokat yang dapat memberikan bantuan secara probono (tidak berbayar) karena ketidakmampuan ekonomi, dan yang terpenting lagi, advokat tersebut berpegang pada nilai-nilai hukum yang berkeadilan gender, sehingga tidak memiliki bias-bias gender pada saat memberikan pendampingan hukum, mengingat perempuan yang berkonflik dengan hukum dalam proses peradilan pidana mempunyai hak atas praduga tak bersalah sampai dengan ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan kesalahannya. Selain itu perempuan yang berkonflik dengan hukum berhak atas bantuan hukum di setiap tahap pemeriksaan.

Adanya pendampingan bagi perempuan yang berkonflik/berhadapan dengan hukum dari paralegal dan advokat yang berpegang pada nilai-nilai hukum yang berkeadilan gender di dalam proses hukum, baik itu di tingkat kepolisian hingga persidangan, tujuannya untuk memastikan agar aparat penegak hukum berpegang pada asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi dan asas kesetaraan gender.

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita, berkewajiban memberi akses kepada perempuan untuk memperoleh keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan. Akses memperoleh keadilan bagi perempuan berhadapan dengan hukum juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum atau disingkat PERMA 3/2017.

Terbitnya PERMA 3/2017 merupakan upaya dari pembaharuan hukum acara pidana, untuk pemenuhan hak perempuan yang berhadapan dengan hukum, yaitu dengan mengatur bagaimana hakim seharusnya bertindak dan berperilaku terhadap perkara perempuan baik itu sebagai korban ataupun terdakwa di persidangan.

Hakim di dalam memeriksa dan mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum harus mempertimbangkan diantaranya (Pasal 2 PERMA 3/2017):

  1. penghargaan atas harkat dan martabat manusia;
  2. non diskriminasi;
  3. kesetaraan gender;
  4. persamaan di depan hukum;
  5. keadilan;
  6. kemanfaatan; dan
  7. kepastian hukum

Singkat kata, hakim dilarang menunjukkan sikap atau pernyataan yang bias gender, membenarkan adanya diskriminasi terhadap perempuan dan juga larangan menanyakan riwayat seksual korban. Selain itu, hakim mempunyai hak untuk mencegah bahkan menegur para pihak, penasihat hukum, penuntut umum dan/atau kuasa hukum yang bersikap atau membuat pernyataan yang merendahkan, menyalahkan, mengintimidasi dan/atau menggunakan pengalaman atau latar belakang seksualitas terdakwa perempuan berhadapan dengan hukum yang perkaranya diperiksa di persidangan.

Selain itu, hakim dalam mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, sesuai Pasal 6 PERMA 3/2017, harus:

  1. Mempertimbangkan kesetaraan gender dan stereotip gender dalam peraturan perundang-undangan dan hukum tidak tertulis;
  2. Melakukan penafsiran peraturan perundang-undangan dan/atau hukum tidak tertulis yang dapat menjamin kesetaraan gender;
  3. Menggali nilai-nilai hukum, kearifan lokal dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat guna menjamin kesetaraan gender, perlindungan yang setara dan non diskriminasi; dan
  4. Mempertimbangkan penerapan konvensi dan perjanjian-perjanjian internasional terkait kesetaraan gender yang telah diratifikasi.

Kedua, dalam kasus yang sedang Shita dampingi, latar belakang mengapa pelaku melakukan pencurian sangat jelas dijabarkan bahwa ia dalam keadaan terpaksa. Pencurian dilakukan untuk membiayai perawatan anaknya yang sakit. Pelaku adalah seorang buruh perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga dengan menanggung nafkah 3 orang anak seorang diri karena suaminya berpoligami dan pergi meninggalkan tanggung jawabnya kepada keluarga. Data-data penting ini harus Shita catat agar dapat membantu advokat di dalam melakukan pembelaan di persidangan untuk meringankan kawan buruh perempuan tersebut pada saat sudah ditetapkan sebagai terdakwa di persidangan, yang mana nantinya advokat juga dapat menganalisis hal-hal lainnya yang meringankan terdakwa seperti misalnya tidak pernah di hukum, berkelakuan sopan, kooperatif selama proses persidangan dan lain-lain.

BACA JUGA:

Hutang, Cara Baru Menjerat Buruh Perempuan

Demikian penjelasan mengenai permasalahan buruh perempuan yang berhadapan dengan hukum, semoga dapat menambah pengetahuan dan menguatkan Shita di dalam memberikan pendampingan hukum sebagai paralegal komunitas buruh perempuan.  

Sri Agustini

Advokat LBH Apik Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!