Siapa Yang Memasak Opor Ayam di Hari Lebaranmu?

Jika pekerjaan domestik di hari lebaran seperti memasak opor ayam masih dilakukan perempuan, kayaknya kamu perlu mengevaluasi diri. Apakah kamu dan keluarga sudah mengapresiasi pekerjaan perempuan? Apakah kamu sudah terlibat dalam upaya berbagi peran domestik bersama keluarga?

Apa hal paling mengesankan yang kamu ingat dari lebaran?

Hari dimana kamu bisa makan lagi sepuasnya setelah sebulan penuh puasa? Pakai baju dan sandal baru kekinian? Keliling rumah tetangga untuk bermaaf-maafan? Dapat angpao lebaran? Semarak kembang api dan petasan? Mudik ketika jadi anak perantauan? Atau sesederhana makan opor ayam bersama keluarga di rumah?

Bagiku, semuanya mengesankan. Ngomongin soal lebaran, memang bikin ingatan-ingatan masa kecil seketika bermunculan. Tapi semakin ke sini, kesan soal “opor ayam” ini bisa jadi yang paling kumaknai. 

Ini tak selalu harus “opor ayam” ya, tapi bisa makanan apapun yang khas disediakan di rumahmu saat momen lebaran. Kalau di rumahku, selalu khas dengan kupat sayur dengan bubuk kedelai dan nasi berkat yang dimakan bersama di masjid setempat. 

Pertanyaan: Siapa yang memasak “opor ayam” di hari lebaranmu? Saat ini menjadi hal yang kupikir, jadi refleksi penting. 

Aku termasuk anak rantau yang tak pernah absen mudik saat momen lebaran. Rasanya, momen kumpul  ini sangat penting di tradisi keluarga kami. Ibarat pepatah, “mangan ora mangan, sing penting ngumpul” (makan gak makan, asal kumpul). Aku selalu ada di rumah saat malam takbiran, jelang sholat ied, sampai H+ beberapa hari lebaran. 

Malam jelang lebaran, gema takbir — beriringan dengan kembang api dan petasan— selalu riuh di kampung kami, Blitar, Jawa Timur. Saat itu, ibuku tampak yang paling sibuk menyiapkan toples-toples jajanan lebaran. Dibaris rapikan dari ujung meja ke ujung lainnya. Aku bersama adik, menjadi asistennya menata kursi-kursi atau menggelar tikar. 

Sepanjang malam, rasanya ibuku tak pernah benar-benar tidur. Usai bersih-bersih dan menata jajanan, pukul 3 malam ketika terbangun, dapur sudah ramai dengan aktivitas. Bunyi sreng di penggorengan, sedangkan sisi kompor lainnya bunyi kemlutuk kukusan. Penanak nasi pun sudah mengepul dengan asap putih. 

Adzan subuh menjelang, ibu sudah akan memburu-buru kami untuk segera mandi dan sholat subuh. Kami sekeluarga selanjutnya membantu menyiapkan nasi berkat yang akan kami bawa ke masjid. 

Kami akan membawa jumlah bakul berkat sesuai dengan jumlah anggota keluarga kami yang ikut kenduri, biasanya ibu melebihkan nasi berkat itu untuk diberikan ke tetangga. Nasi berkat ini nantinya akan ditukar satu sama lain dan dimakan bersama usai doa bersama di masjid.  

Sebakul nasi berkat berisikan nasi ¾ bakul. Kemudian dilapisi daun pisang. Di atasnya ditumpangi lauk ayam atau telur, sambal goreng kentang atau tempe, mie kuning atau bihun dicampur irisan wortel buncis khas selamatan, kemudian ditutup lagi daun pisang. 

Sekitar pukul 6 petang, kami bergegas ke masjid untuk sholat Ied. Kami menggelar tikar di lapangan sekolahan. Jalan-jalan sudah ramai dengan orang-orang yang mau beribadah sholat jelang lebaran idul fitri, setahun sekali itu.  

Setelah sholat dan bersalaman antar jamaah, kami pun pulang ke rumah kemudian membawa kembali nasi berkat yang sudah Ibu masak dan kami siapkan sebelumnya. 

H+7 lebaran, tradisi di kampung kami ada lebaran ketupat (bodo kupat). Jelang malam itu, Ibu juga sudah sibuk membeli anyaman ketupat janur di pasar—sebelumnya biasanya kakek yang bikin, tapi beliau sekarang sudah almarhum.

Setelah itu, Ibu akan mengisikan beras mentah di sela-sela anyaman ketupat janur itu. Mengukusnya. Sambil menyiapkan sayur pepaya muda dan sayur kacang (kates dan loto) serta serbuk kedelai sebagai pelengkapnya. Di zaman dulu yang makan ayam adalah kemewahan, kami sudah cukup dengan menu itu. 

Kami mengganti menu ‘opor ayam’ saat lebaran dengan kupat loto alias ketupat yang lauknya sayur kacang. Sedangkan, benar-benar ada ayamnya itu kadang-kadang sekali, kalau kami punya uang lebih. 

Meski begitu, kami benar-benar menikmati dan bersyukur dengan kupat loto yang kami punya. Kami saling berbagi ke tetangga. Kalau dulu masih diantarkan pakai tampah bambu, kalau sekarang sudah pakai bakul plastik. 

Memasak ‘Opor Ayam’: Pekerjaan Domestik Yang Tak Dikalkulasi

Jika diingat-ingat lagi, peran perempuan seperti ibuku yang selalu telaten masak hidangan lebaran seperti ‘opor ayam’, kupat loto, nasi berkat atau lainnya. Seolah sering tak disadari atau tak dihargai pekerjaanya. 

Peran perempuan yang mengerjakan peran domestik memasak itu, juga sama halnya: seringkali tak dikalkulasi (tak dihitung). Sebab perempuan dikondisikan selalu yang jadi penanggung jawab beban pekerjaan domestik yang sulit dipertukarkan perannya, di lingkungan patriarki. 

Terbiasa dengan kondisi itu, tentu kesadaran soal kesetaraan dan pembagian peran tak bisa langsung terjadi. Sementara, kerja-kerja domestik itu seolah dilupakan perannya. 

Aku jadi teringat bukunya Katrine Marcal berjudul ‘Siapa Yang Memasak Makan Malam Adam Smith? Sebuah kritik yang skeptis pada teori ekonomi Adam Smith, filsuf yang mempelopori sistem ekonomi kapitalis pada kisaran tahun 1776. 

Smith saat itu melontarkan pertanyaan dasar soal bagaimana kita bisa menyantap makan malam? Bagaimana bisa menu tersebut terhidang di meja? Untuk menjawab tantangan sistem ekonomi yang dapat menguntungkan semua pihak. 

Ia lantas menggiring opini, agar mempercayai bahwa tindakan tiap individu yang sedang memenuhi kepentingan pribadi secara maksimalnya lah, yang membantu dunia bergerak. Motif personal ini mendasari Smith mengenalkan ‘invisible hand’ atau tangan tak terlihat. 

Menurut Smith, bukan kebaikan hati tukang daging, penjual roti atau minuman. Melainkan, motif personal untuk kepentingan diri mereka sendiri lah yang menjadikan kita bisa menyantap makan malam. 

Analisis Katrine dalam buku itu, kemudian diyakini menjadi tamparan keras bagi Smith. Toh nyatanya, Smith yang seumur hidupnya melajang, ternyata tinggal bersama ibunya. Sosok perempuan yang membantu menyiapkan segala kebutuhan Smith. Termasuk, menjalankan tugas domestik dan menyiapkan makan malam Smith. 

Alhasil, Smith bisa menjadi sosok yang kita kenal sekarang, filsuf terkemuka. Di balik cemerlang akademis Smith, ada peran perempuan: yang menjalankan peran domestik dan perawatan dengan tulus dan kasih sayang. Tanpa mengharapkan imbalan. Meskipun, peran itu tak mendapat pengakuan. 

Kritik Katrine juga mengacu pada egoisme pribadi yang menjadi titik berat Smith. Tanpa berpihak pada kaum papa serta golongan marjinal. Tak terkecuali juga pada peran-peran perempuan, yang seringnya dilupakan.  

Tamparan juga buatku, jika selama ini pekerjaan domestik seperti memasak ‘opor ayam’ di hari lebaran masih dibebankan ke seorang perempuan, yang adalah Ibu, selama berbelas-belas tahun ke belakang. 

Bukankah, sudah saatnya kita mengubah pola itu? Atau paling tidak lebih memberi ruang untuk pertukaran peran? Dan juga memperbanyak porsi pembagian peran dalam anggota keluarga?

Bukankah akan lebih indah, jika lebaran ke depannya, rutinitas persiapan lebaran termasuk memasak ‘opor ayam’ bisa dikerjakan bersama? Satu sama lain di keluarga bisa saling membantu dan berbagi peran domestik lainnya. 

Pun jika kondisinya yang memasak opor ayam adalah pekerja rumah tangga (PRT) kita di rumah. Setidaknya, kita bisa mengakui dan lebih menghargai pekerjaannya. Jangan lupa ucapkan terimakasih, perlakukan dengan baik dan tunaikanlah hak-hak PRT dengan layak. 

Selamat lebaran!

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!