reformasi

25 Tahun Reformasi: Stop Janji Kosong untuk Perempuan Dalam Tragedi Mei

25 tahun berlalu, tragedi Mei 1998 telah menelan korban jiwa dan meninggalkan trauma mendalam bagi perempuan Indonesia. Jangan hanya sebagai momen tahunan belaka atau janji-janji kosong penuntasan pelanggaran HAM perempuan.

Peristiwa Mei 1998 meninggalkan luka dan trauma mendalam bagi para perempuan, terutama perempuan korban kekerasan seksual.

Tim Gabungan Pencari Fakta/ TGPF memaparkan dalam laporannya. Sebanyak 52 orang menjadi korban perkosaan, 14 orang menjadi korban perkosaan dengan penganiayaan, 10 korban penyerangan / penganiayaan seksual, dan 9 mengalami pelecehan seksual. Tercatat pula bahwa sebagian besar korban kekerasan seksual adalah perempuan etnis Tionghoa dan bersifat lintas kelas sosial.

“Tim Gabungan Pencari Fakta Peristiwa Kerusuhan Mei 1998 mengidentifikasi sekurangnya ada 85 kasus kekerasan seksual yang terjadi pada peristiwa kerusuhan itu. 52 di antaranya adalah perkosaan, yang dilakukan secara berkelompok dan menyasar pada etnis Tionghoa yang pada kerusuhan itu menjadi target kebencian,” ungkap Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani dalam kata sambutannya saat memperingati 25 tahun Reformasi di TPU Pondok Ranggon, Jakarta Timur, 13 Mei 2023.

Memori tentang kekerasan seksual di bulan Mei 1998 juga erat kaitannya dengan Ita Martadinata, aktivis HAM yang tewas dibunuh dengan keji. Saat itu, ia sebagai bagian dari Tim Relawan untuk Kemanusiaan hendak bersaksi di Sidang PBB terkait kasus pemerkosaan massal yang terjadi pada masa tersebut. 

Ita ditemukan tidak bernyawa di rumahnya dengan kondisi mengenaskan pada Oktober 1998. Kejadian naas itu hanya beberapa hari setelah Tim Relawan untuk Kemanusiaan serta sejumlah organisasi HAM lainnya mengungkapkan bahwa beberapa anggota tim mereka mendapatkan ancaman pembunuhan, karena berupaya membantu investigasi internasional atas kekerasan seksual atas perempuan Tionghoa dalam Kerusuhan Mei 1998.

Kontan saja hal tersebut menjadi teror bagi banyak korban lainnya. Hingga saat ini, para perempuan korban kekerasan seksual pada tragedi Mei 1998 masih dilingkupi ketakutan dan trauma. Stigma juga masih melekat usai kejadian yang menimpa mereka tersebut. Bahkan mereka tidak berani untuk bicara, memilih diam karena merasa tidak memiliki ruang aman dan kekhawatiran akan risiko yang akan dihadapi.

BACA JUGA:

Sudah 24 Tahun Reformasi: Negara Tak Juga Mengakui Kasus Marsinah dan Perkosaan Mei Sebagai Pelanggaran HAM

Mei 1998 adalah sejarah politik yang sangat pahit bagi perempuan Indonesia

Aktivis perempuan Ita F. Nadia bercerita, ada seorang korban perkosaan Mei yang masih berusia 13 tahun meninggal dunia karena diminumkan baygon oleh pihak keluarga. Keluarga tak tahan menerima tekanan & teror yang luar biasa pasca perkosaan tersebut. Setelah minum Baygon, anak perempuan tersebut meninggal dunia. Kisah tentang perkosaan yang terjadi pada Mei 98, tak banyak dibicarakan ketika orang kembali membicarakan tragedi Mei 98. Padahal ada lebih dari 152 perempuan yang menjadi korban perkosaan kala itu

Mei 1998 adalah sejarah politik yang sangat pahit bagi perempuan Indonesia. Banyak perempuan dari Etnis Tionghoa menjadi korban perkosaan.

Andy Yentriyani pernah menyatakan, perkosaan menjadi satu cara mengancam dan satu cara penaklukan perempuan pada Mei 98. Ita Nadia dan Andy Yentriyani menyatakan ini pada diskusi online yang diadakan Jaringan GERAK Perempuan, 16 Mei 2020. 

Hal lain yang terjadi kala itu yaitu, penghilangan paksa, pembunuhan, kerusuhan, begitu banyak hal yang terjadi menjelang kejatuhan Orde Baru, khususnya pada 13-15 Mei 1998. 

Sayangnya, pemenuhan hak korban tragedi tersebut masih jauh dari harapan, khususnya para perempuan korban kekerasan seksual di hari-hari naas tersebut.

Lagi-lagi, momentum peringatan tragedi Mei 1998 jatuh di tahun politik, ketika para politisi dan pejabat negara sedang getol-getolnya menebar janji agar dapat duduk di kursi idaman. Tak luput, janji-janji terkait pengusutan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) juga mulai terdengar kembali di tahun ke-25 Tragedi Mei 1998 ini. Tapi lalu mereka akan lupa. Lalu kita sebagai masyarakat juga mungkin akan terbawa untuk lupa. Sedangkan para korban membawa kenangan pahit itu sepanjang hayat.

25 tahun berlalu, jangan sampai ingatan tentang salah satu tragedi kelam di Indonesia ini hilang tanpa kejelasan. Penting bagi kita untuk tahu apa yang terjadi di bulan Mei 1998, bagaimana dampaknya terhadap korban, dan apa lagi janji-janji semu pemerintah terkait peristiwa tersebut selama 25 tahun terakhir.

Kerusuhan Mei 1998 dan Stigma ‘Penjarah’

Tragedi Mei 1998 adalah eskalasi dari dinamika sosial-politik masyarakat Indonesia pada saat itu. Berbagai peristiwa telah terjadi beberapa waktu sebelum tragedi tersebut di masa Orde Baru, yang sekaligus menandai jatuhnya masa pemerintahan Presiden Soeharto.

Indonesia dilanda kekacauan. Kisruh Pemilu 1997, penculikan aktivis, krisis ekonomi, aksi protes mahasiswa tanpa henti, hingga tewasnya mahasiswa Universitas Trisakti akibat penembakan saat demonstrasi mengarah pada berbagai peristiwa yang terjadi pada 13-15 Mei 1998. Kini hari-hari gelap tersebut dikenal sebagai Tragedi Mei 1998.

Kerusuhan pecah di sejumlah tempat, khususnya di Jakarta. Menurut data versi tim relawan yang dilaporkan TGPF, ada setidaknya 1.217 jiwa melayang akibat kerusuhan tersebut. Sebagian besar meninggal akibat terbakar dan lainnya akibat senjata tajam. Sedangkan data dari kota-kota di luar Jakarta, tercatat 33 meninggal dunia dan 74 luka-luka. Sementara itu, jumlah korban versi Polda Metro Jaya / Polri menyebut, 451 orang meninggal di Jakarta dan korban jiwa di luar Jakarta berjumlah 30 orang. Versi Kodam Jaya juga berbeda, yakni 463 orang meninggal termasuk aparat keamanan dan 69 lainnya luka-luka. Terakhir, Pemda DKI mencatat 288 korban meninggal dunia dan 101 lainnya luka-luka.

Perbedaan catatan jumlah korban jiwa terjadi lantaran banyak korban telah dievakuasi sendiri oleh masyarakat sebelum pemerintah memulai evakuasi, berdasarkan keterangan laporan TGPF seperti dilansir dari Amnesty International. Makanya, banyak korban tidak tercatat dalam laporan resmi pemerintah.

Usai peristiwa itu, muncul stigma bahwa orang-orang yang tewas di tengah kerusuhan tersebut adalah ‘penjarah’. Nyatanya, hasil temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) menunjukkan bahwa lebih dari seribu orang yang meninggal dunia pada saat itu adalah warga biasa yang diajak dan dijebak, atau yang bergerak untuk mencari tahu dan membantu korban di tengah kerusuhan.

Menanti Pertanggungjawaban Pemerintah

Sudah 25 tahun, Tragedi Mei 1998 masih menyisakan luka getir bagi para korban, penyintas, dan keluarga serta orang terdekat mereka. Sementara itu, pertanggungjawaban pemerintah atas tragedi kelam tersebut masih dinanti oleh banyak orang. 

Di satu sisi, pengesahan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) membawa angin segar terkait regulasi hukum pada pengalaman perempuan korban. Hal ini merupakan terobosan yang baik usai peristiwa pilu yang dialami perempuan pada Mei 1998. Salah satu rekomendasi kunci dari peristiwa Tragedi Mei 1998 berupa perubahan pasal perkosaan dalam revisi KUHP juga kini terwujud.

Di sisi lain, memperingati tahun ke-25 ini, Komnas Perempuan sebagai lembaga negara yang dibentuk dari sejarah Tragedi Mei 1998 meminta pemerintah agar mendengar suara dan memenuhi hak-hak korban. Khususnya perempuan dan keluarganya. Pemerintah juga diminta untuk membuat kebijakan yang komprehensif demi memastikan peristiwa serupa tidak berulang, memfasilitasi pemulihan dalam makna luas, serta memberikan jaminan perlindungan dan bebas dari stigma.

“Termasuk upaya-upaya lain untuk pemulihan korban. Kami merekomendasikan agar pemerintah dan Tim PPHAM yang dibentuk oleh Presiden Joko Widodo menggunakan pengalaman Komnas Perempuan dan melibatkan perempuan korban secara substantif untuk menindaklanjuti rekomendasi TIM PPHAM.” Tegas Veryanto Sitohang, Ketua Sub Komisi Partisipasi Masyarakat Komnas Perempuan.

BACA JUGA:

Mei 1998, Sejarah Hitam Perempuan Dalam Tragedi Perkosaan

Sumber gambar: historia.id

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!