Penting untuk memahami bahwa artis RK adalah korban penyebaran konten intim non-konsensual (NCII), dan tidak seharusnya dikriminalisasi.

Aktivis: Artis RK Adalah Korban Penyebaran Konten, Stop Kriminalisasi

Situasi penyebaran konten intim non-konsensual kerap menjebak korban sehingga diposisikan sebagai objek perbincangan, atau bahkan mengarah pada kriminalisasi. Dialami oleh artis RK baru-baru ini, masyarakat perlu segera menyadari betapa pentingnya untuk berhenti kriminalisasi korban penyebaran konten intim non-sensual.

Nama seorang artis perempuan berinisial RK sedang ramai dibicarakan selama beberapa hari terakhir. Pasalnya, konten intim dirinya tersebar luas tanpa izin. Ironisnya, perbincangan mengenai RK justru berpusat pada dirinya sebagai sosok dalam konten itu, alih-alih fakta bahwa ia telah menjadi korban non-consensual intimate image (NCII) alias penyebaran konten intim non-konsensual.

Sebagai catatan, NCII termasuk bentuk kekerasan seksual online dalam Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS).

Persoalan tidak hanya berhenti sampai di situ. Rupanya artis RK juga dikriminalisasi dengan adanya laporan masyarakat atas dirinya dalam konten intim tersebut ke pihak kepolisian. Padahal, dengan penjelasan dalam UU TPKS bahwa NCII merupakan bagian dari kekerasan seksual online, mestinya RK justru diperlakukan sebagai korban dan mendapatkan perlindungan yang pantas. Di sisi lain, seharusnya pelaku penyebaran konten yang ditindak sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kasus NCII, Korban Malah Dikriminalisasi

Ini bukan kali pertama kasus NCII berbalik merugikan korban habis-habisan. Masyarakat masih memandang kasus NCII—yang pernah dikenal dengan istilah ‘revenge porn’, meski kini dipahami bahwa istilah itu justru menyudutkan korban—sebagai sesuatu yang sensasional belaka. Masyarakat cenderung memusatkan diskursus pada sosok korban penyebaran konten non-konsensual itu. Juga bukan pertama kalinya kasus NCII berakhir pada kriminalisasi korban. Hal tersebut menunjukkan, negara masih belum mampu memberikan perlindungan pada korban.

“Ini bukan kasus pertama, di mana korban malah dijadikan pelaku dalam kasus penyebaran konten intim non konsensual. Harusnya publik dan penegak hukum menyadari bahwa dalam kasus tersebarnya konten intim ada korban yang dilecehkan, direndahkan, dan dilanggar hak atas privasinya. Negara wajib memberikan perlindungan pada korban bukannya malah membiarkan korban dikriminalisasi atau disebar ulang kontennya” Ujar Naila Rizqi Zakiah, Manajer Advokasi Lintas Feminis Jakarta, seperti dilansir dari rilis pers Lintas Feminis Jakarta pada Kamis (25/5/2023).

Pada banyak kasus penyebaran konten intim non-konsensual, aparat penegak hukum juga masih cenderung melihatnya sebagai pelanggaran kesusilaan. Dengan perspektif tersebut, justru korban yang akhirnya dipidana. Selain keliru secara hukum, pandangan tersebut juga berbahaya karena melanggengkan praktik ‘polisi moral’ terhadap kasus-kasus kekerasan seksual di masyarakat.

“Nanti publik melihatnya dari kacamata moralitas, itu berbahaya, karena korban akan dapat penghukuman berlapis. Dosa masyarakat kita banyak loh terhadap korban ini,” tambah Naila.

Kasus NCII jelas merugikan korban berkali-kali. Bukan hanya konten pribadinya disebarluaskan tanpa izin, masyarakat pun masih cenderung membahas kasus-kasus serupa dengan berfokus pada sosok korban dalam konten tersebut, menjadikannya sebagai obyek. Identitas dan sosok korban diekspos, disudutkan, bahkan bukan tidak mungkin berujung pada kriminalisasi korban sebagai obyek dalam NICC tersebut. Padahal, ada orang lain yang seharusnya disorot sebagai pelaku penyebaran konten non-konsensual itu.

Acuan Hukum dalam Penanganan NCII

Penanganan kasus NCII oleh polisi seharusnya mengacu pada Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Masalahnya, seringkali kasus NCII ditangani secara hukum menggunakan Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU tersebut biasanya lebih ditujukan untuk menindak korban. Malah, penggunaan UU ITE lebih berisiko membuat polisi mengabaikan atau menolak aduan dan gagal memperlakukannya sebagai kasus kekerasan seksual.

“Ini polisi punya kewenangan untuk menolak aduan dari masyarakat dan menggunakan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dalam menangani kasus ini. Jadi penanganannya bisa komprehensif, perlindungan korbannya ada, upaya penghapusan kontennya bisa dilakukan, dan pelaku bisa diadili,” ujar Naila. 

Melalui rilis pers, Lintas Feminis Jakarta mendorong adanya penegak hukum yang menggunakan UU TPKS dalam penanganan kasus penyebaran konten intim non-konsensual yang dialami artis RK. Selain itu, terdapat sejumlah tuntutan lainnya. Salah satunya, menolak laporan masyarakat atas RK dan menempatkannya sebagai korban kekerasan seksual berbasis elektronik. Juga agar pihak kepolisian segera menyelidiki kasus penyebaran dan menangkap pelaku penyebaran konten intim non-konsensual RK. Aktivis juga mengimbau masyarakat berhenti menyebarkan video korban dan melaporkan konten intim non konsensual pada fitur aduan sosial media. Selain itu, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban diharapkan memberikan perlindungan bagi korban RK. Terakhir, agar pihak kepolisian bersama dengan platform media sosial segera mengambil tindakan untuk menghapus konten intim non-konsensual korban.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!