Aktivis perempuan galang solidaritas bebaskan Fatia dan Haris

Aktivis Perempuan Solidaritas Bebaskan Fatia dan Haris

Aktivis perempuan menyerukan agar kriminalisasi terhadap aktivis pembela HAM Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar dihentikan. Kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris dinilai mengancam demokrasi dan kebebasan berpendapat.

Beberapa hari sebelum Lebaran, para aktivis perempuan berkumpul. Mereka menggalang solidaritas untuk aktivis Fatia dan Haris.

Solidaritas yang ditunjukkan aktivis perempuan terhadap Fatia dan Haris bukan semata-mata karena kedekatan personal. Kasus yang terjadi pada mereka berdua dinilai juga berpotensi terjadi pada perempuan pembela HAM dan kelompok rentan lainnya.

Keduanya didakwa melakukan pencemaran nama baik Menko Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan. Dakwaan terhadap mereka didasarkan pada paparan diskusi tentang hasil riset Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua yang dilakukan koalisi Bersihkan Indonesia. Diskusi tersebut disiarkan lewat akun Youtube milik Haris Azhar.

Solidaritas Aktivis Perempuan Lintas Isu

Aktivis perempuan tegas menyatakan solidaritasnya karena bagi mereka ini bukan hanya persoalan Fatia dan Haris tapi persoalan kita semua, masyarakat sipil. 

“Bayangkan kalau orang yang profilnya setinggi mereka saja bisa kena yang namanya UU ITE ini. Saya boleh bilang begitu ya karena mereka berdua tingkat diketahui oleh masyarakatnya cukup tinggi. Apalagi kita-kita, apalagi kawan-kawan kita yang di daerah,” ujar Bivitri Susanti, pengajar di STHI Jentera dalam konferensi pers pada Minggu (16/4).

Menurut Bivitri gerakan perempuan perlu bersikap karena apa yang terjadi pada Fatia dan Haris juga bisa dialami perempuan dan kelompok rentan. Bahkan mereka bisa berkali lipat lebih rentan. “Kenapa gerakan perempuan secara khusus mengomentari? Karena semua kelompok rentan, termasuk perempuan, kelompok LGBTIQ, kelompok disabilitas itu akan dobel, tripel dan 4 kali, 5 kali rentan dibandingkan apa yang sudah dialami oleh Fatia dan Haris.”

Karena itu kalau gerakan perempuan tidak bersuara bahkan dari sekarang, jangan-jangan nanti akan kebal dan banal. Ketika mendengar seseorang ditangkap polisi atau bahkan dipersekusi karena pemilik kekuasaan tersinggung, akan dianggap hal biasa.

BACA JUGA: Paparkan Hasil Riset, Fatia dan Haris Malah Jadi Tersangka

Mutiara Ika, Koordinator Perempuan Mahardhika mengatakan ancaman kepada kawan-kawan yang memperjuangkan isu penghapusan kekerasan terhadap perempuan sudah sering terjadi. Karena itu ia merasa ada kesamaan pengalaman dengan Fatia dan Haris.

“Kami merasa memiliki kesamaan dengan apa yang saat ini dialami oleh Fatia dan Haris. Karena pembelaan terhadap isu-isu yang sering kali harus berhadapan dengan pemilik modal atau pemegang kekuasaan. Ini memunculkan kerentanan secara spesifik kepada orang-orang yang berjuang untuk memaparkan fakta, mengusut kasus pelanggaran dan memperjuangkan hak-hak perempuan,” ujarnya.

Dukungan juga disampaikan oleh perwakilan pekerja perempuan. Dian Septi, Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI) mengatakan kriminalisasi terhadap kedua aktivis itu merupakan ancaman terhadap demokrasi. “Tindakan Fatia dan Haris untuk mengungkap kebenaran bisa dengan mudah melalui intervensi kekuasaan dibungkam dengan UU ITE lewat pencemaran nama baik. Itu sama artinya ruang demokrasi kita sedang dirongrong. Bagi kami ruang demokrasi itu teramat berharga untuk dijaga bersama,” ujar Dian dalam konferensi pers di LBH Jakarta, Minggu (16/4).

Kriminalisasi yang terjadi pada kedua aktivis HAM tersebut juga dilihat sebagai ancaman bagi pekerja perempuan yang juga bagian dari pembela HAM. “Kami yang juga berjibaku dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak hidup perempuan dan kekerasan yang berlapis pada saat yang sama merasa ini bahaya. Ini ancaman bagi kita semua,” kata Dian.

BACA JUGA: Hari Kebebasan Pers Sedunia: 25 Tahun Reformasi, Jurnalis Masih Marak Dikriminalisasi

Ketika kritik dan kebebasan berpendapat bisa dengan mudah diberangus dengan segala cara, kita menyaksikan bagaimana kekuasaan bermain di atas hukum. Karena itu menurut Dian proses advokasinya tidak bisa hanya lewat pengadilan.

“Artinya kita nggak bisa hanya sekadar melangkah dalam aspek litigasi. Aspek non litigasi atau aspek gerakan sosial memang harus disatukan. Jadi hari ini gerakan perempuan menyatakan sikap bersama Fatia dan Haris itu adalah bentuk dari kami satu barisan membela Fatia dan Haris. Mengapa? Karena dengan membela Fatia dan Haris kami menanamkan demokrasi,” tegasnya.

Soal dukungan gerakan perempuan sebagai upaya mendorong demokrasi juga disampaikan Uli Arta Siagian, Manager Kampanye WALHI Nasional. “Gerakan perempuan itu harus mendukung dan bersolidaritas terhadap apa yang dialami oleh kawan Haris dan Fatia. Karena secara historis kita tahu bahwa gerakan perempuan adalah gerakan yang menuntut pemenuhan haknya. Dan demokrasi itu adalah bagian dari hak,” katanya. 

Tindakan Fatia dan Haris adalah upaya mewujudkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. “Apa yang dikemukakan oleh Fatia dan Haris adalah bentuk dari perjuangan terhadap hak untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Tentunya bukan hanya untuk Haris dan Fatia. Tapi untuk seluruh masyarakat yang ada di tanah Papua dan seluruh masyarakat yang ada di Indonesia,” papar Uli.

BACA JUGA: Fatia Maulidiyanti, Perempuan Berani Bicara: Dilaporkan Dengan UU ITE

Kriminalisasi seperti yang dialami mereka berdua juga mengancam masyarakat secara umum. Baik itu kelompok pekerja, seperti pekerja yang diinformalkan, pekerja seks dan perempuan petani, maupun masyarakat yang mempertahankan sumber penghidupan mereka. Mereka akan makin terpinggirkan dan kompleksitas kekerasan yang dialami makin berlapis.

Walhi mencatat dari Januari sampai Maret 2023 setidaknya sudah ada 9 masyarakat yang dikriminalisasi saat memperjuangkan hak mereka atas sumber-sumber penghidupan. Dari 9 orang tersebut 2 diantaranya adalah perempuan.

“Jadi sebenarnya apa yang dialami oleh Haris dan Fatia itu dialami oleh banyak masyarakat Indonesia. Padahal secara tegas hak mereka untuk memperjuangkan lingkungan hidup yang sehat itu diakui,” kata Uli.

Menurut Echa Waode Sekjen Arus Pelangi, kriminalisasi terhadap Fatia dan Haris merupakan pemberangusan kebebasan berekspresi yang juga mengancam komunitas LGBTIQ. “Aku sendiri sebagai bagian dari komunitas LGBTIQ+ merasa kebebasan berekspresi aku dan kawan-kawan makin dipersempit. Dalam arti memasuki tahun politik akan makin banyak politik identitas yang memberangus kebebasan teman-teman untuk menyuarakan haknya sebagai warga negara.”

Karena itu Echa mengingatkan agar kita tidak diam saja. Menurutnya penting untuk membangun kesadaran atas ketidakadilan yang terjadi agar tidak ada lagi Fatia dan Haris berikutnya. “Kalau kita diam, kita tidak berani menyuarakan hak kita, itu akan ada lagi Fatia-Haris Fatia-Haris lainnya,” ujarnya.

Tidak ada Masalah Hukum

Bivitri Susanti mengatakan sebenarnya tidak ada masalah hukum dalam kasus kedua aktivis tersebut. “Sebenarnya kan persoalannya karena yang punya kekuasaan tersinggung, itu aja teman-teman. Karena masalah hukumnya sebenarnya bisa dibilang tidak ada,” ujarnya.

Menurut Bivitri hal ini bisa dilihat dari politik hukum pemerintahan sekarang yang tidak lagi menggunakan UU ITE. Indikasi ini terlihat dari keluarnya Surat Keputusan Bersama 3 menteri yang meminggirkan penggunaan pasal 27 UU ITE selama UU tersebut belum direvisi.

Indikasi kedua dari politik hukum yang berubah adalah di KUHP 2023 yang baru berlaku 3 tahun lagi. Dalam aturan baru tersebut pasal 27 sebenarnya sudah tidak ada. Jadi dari 2 indikasi tersebut terlihat ada gelagat tidak baik. “Kami melihat ada gelagat yang tidak baik. Seorang pejabat level menteri koordinator maritim dan investasi tidak sinkron dengan politik hukum presidennya sendiri,” kata Bivitri.

Karena itu seharusnya hakim bisa memberlakukan interpretasi futuristik. Pasal 27 mestinya sudah tidak dipakai kalau hakimnya bijaksana.

BACA JUGA: Fatia dan Haris Didakwa Mencemarkan Nama Baik Lord Luhut, Aktivis: Pemerintah Anti Kritik

Yang terjadi justru sebaliknya. Penyelenggara negara melakukan pelanggaran atas pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Pasal ini menyebutkan, “setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata”. 

Uli mengatakan Fatia dan Haris sebenarnya berhak mendapat perlindungan. Tindakan mereka mengungkap kebenaran soal hak-hak rakyat Papua yang dilanggar terkait lingkungan hidup yang baik dan sehat, dijamin oleh undang-undang.

Karena itu ketika LBP merasa dicemarkan nama baiknya dan institusi kepolisian maupun pengadilan mengakomodasi hal itu, maka telah terjadi pelanggaran terhadap pasal 66. Ketika para pemimpin tidak mematuhi undang-undang, maka sebenarnya negara macam apa yang sedang kita jalani. 

Uli mengungkapkan aksi-aksi solidaritas seperti inilah yang harus kita bangun secara kuat untuk saling melindungi. Tindakan kolektif untuk melindungi sesama menjadi penting. Apalagi ke depan pasca UU Cipta Kerja dan KUHP disahkan akan banyak sekali kriminalisasi terhadap orang-orang yang mengekspresikan pemenuhan haknya. Tindakan ini bisa dilakukan oleh negara ataupun non negara.

Fatia dan Haris juga melaporkan LBP, tapi laporan mereka tidak ditanggapi. Sebaliknya, ketika Menko Marvest melaporkan mereka, laporannya direspons dengan cepat. Kondisi ini menurut Fanda dari Rampak Sarinah tidak berbeda dengan ketika kita melaporkan kasus kekerasan seksual. 

Anita Dhewy

Redaktur Khusus Konde.co dan lulusan Pascasarjana Kajian Gender Universitas Indonesia (UI). Sebelumnya pernah menjadi pemimpin redaksi Jurnal Perempuan, menjadi jurnalis radio di Kantor Berita Radio (KBR) dan Pas FM, dan menjadi peneliti lepas untuk isu-isu perempuan
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!