Keterwakilan Perempuan

Aktivis Protes Keterwakilan Perempuan Dalam Pemilu, KPU Revisi Aturan Pemilu 2024

Sejumlah aktivis yang menamai diri Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan mendatangi kantor Bawaslu, Senin (8/5) sore. Setelah aksi protes ini, KPU, Bawaslu dan DKPP akan merevisi aturan keterwakilan perempuan. Aturan ini akan disesuaikan dengan UU Pemilu No 7 Tahun 2017, yaitu minimal 30% dan dengan pembulatan ke atas.

Berpakaian hitam bertuliskan #TolakPKPUPasal8, para aktivis perempuan membentangkan poster-poster perjuangan keterwakilan perempuan di Pemilu.

Kalangan aktivis dari berbagai organisasi perempuan ini mendesak agar Komisi Pemilihan Umum/ KPU merevisi Peraturan KPU No 10 Tahun 2023 yang mengatur keterwakilan perempuan dalam pencaleg-an pada Pemilu 2024. Salah satu pasal yang mereka kritik adalah Pasal 8 ayat (2) yang mengatur penghitungan minimal keterwakilan perempuan, yang dianggap tidak sesuai dengan perjuangan 30% kuota perempuan. 

“Patuhi pengaturan keterwakilan perempuan sesuai undang-undang,” ujar perwakilan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan, Valentina Sagala dalam jumpa pers. 

Valentina menjelaskan, pengaturan KPU melanggar Pasal 245 UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (kuota perempuan paling sedikit 30%), sebab penggunaan rumus pembulatan ke bawah. Dampaknya, keterwakilan perempuan kurang dari 30% pada sejumlah daerah pemilihan (dapil), yaitu pada dapil dengan jumlah caleg 4, 7, 8, dan 11. 

Anggota Dewan Pembina Perludem, Titi Anggraini mencontohkan daerah dengan 4 caleg, berdasarkan penghitungan 30% maka keterwakilan perempuan hanya 1,2 orang.  Tapi dengan aturan PKPU 10/2023 setiap partai hanya wajib mencalonkan 1 caleg atau hanya 25%.

“Berapa banyak hak politik perempuan yang akan tercederai dengan aturan ini?” katanya. 

Keterwakilan perempuan
(Aktivis membentangkan poster-poster penolakan PKPU 10/2023/ Dok. Nurul/Konde.co)

Jika disimulasikan dengan kursi DPR, maka penerapan angka pecahan pembulatan ke bawah akan berdampak pada pencalonan perempuan pada 38 daerah pemilihan. 

Jika aturan itu tetap diterapkan, pihaknya menilai, aturan itu tidak hanya melawan norma dalam UU Pemilu, tapi juga inkonstitusional karena bertentangan dengan substansi Pasal 28H ayat (2) UUD 1945 yang menyebut bahwa setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Pasal itu juga menegaskan, jaminan bagi tindakan khusus dalam rangka mewujudkan keterwakilan perempuan yang adil dan setara dalam kontestasi politik. 

Maka dari itu, para aktivis mendesak KPU untuk merevisi aturan itu. Audiensi telah mereka lakukan dengan Bawaslu, harapannya Bawaslu bisa segera menindaklanjuti peraturan KPU yang diduga melanggar perundang-undangan itu. 

“Jika dalam 2×24 jam Bawaslu tidak menerbitkan rekomendasi kepada KPU, maka Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan akan melakukan sejumlah upaya hukum untuk menuntut pemulihan hak politik perempuan berkompetisi pada pemilu 2024 dengan melaporkan ke DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) dan juga melakukan uji materi ke Mahkamah Agung,” lanjut Valentina. 

Perempuan di Politik Minim, Kebijakan Makin Tak Ramah Gender

Politisi Perempuan Partai Gerindra, Rahayu Sarasvati, mengungkapkan bahwa situasi patriarki masih melingkupi perempuan di politik. Dia mencontohkan soal hambatan keterlibatan perempuan. 

“Banyak dari mereka (perempuan) yang tidak akan maju tanpa izin suami, bapak, atau tokoh yang dituakan dari keluarga,” kata Saras saat ditemui di Bawaslu, Jakarta.

Belum lagi, kapasitas modal ekonomi yang besar dalam perpolitikan juga menjadi hambatan bagi perempuan. Menurut Saras, banyak sebetulnya perempuan yang punya kapasitas intelektual dan akademis, namun independensinya soal finansial masih sering jadi kendala. 

Sebab lagi-lagi, perempuan dalam sistem patriarki dibuat agar “selalu bergantung” dan tidak mandiri atas dirinya sendiri. Belum lagi soal gender pay gap (ketimpangan upah) hingga berbagai diskriminasi dunia kerja yang masih dihadapi perempuan. 

Maka soal ini, Saras menekankan, keterwakilan perempuan di dalam politik harus mendapatkan dukungan. Mulai dari sistem di partai sampai dengan aturan-aturan yang pro pada keterwakilan perempuan di politik

“Harapannya dengan ada aksi afirmasi dari UU yang berlaku, yang seharusnya tidak dipatahkan dengan aturan di bawahnya UU di KPU (PKPU No 10/2023),” imbuh Saras. 

BACA JUGA: 

Minimnya Capres Perempuan dalam Pemilu: Perempuan Harus Berjibaku Lawan Hegemoni

Keterwakilan Perempuan di Pemilu 2024 Masih Jadi Pekerjaan Rumah di Indonesia

Dalih partai yang “sulit mencari kader perempuan di politik” menurut Saras, bukan jadi alasan untuk menerapkan aturan yang justru merugikan hak politik perempuan. “Selalu menjadi alasan, bahwa oh susah mendapatkan perempuan, kalau susah mari kita carikan solusinya, itu bukan excuse,” katanya. 

Perempuan yang juga tergabung dalam Kaukus Perempuan Politik itu menekankan, pentingnya keterwakilan perempuan di ranah politik. Sebab menurutnya, posisi strategis perempuan di politik, bisa berdampak pada kebijakan publik yang sensitif gender dan lebih inklusif. 

Dia mencontohkan soal perspektif perempuan yang dibutuhkan untuk membuat sarana prasarana publik lebih inklusif. Di samping, kebijakan yang mengakomodasi hak reproduksi perempuan seperti cuti haid ataupun cuti hamil. 

“Kurangnya anggota dewan perempuan di komisi-komisi, apalagi di tingkat pimpinan biasanya ketua dan wakil ketua yang mengambil keputusan atau yang punya posisi kuat di partainya di fraksinya, sudah pasti tidak bisa meng-influence dan memberikan dampak pada kebijakan tersebut (yang ramah gender),” ucapnya. 

Keterwakilan perempuan
(Rahayu Sarasvati ketika ditemui di media center Bawaslu. Dok. Nurul/Konde.co)

Ketua Kaukus Perempuan Parlemen, Diah Pitaloka menambahkan, keterwakilan perempuan punya dampak positif pada perpolitikan Indonesia. Ini bisa dilihat dari Pemilu 2019, dari 30% perempuan yang menjadi calon legislatif terpilih keterwakilan perempuan sebanyak 21% menduduki kursi DPR RI. Artinya, upaya politik perempuan dan langkah politiknya sebetulnya cukup signifikan. 

Maka pandangan bahwa perempuan kurang tingginya semangat dalam politik, itu pendapat yang tak relevan dan kontradiktif. 

“Saya rasa sumber daya politik perempuan hari ini cukup tinggi di partai politik. Tinggal bagaimana kemudian membangun semangat kaum perempuan untuk mengikuti pemilihan elektoral,” ujar Diah dilansir laman resmi DPR.  

Politisi PDIP-Perjuangan itu menambahkan, jika dilihat saat ini, perempuan dalam ranah legislatif juga telah memiliki kualitas yang baik serta memberikan warna dalam pengambilan kebijakan. Jadi, anggota legislatif perempuan juga ketika dia mendapat kursi itu punya peran-peran strategis dalam parlemen.

“Ini (peraturan) juga yang kita sesalkan (karena) menjadi kontradiktif dengan semangat dari meningkatkan affirmative action,” lanjut Wakil Ketua Komisi yang salah satunya membidangi persoalan perempuan dan anak di DPR RI ini.

Untuk itu, Diah dengan tegas mendesak KPU untuk merevisi PKPU No. 10 Tahun 2023 tersebut. “Kita menolak pasal itu dan kita ingin supaya segera diganti, karena itu 30 persen minimal secara normatif sebagai peraturan, PKPU No. 10 itu sudah tidak sesuai dengan UU Pemilu,” kata Diah.

Keterwakilan perempuan
(Aksi aktivis #KawalKeterwakilanPerempuan di Bawaslu. Dok. Nurul/Konde.co)

Komitmen Bawaslu

Bawaslu mengklaim berkomitmen untuk memastikan terwujudnya kebijakan pemilu afirmatif bagi perempuan. Komitmen ini disampaikan dalam forum Tripartit penyelenggara pemilu yang diterima oleh dua anggota Bawaslu yakni Lolly Suhendy dan Totok Hariyono. Sebagai bentuk tindak lanjut dari banyaknya aspirasi soal penolakan aturan penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan dalam Pasal 8 ayat (2) huruf b Peraturan KPU 10/2023. 

Dari audiensi tersebut, Lolly Suhendy dari Bawaslu mengatakan Bawaslu bakal langsung berkoordinasi dengan KPU. Supaya KPU dapat menerima aspirasi yang disampaikan Masyarakat Peduli Keterwakilan Perempuan

“Kami akan meminta KPU untuk mempertimbangkan ulang (Pasal 8 PKPU 10/2023) kemudian melakukan peninjauan terhadap PKPU sesuai yang sahabat sampaikan,” ujar Lolly dilansir laman resmi Bawaslu

Menurutnya, memang hak yang otomatis terlihat akan berdampak luas bagi keterwakilan perempuan. “Sehingga ini kami rasa akan cukup untuk menjadi bahan pertimbangan KPU untuk melakukan peninjauan kembali,” imbuhnya. 

BACA JUGA:

Pemilu 2024, Ini Pentingnya Organisasi Perempuan Siapkan Calon Potensial

Memperjuangkan Agenda Perempuan di Tahun Politik

Lolly juga menyampaikan Bawaslu akan mengusulkan forum Tripartit antara Bawaslu-KPU-DKPP. Ini penting karena situasinya perlu percepatan mengingat tahapan yang sedang berlangsung. 

“Tripartit dilakukan untuk menyikapi permasalahan ini, supaya secara tahapan tidak terganggu tetapi secara perwakilan perwakilan perempuan juga kemudian bisa terselamatkan, tidak berdampak buruk. Mudah-mudahan dalam dua hari ini bisa kami lakukan,” ujar Koordinator Divisi Pencegahan, partisipasi Masyarakat, dan Humas itu.

Di tempat sama, Totok menambahkan Bawaslu berkomitmen untuk mewujudkan kebijakan pemilu afirmatif bagi perempuan. “Yang paling mungkin yang bisa dilakukan Bawaslu dan sebelum itu kita sudah berdiskusi panjang dengan Bu Lolly, ini bukan soal urus matematika ini soal komitmen terhadap afirmatif,” katanya. 

Hasil Tripartit: Revisi PKPU Sesuai UU Pemilu, Keterwakilan Perempuan Dijanjikan Aman

Usai adanya aksi kalangan aktivis dan respons berbagai kalangan soal aturan PKPU 10/2023, pertemuan tripartit antara KPU, Bawaslu, DKPP digelar pada Selasa (9/5) malam. 

Ketua KPU RI, Hasyim Asy’ari menyampaikan bahwa ketiga belah pihak bersepakat untuk melakukan perubahan (revisi) pada PKPU 10/ 2023. Utamanya soal cara penghitungan 30% bakal calon DPR RI, DPRD provinsi kabupaten dan kota di setiap dapil termasuk yang juga akan diberlakukan pada pemilu 2024 nanti. 

Pihaknya menyebut, semula PKPU 10/2023 menghitung 30% jumlah bakal caleg di setiap dapil menghasilkan angka pecahan dengan pembulatan ke bawah, maka revisi PKPU 10/2023 saat ini membulatkan ke atas. 

“Perubahan menjadi penghitungan 30% jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, dilakukan pembulatan ke atas,” ujar Hasyim dalam konferensi pers yang disiarkan daring di youtube KPU RI, Rabu (10/5). 

Keterwakilan perempuan
(Konferensi Pers Ketua KPU, Ketua Bawaslu, Ketua DKPP dan jajarannya soal revisi PKPU 10/2023. Sumber: Kanal Youtube KPU RI)

Hasyim melanjutkan, revisi juga dilakukan dengan menyisipkan Pasal 94 (A) yang menekankan, partai politik yang telah mengajukan daftar bakal calon sebelum berlakunya PKPU 10/2023 ini, maka bisa dilakukan penyesuaian PKPU 10/2023 yang telah direvisi ini. 

“Artinya masih ada kesempatan (penyesuaian) sampai 14 Mei 2023,” imbuhnya. 

Berkenaan dengan proses pengajuan bakal caleg pada pemilu 2024 yang tengah berjalan, pihaknya mengaku segera melakukan koordinasi dengan berbagai pihak termasuk pemerintah. 

Ketua DKPP, Heddy Lugito menambahkan, upaya yang dilakukan pihaknya, diharapkan bisa mengakomodir masukan-masukan yang penting agar PKPU 10/2023 selaras dengan norma UU Pemilu No 7/2017 terutama Pasal 245 bahwa adanya pemenuhan paling sedikit 30% perempuan di pencalegan secara nasional. 

BACA JUGA: 

Riset: Makin Banyak Perempuan di DPR, Namun Kehadirannya Dianggap Belum Signifikan

Suara Perempuan di Parlemen Hanya 20%, Indonesia Harus Belajar Pada Swedia dan Selandia Baru

Senada dengan Bawaslu, Heddy mengaku senang dan mendukung penuh atas perubahan ini. Sehingga, aturan KPU bisa sesuai dengan semangat perjuangan keterwakilan perempuan dalam politik. 

“Semoga semua ini menjadikan pemilu kita akan lebih bermartabat, beretika dan sangat kredibel,” kata Heddy. 

Soal jaminan atas berlakunya revisi PKPU 10/2023 ini, Ketua KPU menegaskan, pihaknya akan menyampaikan komitmennya ke legislatif (DPR) dalam hal ini Komisi II, soal perkembangan yang ada soal aturan KPU ini. Pihaknya juga mengaku telah berkomunikasi dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemenpppa) dan sepakat atas perjuangan keterwakilan perempuan di politik. 

“Sehingga segala regulasi yang berkaitan dengan itu, berharap dengan KPU juga semoga selaras, artinya bagaimana menghitung keterwakilan perempuan untuk DPR RI dan DPRD Kabupaten Kota juga ditangkap dan direspons oleh pemerintah,” pungkasnya. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!